Bab 1

"Maurie!" Lengkingan suara sang kakak perempuan sekaligus managernya membuat food vlogger yang sedang dibanjiri endorsement itu menggeliat dari balik selimut tebalnya. Matanya setengah memicing ketika sinar matahari mulai menyirami wajahnya. Kebiasaan Melissa membangunkan adiknya adalah dengan suara lengkingan sembari menarik rapat tirai gorden kamar Maurie. Gadis yang suka tidur dalam gelap itu secara otomatis akan bangun. 

"Apa sih, Mbak Lissa?" lenguh Maurie sambil duduk dengan terpaksa. Kepalanya tertunduk lunglai dengan mata setengah terpejam. Rasa kantuk masih terlalu kuat menggelayuti dirinya. 

"Bangun. Udah siang. Kita ada jadwal ketemu orang di Kasablanka," ujar Melissa sambil mengikat rapi tirai gorden warna biru pastel itu. 

"Ngapain?" Maurie masih belum mendapatkan kesadarannya secara penuh. Masih setengah mengantuk, ia memaksakan diri turun dari ranjang menuju ke kamar mandi. Ia harus bergerak sebelum Melissa mengaum lebih kencang. 

"Lupa? Ketemu Pak Wisnu buat tanda tangan kontrak. Kamu, kan, kemarin udah setuju jadi Brand Ambassador minumannya dia."

Maurie berhenti di depan pintu kamar mandi. Keningnya mengernyit dalam lalu menoleh ke arah Melissa. "Minuman apa?"

Terdengar Melissa berdecak. Rasanya ingin menjentikkan jarinya di dahi adik satu-satunya itu. Namun, ia menahan. Ia tahu benar adiknya itu. Makanya, ia memilih membuka lemari pakaian Maurie dan memilih beberapa pakaian. Untuk pertemuan penting, ia tidak akan mempercayakan Maurie memilih pakaiannya sendiri. Gadis 28 tahun itu terkadang masih suka seenaknya sendiri, asal nyaman. 

"Up 'n Down. Produk dasarnya coffee sama boba. Udah, buruan. Keburu siang nanti." Melissa kembali menjelaskan sambil beranjak mempersiapkan barang-barang yang biasa dibawa adiknya. Sebenarnya bukan Maurie tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Namun Melissa ini cenderung memiliki sifat perfeksionis. Semua harus tertata rapi, tanpa ada yang boleh tercecer. 

"Rie, semua udah Mbak siapin. Mbak tunggu di bawah, ya? Sambil sekalian briefing anak-anak kreator."

Suara gemericik air menyamarkan sahutan oke dari Maurie. Melissa segera beranjak meninggalkan kamar. Rumah dua lantai ini kini ditempati keluarga kecil Melissa, Maurie dan sekaligus kantor bagi team vlog-nya semenjak dua tahun lalu. Kedua orang tua kakak beradik ini memutuskan untuk menepi di kampung halaman, menikmati masa tua. 

Setengah jam sudah, Maurie keluar dari kamarnya dengan riasan minimalis. Tubuh rampingnya berbalut jumpsuit hitam tanpa lengan. Ia menenteng tas mungil keluaran eropa dan blazer putih gading.

"Bentar, Mas Barra lagi siap-siap dulu," ucap Melissa menyadari kedatangan Maurie.

Selama dua tahun belakangan, setelah Maurie berhenti dari pekerjaannya sebagai bintang iklan, ia memutuskan untuk menekuni hobi vlog-nya dibantu oleh dua temannya sebagai pengambil video dan editor. Lambat laun, channel daily vlog miliknya meraup cukup banyak pundi-pundi. Hingga kemudian Maurie meminta bantuan Melissa dan suaminya, Mas Barra untuk bergabung menjadi bagian tim vlognya. Dan sekarang Melissa menjabat sebagai manager Maurie. Sementara Mas Barra membawahi anak-anak kreator. 

"Kita bertiga aja?" tanya Maurie melihat tim-nya sudah kembali pada pekerjaannya masing-masing. 

"Iya. Nanti kita begitu selesai, langsung balik pulang. Manda lagi siapin properti buat konten."

Maurie mengangguk. Sesuai jadwal yang sudah tersusun, rencananya sore ini Maurie akan membuat konten untuk sebuah makanan homemade dari kalangan UMKM.

***

Di kantor Up 'n Down, Mark datang sebelum pukul 7 pagi seperti biasanya. Ia tidak segera menuju ke ruangannya, melainkan mampir ke meja kerja Pak Wisnu yang membawahi bagian marketing. Sebelumnya, ia sudah membuat kesepakatan mengenai pemilihan talent sebagai brand ambassador perusahaan minumannya. 

"Pak Wisnu, pastikan hari ini calon BA kita hadir untuk tanda tangan MOU, ya? " ucap Mark mengingatkan. 

"Sudah saya siapkan semua berkasnya, Pak Mark. Saya sudah tentukan jadwal untuk Maurie Tunggadewi di jam 10 nanti."

