8. Feeling

IF WE START AGAIN
Bab 8: Feeling (Runa's POV)

***

Selalu ada yang pertama, dan untuk pengalaman pertama mengajari anak SMA yang notabene sebaya dengannya, bisa dibilang, cukup baik. Runa tidak mendapat kesulitan berarti. Bahkan, boleh dibilang, mengajari Arga terbilang mudah, terlepas dari fakta (atau mungkin tepatnya, pendapat Runa) bahwa cowok itu memang sedikit lambat dalam memahami suatu materi.

Tidak masalah, pikir Runa. Ini bukan hal baru. Beberapa orang memang harus diajari dengan kesabaran ekstra agar bisa berjalan lancar.

Sejauh ini, Arga bisa diajak bekerja sama. Tidak rewel. Juga, tekun. Tiga poin yang sudah sangat membantu Runa. Seperti sekarang, misalnya. Di samping Runa yang tengah menjelaskan materi, Arga duduk dengan tenang. Anteng mendengarkan. Matanya tertuju ke buku di hadapan. Raut wajahnya menunjukkan keseriusan. Ekspresi wajah yang membuat Runa tersenyum tipis.

"Jelas?" Runa mengakhiri sesi materi hari ini. Fisika. Salah satu mata pelajaran yang, menurut pengakuan Arga, merupakan kelemahan terbesar cowok itu. Begitu dilihatnya Arga mengangguk, Runa kembali bertanya, memastikan, "Ada pertanyaan?"

Arga ber-hmm sebentar, tampak berpikir. Tiga detik kemudian, cowok itu menggeleng. "Buat sekarang, enggak ada. Enggak tau nanti."

Runa menyengir geli. "Oke, kalau gitu, kita lanjut ke sesi latihan, ya?" Cewek itu tersenyum, menyelipkan rambut ke belakang telinga, dan meraih tas di dekat kaki. Diserahkannya lembar soal kepada Arga. "Waktunya setengah jam. Bisa?"

Hanya tiga soal. Harusnya Arga sanggup dengan batas waktu yang Runa minta. Dugaan yang bersambut. Dilihatnya Arga mengangguk. I'll try. Begitu kata cowok itu. Ah, kalau soal ketekunan, Arga memang bisa diandalkan. "Kalau ada yang dirasa susah, bisa tanya ke gue."

"Mmm." Arga bergumam ringan. Hening setelahnya. Menyisakan detak detik jam dinding sebagai pengisi kekosongan. Lima menit kemudian, Arga kembali bersuara, "Na, boleh nanya sesuatu?"

Runa yang tengah membaca buku di pangkuan refleks menoleh dengan tatapan tertuju ke lembar jawaban Arga. "Ada yang sulit? Nomor berapa?"

"Bukan, bukan." Arga buru-buru menjelaskan. "Bukan tentang ini. Cuma mau nanya, abis ini, lo free nggak?"

Runa mengernyit. Hanya sebentar sebelum anggukan ia berikan. "Abis ini gue mau balik ke kosan." Cewek itu menjelaskan. "Kenapa?"

Gerakan Arga terhenti setelahnya. Cowok itu mengangkat wajah, menoleh, dan menatap Runa tepat di iris mata. "Anu ...." Arga menggaruk kepala, meringis. "Boleh minta tolong nggak? Lebih tepatnya, gue mau minta krisar soal kemampuan public speaking gue gimana. Apa cukup jelas? Intonasi, artikulasi. Terus, apa gue ngomongnya kecepetan atau gimana."

Runa ber-oh. "Boleh. Kenapa nggak?" Cewek itu mengangguk. "Abis ini berarti, ya?"

Arga mengangguk kuat-kuat. Senyum riang tercetak di wajahnya. Cowok itu lantas kembali menekuni soal di hadapan. Menyisakan Runa yang sedikit banyak mulai penasaran. Dalam rangka apa Arga meminta tolong agar Runa memberi kritik dan saran terkait public speaking cowok itu? Lomba, kah? Atau, hanya sekedar presentasi biasa? Entah.

Apa dia tanyakan sekarang saja, ya? Runa melirik Arga yang masih sibuk menghitung dan menghasilkan coret-coretan sembarang. Beberapa kali dilihatnya Arga menggaruk kepala. Raut wajahnya tampak kebingungan. Nanti sajalah, pikir Runa.

Baru dia ingin lanjut membaca buku sembari menunggu Arga menyelesaikan latihan, ternyata oh ternyata, cowok di sebelahnya itu lebih dulu yang memantik obrolan, "Na, boleh nanya?"

