Prolog
Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang di luar sana. Menikah tidak cukup hanya berdasar pada perasaan cinta. Butuh kekuatan mental dan motivasi dari kedua belah pihak. Mark sendiri tidak bisa percaya jika kata perceraian bisa singgah di perjalanan hidupnya.
Jasmine, satu-satunya wanita yang pernah berpacaran dengannya sejak kuliah hingga usia 27 tahun kini, memintanya untuk bercerai dalam usia pernikahan yang baru 8 bulan.
Nasib memang tidak ada yang tahu. Mark pikir, Jasmine mencintainya apa adanya. Namun, tidak sesederhana itu. Jasmine memilih menyerah ketika mendengar Mark terkena PHK. Wanita yang seumuran dengannya itu tidak mau berjuang bersama mempertaruhkan hidupnya. Bayangan akan hidup susah bersama Mark yang pengangguran, menjadi mimpi buruk Jasmine.
"Mark! Please! Jangan terus diam gitu aja." Jasmine tidak mampu lagi menahan luapan emosinya. Sudah dari empat hari lalu ia meminta Mark untuk mengambil keputusan. Namun, Mark lebih memilih menghindar. Ia lebih memilih diam, menyibukkan diri dengan usahanya demi tanggung jawabnya kepada Jasmine.
Dampak PHK, membuatnya harus memutar otak sambil menunggu panggilan interview kerja. Berkali-kali mencoba usaha dari uang pesangonnya, mulai dari menjual pakaian thrifting yang tengah mekar di jagad online, coba bergabung dengan temannya berbisnis kuliner. Akan tetapi, tidak berjalan sempurna. Mark ditipu teman sendiri. Hingga dia mencoba untuk menjadi reseller cemilan hits dengan sisa uang pesangon. Namun, uang yang dihasilkan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Apa yang bisa diharapin? Masa depan udah pasti nggak jelas. Kamu nganggur, nggak ada income. Buat apa kita bertahan?"
"Jasmine, please. Aku lagi mikirin caranya. Aku lagi berusaha. Kasih aku waktu. Jangan selalu mendesak begini. Keadaan begini nggak akan ada yang nyangka." Kalau boleh terus terang, Mark juga nyaris frustrasi. Puluhan CV sudah ia kirimkan, tapi belum juga ada panggilan kerja menghampiri. Sementara usaha yang sedang dicoba hanya kembang kempis saja.
"Usaha apa? Jualan pinggir jalan? Kamu tahu nggak, apa yang kamu lakukan bikin aku diketawain? Malu. Mau ditaruh di mana muka aku?"
Jasmine mengusap wajahnya. Ia menatap lelaki itu dengan putus asa. Mark sudah menjatuhkan harga dirinya bukan hanya di hadapan keluarga besar, tapi juga di lingkungan kerja dan teman-temannya. Apa yang bisa dibanggakan olehnya? Titel dokter bukan lagi kebanggannya setelah Mark kehilangan pekerjaannya. Ia kini adalah bahan cibiran dan ledekan mereka. Namun, Mark tidak pernah melihat dan peduli ke arah sana. Di mata Jasmine, Mark adalah seseorang yang egois, tidak pernah mau mendengarkannya.
"Jasmine, banyak, kok, orang-orang bermobil yang jualan di festival. Yang penting sekarang, kita ada pemasukan."
"Pemasukan apa? Buat makan aja ngepas." Jasmine kembali meradang. Ia meluapkan kekesalannya pada lelaki yang tengah menyiapkan barang dagangan untuk festival besok.
Hari ini adalah tepat tiga bulan Mark menganggur. Jasmine sudah mulai gerah dengan situasi sulit. Tabungan juga sudah mulai menipis. Belum lagi sindiran dari keluarga Jasmine. Malu rasanya ketika berkumpul dengan keluarga besar, hanya Jasmine sendiri yang kurang beruntung. Kedua kakak perempuannya hidup dengan sangat berkecukupan dari suaminya. Sementara Jasmine, harus bekerja keras menutupi kepincangan.
"Pokoknya, nggak! Aku udah nggak mau tahu lagi. Aku nggak peduli lagi. Aku cuma mau kita bercerai. Masa depan jauh lebih penting buat aku."
"Jasmine, menikah itu bukan hanya tentang bersenang-senang." Ia mencoba bersabar dengan memberi Jasmine pengertian.
Jasmine tertawa sinis. Tatapannya jelas merendahkan. Namun, Mark masih menahan diri. "Of course. Bukan hanya bersenang-senang. Tapi juga enggak dengan bunuh diri. Kamu tahu? Bertahan sama kamu yang nol -nggak punya apa-apa-, kasih tahu aku apa namanya kalau bukan bunuh diri?"
"Kita sedang diuji, Jasmine. Setiap orang menikah pasti ujiannya beda-beda. Kamu ngerti, dong."
"Justru kamu yang harus ngerti. Kemarin Papa nawarin kamu untuk bantu-bantu Papa tapi kamu nggak mau."