Mark terdiam kemudian menatap jam di pergelangan tangan. Ia sedikit berpikir. "Jam 10, ya? Saya ada meeting di luar sama Leo. Yang penting, kan, sudah ada kesepakatan dengan managernya. Jadi, kalau saya percayakan sama Pak Wisnu, nggak apa-apa, ya?"

Pak Wisnu mengangguk paham. Belakangan memang sedang banyak pengajuan franchise. Belum lagi ada festival yang diadakan pemerintah daerah. "Baik, Pak. Nanti akan saya urus semuanya dengan baik."

Mark segera bergegas meninggalkan ruangan Pak Wisnu. Ia perlu mengambil beberapa berkas yang ditinggalkan Leo. Sementara Pak Wisnu kembali melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu Maurie beserta manajernya datang. Benar saja, influencer itu datang tepat waktu. Mark tidak pernah salah dalam memilih talent. 

"Selamat datang, Maurie, Mbak Melissa, dan Mas Barra," sapa Pak Wisnu menyambut kedatangan mereka. "Terima kasih, lho, sudah menyambut baik tawaran kami. Tapi hari ini, Pak Mark diwakili oleh saya. Kebetulan beliau sedang ada rapat bersama Pak Leo."

Up 'n Down didirikan oleh dua laki-laki yang sudah bersahabat lama. Leo Sanjaya dan Mark Donovan Suryatmaja. Setelah sedikit berbincang-bincang, Pak Wisnu memberikan surat kontrak kerja sama yang harus ditandatangani oleh Maurie. 

"Nanti Mbak Aulia akan memberikan jadwal untuk sesi perkenalan dan photoshoot." Pak Wisnu menjelaskan beberapa poin yang harus Maurie kerjakan sambil menunggu kedua wanita di hadapannya selesai membaca pasal-pasal kerja sama itu. 

"Baik, Pak. Nanti kita diskusikan selanjutnya mengenai jadwal." Melissa mengangguk paham. Sementara Maurie mulai membubuhkan tanda tangan diatas materai. Hari ini ia resmi mengikatkan dirinya sebagai Brand Ambassador untuk perusahaan minuman Up 'n Down itu. 

Begitu selesai, mereka segera berpamit. Rentetan jadwal shooting vlog sudah menunggu di rumah. 

"Mbak, aku beli minum dulu, ya?" bisik Maurie  saat menuju ke basement Mal Kasablanka itu. 

"Boleh. Jangan lama-lama, ya? Mbak juga mau. Beli satu aja. Biar Mbak berdua sama Mas Barra."

"Ciee." Maurie mengerlingkan mata. Meskipun sudah menikah lima tahun lamanya dan belum diberi keturunan, tapi keromantisan itu tidak berkurang sedikit pun. Dan diam-diam Maurie bangga pada kakak perempuannya itu. 

"Dih. Udah sana. Kita harus buru-buru pulang." Melissa mengingatkan. Tidak. Ia hanya sedang menutupi semu merah jambu di pipinya. Adiknya ini memang suka menggoda dirinya. Jahil. 

Maurie tertawa kecil. Ia bergegas mencari stand minuman yang kini menjadi bagian dari rasa penasarannya. 

"Bobba original dua, ya, Mbak?" tutur Maurie dengan penuh percaya diri. Ia mengeluarkan satu kartu pembayaran dari tas mungilnya. 

"Ukuran large atau regular, Kak?" tanya petugas kasir sembari menyentuh layar monitor. 

"Satu regular, satu Large. Jadi berapa, Mbak?"

Sang petugas segera menyebutkan jumlah harga yang harus dibayar untuk dua gelas minuman tersebut. Maurie mengangguk setuju dan segera mengeluarkan kartu debit miliknya. Namun sayangnya, sang petugas tidak bisa melanjutkan transaksi. Mesin EDC yang dimilikinya tidak bisa bekerja dengan baik setelah beberapa kali transaksi tadi berselang seling mengalami gangguan jaringan, kali ini tiba giliran Maurie, sama sekali tidak bisa digunakan. 

"Kakak, Maaf, untuk pembayaran bisa menggunakan cash saja? Sistem jaringan kami sedang down. Mohon maaf untuk kendala yang Kakak alami," tutur sang petugas itu dengan sopan. 

"Oh, sebentar, ya, Mbak. Saya cari dulu," ucap Maurie mengerti. Ia lantas menggeledah dompet miliknya. Namun sayangnya, ia tidak memiliki uang cash sejumlah harga yang harus dibayar. "Ada metode pembayaran lain nggak, Mbak? Uang cash saya sepertinya nggak cukup."

Maurie masih berusaha mencari selipan uang cash di tas mungilnya. Biasanya, setiap kembalian belanja, Maurie selalu menyelipkannya di dalam saku tas. Bukan ke dompet. Namun kali ini ia tidak mendapatkan apa pun. Melissa sudah membereskan semuanya. Maurie mengembuskan napas, pasrah. Terlalu teliti, bukan jaminan semua berjalan lancar. 