"Ada yang sulit?" Refleks. Tiap kali anak didiknya memanggil namanya, Runa selalu mengatakan kalimat dengan inti demikian.

"Bukan, bukan." Arga meringis. "Kalau boleh tau, lo dapet formulir seleksi ketua OSIS, nggak?"

Mendengarnya, jujur saja, membuat Runa terpaku. Cukup lama sebelum dia tersadar ketika Arga memanggil namanya lagi. Ragu, Runa menggeleng. Tanpa memberikan sepatah kata pun. Karena pada faktanya, dia memang tidak mendapatkan formulir seleksi ketua OSIS. Justru sebaliknya. Dia mendapatkan formulir untuk menjadi ketua OSIS. Langsung. Tanpa perlu bersusah payah mengikuti seleksi yang konon sangat sulit dan identik dengan kalimat penuh darah dan air mata.

"Loh? Iya?" Arga tampak terkejut. Tidak lama. Cowok itu lantas mengangguka-ngguk. "Jujur, gue agak ... surprising, sih. Karena Agesa yang peringkat dua seangkatan dapet. Sementara ...."

Jujur, Runa sedikit tertohok.

"Maaf, gue nggak bermaksud gitu." Arga langsung menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Gue cuma ... err ... gimana nyebutnya, ya?" Cowok itu mengusap leher belakang.

"Penasaran?" tembak Runa, yang mana langsung membuat Arga mengangguk. "Gue ... juga enggak tau, sih. Beberapa temen gue di kelas IPA 3 dapet, tapi gue enggak."

Arga mengangguk-angguk. "Algoritma sekolah kadang memang enggak setertebak itu, ya?" Cowok itu lantas menyerahkan lembar jawaban di tangan kepada Runa.

Runa mengiakan dengan tatapan fokus pada lembar jawaban Arga. Jujur saja, dia sedikit tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Terlebih, fakta bahwa dia, Runa Alyssa, sebenarnya bisa dibilang sudah menjadi Ketua OSIS SMA Nusa Garuda di balik layar. Hanya perlu menunggu waktu hingga jabatan itu resmi diumumkan kepada umum. Dan, dia sudah berjanji kepada Miss Mala untuk merahasiakannya sampai waktu itu tiba.

Karenanya, cepat-cepat Runa menyelesaikan tugas mengoreksi jawaban Arga, memberikan sedikit review, dan menyerahkannya pada cowok itu. "Tolong diperbaiki, ya. Gue tunggu sampai Rabu. Boleh langsung difoto dan kirim via WhatsApp."

Arga ber-hmm sebentar, berdiri, dan menyuguhkan senyum lebar. "Bisa kita mulai sekarang?" Cowok itu menepuk-nepuk saku celananya.

Runa mengangguk, sedikit banyak bersyukur pembicaraan soal dirinya-yang-tidak-mendapat-formulir-ketua-OSIS otomatis berakhir. "Go ahead!" Cewek itu memperbaiki posisi duduk, siap mendengarkan.

Bisa Runa lihat Arga mengeluarkan lipatan kertas dari saku celana, membuka, dan berdeham satu kali sebelum cowok itu menatap Runa lekat-lekat. Arga tersenyum, membuat Runa sempat tertegun sebelum ikut tersenyum. Arga memulai dengan salam, penyebutan hormat kepada segenap pihak yang patut mendapatkannya, dan juga menyapa siswasiswi. Seolah-olah cowok itu benar-benar tengah berbicara di depan umum.

Runa akui, Arga cukup menarik untuk menyedot atensinya. Maksudnya, kemampuan cowok itu berbicara. Sejauh ini, menurut Runa, cukup oke. Hanya saja ... entah kenapa perasaan Runa menjadi sedikit tidak enak. Terlebih, saat didengarnya Arga memperkenalkan diri dengan cara kelewat formal. Cara yang Runa ingat persis sekali dengan-

" ... berdirinya saya di sini, izinkan saya menyampaikan visi dan misi saya selaku kandidat Ketua OSIS SMA Nusa Garuda. Visi dan misi yang akan saya jalankan jika terpilih menjadi Ketua OSIS pada periode ini ...."

-kandidat ketua OSIS memperkenalkan diri.

Benar saja. Runa yakin tidak ada yang salah dengan telinganya. Suara Arga begitu jelas. Visi dan misi selaku kandidat Ketua OSIS SMA Nusa Garuda, katanya. Selarik kalimat yang sukses membuat Runa terpaku lama. Terlalu lama hingga ia dikejutkan Arga yang memanggil namanya beberapa kali dan menepuk lembut pundaknya. Tepukan lembut yang sukses membuat Runa menjengit.