Mark memejamkan matanya. Kalau saja Jasmine tahu, ayahnya minta Mark untuk bertemu bukan untuk membicarakan masalah pekerjaan. Ayahnya yang memang dari awal tidak menyetujui pernikahan itu, malah menggunakan keadaan sulit itu untuk menekan Mark. Dan selama ini ia berusaha untuk menghindari pertengkaran dengan Jasmine. Ia masih mencintai wanita itu. Namun, memang sepertinya melepaskan adalah jalan terbaik. Apalagi setelah beberapa kali ayah Jasmine meneleponnya tanpa sepengetahuan Jasmine, memintanya untuk melepaskan. Kata-kata yang membuat Mark akhirnya setuju melepaskan Jasmine adalah "Kamu udah nggak punya apa-apa. Gimana kamu bisa membahagiakan Jasmine? Pulangkan saja. Biar Jasmine kami bahagiakan. Orang tua mana yang mau lihat anaknya malah menderita bersama suaminya. Bapak rasa, kamu nggak ada harapan lagi."
"Kamu nggak mau pikir ulang lagi? Pernikahan ini serius, Jasmine. Apa salahnya kita berjuang bersama?" Mark kembali berusaha. Barangkali Jasmine berubah pikiran, mau berjuang bersama-sama. Namun, Mark salah mengira. Wanita itu tetap pada pendiriannya.
"Apa salahnya kita bercerai. Kalau kamu nggak mampu, lepaskan aja. Masing-masing kita akan berhenti menyakiti. Kalau diteruskan, nanti cuma ada penyesalan."
Mark tertawa sangat lirih. Rupanya Jasmine sudah mantap dengan keputusannya. Mark tidak ada pilihan lain selain melepaskan Jasmine. Apa perasaannya? Meski tersenyum legowo, tapi tidak dengan hati Mark. Semuanya berantakan. Kecewa, sakit hati direndahkan keluarga besar Jasmine dan rasa tidak percaya diri sudah menenggelamkan dirinya.
"Kamu serius mau kita bercerai? Kamu nggak menyesal? Berapa banyak waktu yang udah kita habiskan bersama. Apa nggak ada sedikitpun niat dari kamu untuk mempertahankan pernikahan ini?" Mark bicara dengan sangat lirih. Ia masih berharap Jasmine akan berubah pikiran. Meski wajar saja jika Jasmine bersikukuh. Memang benar, apa yang diharapkan darinya? Jasmine seorang dokter. Dua kakaknya pun juga dokter. Ayahnya pengusaha furnitur. Sangat wajar jika Jasmine mempertimbangkan posisi Mark saat ini. Mereka keluarga terpandang.
"Sayangnya aku serius. Dan nggak akan menyesal."
"Oke," ucap Mark tersenyum getir. Ia menarik napas dalam-dalam, menekan sakit di dada. "Kita bercerai seperti pilihan kamu."
Malam itu Mark keluar dari rumah miliknya dengan tangan kosong. Ia memilih meninggalkan semuanya untuk Jasmine. Tidak peduli bagaimana nasib akan mempermainkannya, yang jelas Mark melangkah dengan senyum tipis di bibirnya.
Terima kasih, Jasmine. Untuk semua waktu yang pernah kamu habiskan bersamaku.
Terus terang, Mark tidak tahu tujuan hidupnya setelah keluar dari rumah itu. Teman? Mark tidak mempercayai mereka setelah pelajaran apa yang didapat belakangan. Saat jatuh, Mark tidak memiliki siapapun yang peduli. Mau pulang ke keluarga, rasanya malu. Usianya sudah tidak seharusnya menjadi beban keluarga lagi. Mark menarik napas panjang, berjalan kaki di sepanjang trotoar.
"Mark!"
Sebuah mobil menepi setelah membunyikan klakson. Seseorang keluar menghampiri.
"Astaga, gue cariin, kemana aja?"
Mark tersenyum tipis. Ia tidak menjawab lebih dan tidak berminat untuk saat ini. Di pikirannya, seseorang ini hanya akan menjadi bagian yang turut menertawakan dirinya.
"Nggak kemana-mana."
"Gue denger dari Lukman, lo udah nggak kerja," ujarnya tanpa basa-basi. Lukman juga salah satu teman Mark yang tahu jatuhnya lelaki itu, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Mark.
Benar, kan? Mark tersenyum kecut. Ia kemudian melangkah pergi.
"Mark! Gue lagi butuh partner bisnis. Serius. Kalo lo mau, besok ketemu buat ngobrol lebih serius."
Mark menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Leo teman SMA-nya. Serius atau becanda? Mark menyipitkan mata. Ia mencari kesungguhan di wajah laki-laki oriental itu.
"Gue serius. Gue tahu kapasitas lo. Gue yakin, lo bukan seseorang yang menyia-nyiakan kesempatan. Anggap aja lo oke. Besok ketemu di Tebet."
Sejenak, Mark terdiam. Ia menimbang apa yang dikatakan Leo, sebelum kembali menghampiri Leo.
"Kenapa lo baik sama gue?" tanya Mark datar.
"Lo dulu juga baik sama gue. Kenapa sekarang gue nggak boleh balas kebaikan lo?"
Mark berdecih. Ia tertawa lirih sebelum kemudian memutuskan untuk menerima tawaran Leo. Terserah Leo mau membawanya kemana. Saat ini, ia tidak memiliki bayangan mau kemana dan seperti apa masa depannya.
***
Tbc
Bismillah, semoga ke depannya selalu baik.
Mulai dari sini, ya.
1 Januari 2022
Salam,
S. Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top