Manusia tidak selalu sempurna, bukan? 

"Berapa yang harus dibayar, Mbak? Gabungkan sama saya aja. Sekalian saya mau kayak biasa, ya?"

Seseorang segera mendekat di belakang Maurie berbicara setelah memastikan gadis di hadapannya bukan orang lain baginya. Sang petugas nampak sedikit terkejut sebelum isyarat Mark membuatnya mengangguk paham. Jemarinya segera menyentuh layar monitor di hadapannya memasukkan minuman langganan laki-laki itu. Maurie segera menoleh. Ia mendapati sesosok laki-laki tinggi dengan kaos polo hitam dan celana jogger warna cream tersenyum ramah padanya. Maurie sedikit tergagap kemudian membalas senyuman itu. 

"Makasih, Mas."

"Kembali kasih," jawabnya terdengar bersahabat. 

"Oh, saya Maurie," gadis itu menyebutkan nama akrabnya. "Ada nomor rekening, Mas? Biar saya transfer yang barusan."

"Maurie. Cantik namanya. Saya Mark." Laki-laki itu merespon Maurie dengan hangat. Sebenarnya ia sudah tahu nama gadis itu. Bagi Maurie, ini pertama kalinya bertemu sosok sehangat ini. "Udah, nggak usah dipikirin. Lain kali aja kalau mau ganti."

Maurie terbengong. Lain kali? Namun laki-laki itu terkekeh. 

"Cuma sekedar minuman, jangan diambil pusing."

Gadis itu meringis. "Tapi nggak enak lho. Mas-nya juga 'kan nggak kenal saya. Terus kalau saya mesennya banyak gimana?"

Baru kali ini ia bertemu orang asing yang dengan santainya membayari minuman. Lelaki itu mengulas senyum. Ia paham apa yang Maurie maksud. 

"Maurie 'kan kata kamu tadi."

"Iya, sih." Sejenak Maurie terdiam. Tanpa ada niat dan pikiran lain, sambil menunggu pesanan, Maurie lantas kembali berkata, "Gini aja deh, Mas. Biar lain kali saya bisa traktir, saya minta kontak Mas aja. Atau Mas simpan kontak saya aja. Kapan pun, saya pasti oke."

"Oh, itu gampang. Panggil Mark aja," ucap laki-laki itu dengan ramah. 

"Oke, M-Mark."

Tidak lama, pesanannya pun jadi. Dan Mark tidak juga memberikan kontak. Maurie kini bingung harus bagaimana. Ia berdiri termangu dengan dua gelas di tangannya ketika Mark mulai berbalik badan untuk pergi. 

"Mark!" panggilnya menahan langkah lelaki itu. Padahal ia sendiri masih belum tahu mau bicara apa. 

Mark menghentikan langkahnya, sedikit menoleh. Wajah ramah itu malah membuat otak Maurie kosong. Ia hanya berjalan mendekat dengan senyum kaku. 

"Sekali lagi, makasih, ya? Lain waktu kalau berjodoh, aku bakal traktir kamu." Hanya itu yang terlintas di pikiran Maurie. Kalau berjodoh katanya. Maurie tahu kemungkinan itu sangat kecil. Namun baginya itu cukup menjadi penutup basa-basi yang manis. 

Mark mengangguk tanpa keberatan. "Oke. See you next time, ya, Maurie. Senang ketemu kamu. O, ya, aku duluan, ya. Masih ada hal lain yang nunggu."

"Oke. Enjoy, Mark." Gadis itu membalas senyuman menawan Mark. Tangannya melambai melepas kepergian Mark. Meski begitu, matanya masih membuntuti punggung Mark hingga lenyap terbawa eskalator menurun. 

Maurie lantas turut bergegas meninggalkan stand minuman tersebut, mencari keberadaan Melissa dan suaminya. Sekilas, gadis itu menyempatkan diri untuk menyedot minuman miliknya. 

Keningnya mengernyit. Bibirnya mencecap beberapa kali untuk memastikan rasa. "Ada yang lain."

"Kenapa, Rie?" tanya Melissa melihat Maurie mengernyit aneh. 

"Lebih manis dari yang lain. Spesial pake Mark," gumam Maurie melantur. 

"Mark?" Melissa menatap heran kemudian mencicipi minuman miliknya dari tangan Maurie. Sesaat, Melissa memastikan rasa minuman tersebut. Kemudian kepalanya tergeleng. "Emang enak sih. Lebih creammy. Tapi nggak over manisnya. Apa yang lain sih?"

"Iya, nggak over emang. Tapi ada rasa something yang Mbak Lissa nggak tahu." Maurie meringis lebar tanpa memberi tahu apa yang membuatnya seperti ini. 

***

Tbc
Selamat hari Senin, Selamat beraktifitas kembali. 😘

2 Januari 2023
Salam,
S. Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top