Bab 2
Melissa menatap Maurie tanpa kedip. Gadis itu sedang melakukan photoshoot untuk jaket denim merek lokal. Hari ini Maurie menyelesaikan semua list produk endorsement dengan sangat baik. Total ada lima produk dari orang yang berbeda. Begitu selesai, Melissa segera menghampiri Maurie dengan tepuk tangan bangga.
"Akhir-akhir ini, Mbak lihat kamu on fire banget. Tumben. Biasanya harus berapa kali take."
Maurie tertawa lirih. Ia segera melepas jaket denim yang kemudian diterima oleh Melissa. Gadis itu lantas menyambar sebotol air mineral yang sudah diminum setengahnya. Ia kemudian duduk, lalu meminumnya.
"Nggak tahu. Lagi dapat mood-nya aja. Hari ini selesai 'kan, ya?" Maurie mengambil kapas dan make up remover untuk membersihkan wajah dari make upnya.
"Udah. Mau keluar?" tanya Melissa.
"Kayaknya."
"Pulangnya jangan malam-malam. Besok pagi kita harus ke pusatnya Up 'n Down."
Maurie tidak menjawab, hanya mengangguk. Ia lalu beranjak menuju ke kamarnya di lantai atas. Ia mengganti pakaiannya dengan celana legging hitam polos dan kaos oblong warna biru muda. Rambut hitam sepunggungnya diikat asal cepol saja. Tidak peduli dengan beberapa helai rambut yang tertinggal. Sepatu running membalut kakinya dengan apik sebelum keluar dari kamar.
Begitu memastikan semua sudah sesuai kemauannya, Maurie segera bergegas. Mobil hitam miliknya mulai meninggalkan rumah dua lantai itu. Gadis itu menuju ke sebuah ecopark, tempat biasa jogging di sore hari. Sebuah Bluetooth earphone di telinga sudah siap menemani lari kecilnya.
"Maurie!"
Gadis itu mengurangi kecepatan larinya ketika mendengar seseorang memanggil namanya tepat di satu putaran larinya. Keringat tipis mulai terlihat di kulit putihnya. Mata Maurie menyipit. Di arah depan sana seseorang berlari mendekat dengan setelan kaos dan celana pendek. Tubuh sempurnanya tercetak jelas oleh keringat yang membuat baju itu lengket di badan.
"Mark?" Gadis itu mengeja nama lelaki yang ditemuinya dua hari lalu di pusat perbelanjaan. Bibirnya mengeluarkan tawa kecil. Sama sekali tidak menyangka jika ia akan bertemu lagi dengan lelaki itu. Dan hebatnya, Mark masih mengenalinya.
Laki-laki itu mengangguk dengan senyum lebarnya. Ia menatap Maurie dari atas ke bawah. "Suka olahraga?"
"Tadinya enggak. Tapi olahraga itu penting," jawab Maurie berderai tawa. "Kok, kamu bisa inget namaku? Baru sekali ketemu lho. Aku aja tadi agak mikir."
Mark tertawa. Ia mulai mengatur napas. Keringat sudah jelas membasahi seluruh tubuhnya.
"Ingat dong. Cuma tadi mau nyapa kamu agak ragu. Takut kamu nggak kenalin aku. Kalau kamu nggak kenalin aku, malu lah. Nanti orang bilang, apaan sih sok kenal."
"Terus nekat?"
"Iya. Aku lihat kamu sendiri. Lagi sepi juga. Kalau kamu nggak kenalin aku 'kan nggak malu-malu amat."
Maurie lantas menatap ke sekeliling. Lintasan setapak ini memang hanya menyisakan dia berdua. Gadis itu tertawa. Kepalanya mengangguk paham.
"Dari tadi?" tanya Maurie dengan akrab. Melihat Mark begitu bersahabat, Maurie turut mengakrabkan diri tanpa pertimbangan lagi.
"Lumayan. Udah 5 putaran. Tapi kalau kamu butuh teman, ayo, aku temenin," katanya kemudian bersiap untuk berlari kecil.
Maurie menjawabnya dengan lari kecilnya, beriringan dengan Mark. Suasana yang Mark ciptakan membuat Maurie merasa sudah mengenal lama lelaki itu. Sepanjang putaran larinya, keduanya saling bertukar cerita.
"Rumah kamu di sekitaran sini?" tanya Mark sambil berjalan santai, melakukan pendinginan setelah tiga putaran bersama Maurie.
"Iya. Deket kok. Menteng dalam. Kalau kamu?" tanya Maurie dengan napas pendek-pendek. Tubuhnya kini sudah basah dengan keringat.
"Deket juga. Kasablanka situ. Biasanya sih aku workout sendiri di rumah. Cuma berhubung sore ini lagi cerah, iseng-iseng aja keluar. Nggak tahunya bakalan ketemu kamu lagi."
Gadis itu tertawa. "Mungkin ini cara Tuhan biar aku berterima kasih kali ya sama kamu soal kemarin."
"Mungkin. Tapi kebetulan yang baik, sih. Abis ini kamu mau ngapain?"
Maurie mengedikkan bahu. Memang ia tidak memiliki rencana apapun setelah olahraga sore ini.
"Belum ada? Serius?" Mark menatap mencari kesungguhan. Gadis itu mengangguk mantap.
"Iya, belum tahu. Kenapa memangnya?"
"Kulineran, yuk? Suka makan di food truck gitu nggak?"
Demi apa? Maurie menatap Mark tak berkedip. Baru kenal. Tapi sepertinya Mark tidak mungkin ada niat buruk.
"Di mana?" tanya Maurie menyusul langkah Mark, keluar dari area ecopark.
"Ada. Tebet yang arah Minangkabau itu. Enak, kok. Serius. Kalau kamu nggak nyaman, ya, udah. Nggak usah dipaksa."
Maurie mengangkat alisnya. Jangan pernah memberi tantangan pada seorang Maurie. Sudut bibirnya terangkat samar.
"Tapi aku bawa mobil."
"Ada tempat parkirnya, kok. Aman. Ekorin aku aja, ya? Save nomorku kalau perlu."
Save? Kemarin dimintain kontak nggak ngasih. Maurie menggerutu dalam hati. Namun, tangannya segera mengeluarkan ponselnya dari waist bag. Jarinya segera mengetik sederet nomor ponsel milik laki-laki itu.
"Nomor kamu? Beneran?" tanya Maurie mencari kesungguhan.
"Iya. Profilnya juga foto aku, kan?"
Maurie lantas membuka foto profil dari nomor kontak yang baru disimpan. Ia mendapat foto monokrom Mark di sebuah ruangan minimalis.
"Oke," ucap Maurie mulai percaya.
"Jangan dihapus atau diblokir. Jarang-jarang lho aku kasih kontak pribadi ke orang," kelakar Mark sebelum berpisah ke mobilnya masing-masing.
Sementara itu, Maurie duduk gelisah di balik kemudi sambil membuntuti mobil Mark. Rasanya sulit dipercaya. Namun, sisi keras kepalanya segera menepis.
Mark hanyalah bagian dari orang yang hanya sekedar singgah.
***
Setengah jam berlalu. Mark membawanya makan di sebuah food truck yang menyajikan olahan aneka seafood. Dari awal memilih tempat duduk, Mark sudah membuat Maurie tertegun. Laki-laki itu menempatkan Maurie untuk duduk di bagian dalam, karena memang tempatnya berada di pinggiran jalan raya. Mark duduk sedikit serong, menutupi Maurie dari pelanggan atau karyawan lalu lalang.
"Kamu sering ke sini?" tanya Maurie membuka obrolan sambil menunggu pesanan makanan datang. Dan yang menjadi perhatian Maurie adalah lelaki itu tidak sibuk dengan ponselnya. Hari gini, sangat jarang orang fokus menikmati kebersamaan tanpa gadget. Itu membuat Maurie tahu diri, bahwa ia harus melakukan hal yang sama. Sama-sama menghargai.
"Kadang. Tapi nggak akhir pekan. Kamu tahu nggak kenapa?"
Bola matanya memancar seperti turut bercerita. Maurie bisa ikut merasakan kehangatan di dalam obrolan itu. Manik mata gadis itu turut menyambut keintiman yang dipancarkan Mark.
"Pasti rame banget," tebak Maurie.
Lelaki itu mengangguk, membenarkan. "Banget. Kita harus pakai nomor antrian. Aku nggak suka. Karena kita jadi kurang menikmati. Orang keluar mau makan bareng, apa sih yang dicari? Otomatis bukan sekedar kenyang, kan?"
"Yap. Tapi suasana. Aku jarang lho, bisa keluar ngobrol kayak gini."
"True. Kalau cuma sekedar kenyang, beli dibungkus aja. Tapi keluar, kan, karena kita pengen menikmati waktu bersama. Cari suasana berbeda, biar pikiran kita fresh. Kalau makan di tempat ramai, ngantri pula, udah nggak nikmat lagi. Benar nggak?"
"Iyalah. Makannya juga ikut keburu-buru. Karena dipikiran kita udah bicara kasihan yang antri nunggu bangku kosong."
"Itu dia. Makanya aku males kalau makan di luar pas akhir pekan. Better nonton di bioskop deh. Atau ke festival yang jelas-jelas areanya luas. Jadi, meskipun banyak orang, tapi kita bisa santai jalan."
Diam-diam Maurie berdecak kagum. Ia melihat sosok Mark yang tidak hanya ramah namun juga idealis. Dan itu menarik. Dimana saat ini jarang ditemukan orang yang masih benar-benar mementingkan menikmati waktu bersama.
"Tapi kamu ngerasa nggak sih, kalau hal itu sangat jarang," ujar Maurie sambil mengulurkan tangan, berniat mengambil minuman air mineral yang disediakan penjual di tengah-tengah meja. Kebetulan meja itu berukuran panjang dan muat untuk 10 orang. Satu meja untuk bersama-sama. Sementara keduanya memilih di bagian ujung dalam. Namun, salah satu tangan Maurie menyenggol garpu di piringnya hingga jatuh.
Maurie sedikit membungkuk berniat mengambil garpu tersebut setelah lebih dulu mengambil minuman. Hal yang membuat Maurie terdiam sejenak adalah ketika sudut matanya menangkap tangan Mark menutup sudut meja dengan tangannya. Ia tanpa banyak bicara melakukan hal itu untuk melindungi kepala Maurie agar tidak terjedot.
"Nah itu dia. Jaman sekarang teknologi semakin smart. Tapi, orangnya nggak smart. Malah semakin mundur," sahut Mark dengan tangan masih menutup sudut meja.
"Makasih," ucap Maurie ketika sudah kembali duduk dengan baik.
Tidak cukup dengan menutup sudut meja, Mark mengambil satu garpu baru dan diberikan pada Maurie. Sikapnya itu membuat Maurie merasa nyaman. Tidak seperti orang asing yang baru kenal. Bahkan tidak terasa keduanya mengobrol hingga nyaris dua jam. Mark rela beranjak untuk membeli cemilan di pedagang yang hanya berjarak beberapa meter untuk menemani obrolan.
"Nggak takut gendut, kan?" tanya Mark saat kembali dengan beberapa cemilan lagi. "Nggak lah, ya? Kalau rajin olahraga."
Maurie tertawa. Salah satu alasan yang membuatnya rajin olahraga adalah pekerjaannya sebagai food vlogger.
"Enggak takut banget, sih. Karena kata health influencer yang sering aku tonton, semakin kamu banyak makan, semakin kamu harus sering olahraga."
"Ya, minimal seminggu 4 kali, lah. Btw, besok kamu ada acara?"
Maurie terdiam sejenak, mengingat rentetan jadwal kegiatannya besok. "Ada. Mungkin sampai sore. Kenapa?"
"Besok aja, aku kabarin. Nomorku disave, kan?"
"Iya. Oke, deh. Kalau nggak telepon aja."
"Oke lah, kalau diijinkan telepon. Kadang suka ada yang terganggu, jadi maunya chat aja."
"Aku tergantung. Kalau lagi sibuk sama pekerjaan, kalau nggak terlalu penting, ya, aku skip."
"Wajarlah. Kan, lagi kerja. Maurie, makasih, ya, udah mau nemenin ngobrol sampai lama."
"Never mind. Makasih juga. Kamu adalah orang pertama yang bisa bikin aku betah ngobrol."
Obrolan malam ini berakhir dengan senyuman hangat Mark yang mengantarkan kepergian Maurie dari tempat itu. Dari spion mobil, Maurie memperhatikan lelaki itu dengan penasaran. Bibirnya tersenyum simpul kala melihat Mark segera masuk ke mobil dan turut meninggalkan tempat itu.
Mark, why are you so sweet? Padahal baru kenal.
***
Tbc
3 januari 2023
Salam,
S. Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top