"Eh, sori." Arga yang mendapati Runa bertingkah aneh langsung menarik tangan. "Gue ngagetin, ya?"

Ah, Runa! Cewek itu menggeleng-geleng. Fokus! "Udah selesai?" tanyanya.

"Baru nyampe setengah, sih." Arga menatap kertas di tangan dan Runa bergantian. "Cara gue nyampein visi dan misi ngebosenin, ya?" Cowok dengan rambut luruh mentutupi dahi hingga ujungnya sedikit menyentuh mata itu meringis.

"Enggak, kok. Enggak." Buru-buru Runa menggeleng. "Bagus, kok. Intonasinya jelas. Artikulasinya jernih. Penyampaiannya menarik. Jelas keliatan kalau lo punya aura wibawa yang lumayan kuat." Runa menjelaskan dengan panjang lebar.

Arga hanya tersenyum tipis, tidak mengatakan apa-apa.

Runa mendesah, paham maksudnya. "Sori banget, Ga. Tiba-tiba gue sedikit pusing. Jadi agak enggak fokus." Yah, ini fakta, sih. Runa tidak sedang mengada-ada. Tiba-tiba saja dia dilanda sakit kepala yang terasa menusuk-nusuk batok kepalanya.

"That's okay." Arga tersenyum. Senyum lembut yang menawan. Cowok itu lantas menyimpan kertas yang sudah ia lipat ke saku celana dan membantu Runa membereskan buku-buku serta alat tulis. "Ayo, gue anter ke bawah," ajaknya.

Runa mengangguk, diam-diam bersyukur karena rupanya Arga cukup peka dengan keadaan. Poin plus lain di mata Runa. Cewek itu tersenyum, meraih ransel dan menentengnya keluar. Di depannya, Arga berjalan lebih dahulu. Langkahnya tegap saat menurunini anak tangga. Sesekali cowok itu menoleh, seolah memastikan kalau Runa baik-baik saja.

Yah, sejujurnya, Runa setengah tidak baik-baik saja sekarang ini.

"Sudah selesai?" Tante Leta-bundanya Arga-yang duduk di sofa ruang tengah menyapa. "Gimana belajarnya hari ini?"

"Aman, Bun." Arga mengacungkan jempol.

Tante Leta tersenyum. Tatapannya beralih pada Runa, yang disambut anggukan oleh si bersangkutan. Benar, kok. Pembelajaran hari ini 'aman'. Tidak ada masalah berarti.

Tante Leta memang sempat mewanti-wanti Runa tanpa sepengetahuan Arga. Berkata bahwa putranya yang diajar Runa itu terkadang bisa sangat mood swing. Kalau mood-nya sedang anjlok, bukan mustahil Arga akan bersikap uring-uringan di depan Runa. Kalau itu terjadi, segera hubungi Tante. Begitu, sih, kata Tante Leta. Runa waktu itu hanya mengangguk, tidak terlalu terkejut karena Tata sudah pernah mengingatkan.

Sejauh ini, semua masih aman terkendali. Setidaknya, untuk sekarang ini. Entah bagaimana ke depannya.

"Bun, ada obat sakit kepala enggak?" Suara Arga bertanya membuat lamunan Runa buyar.

Obat sakit kepala, katanya?

"Ada. Kenapa? Kamu pusing?" Tante Leta meletakkan majalah di pangkuan ke meja dan berdiri dengan cepat.

"Bukan."

Boleh tidak, sih, Runa kegeeran sekarang ini?

"Lho? Terus?"

"Buat Runa."

Oke, berarti bukan Runa yang kegeeran di sini.

Tante Leta ber-oh, lantas tersenyum dan meminta agar Runa menunggu sebelum berlalu. Meninggalkan Runa yang sempat cengo. Baru Runa ingin mencegah dan berkata agar Tante Leta tidak perlu repot-repot, niatnya ambyar begitu Arga menahannya. Cowok itu menggamit lengannya. Tatapannya lurus dan tampak serius.

"Serius, Ga. Enggak perlu repot-repot." Runa masih tidak enak hati.

"Sama sekali enggak." Tatapan Arga melembut. "Nah, ayo duduk dulu," ajaknya seraya menuntun Runa untuk duduk di salah satu sofa.

Runa, yang tidak memiliki pilihan lain, hanya menurut. Tiga menit kemudian, Tante Leta sudah kembali dengan nampan berisi segelas air putih, sepotong roti bakar, dan obat sakit kepala di tangan.

"Makan dulu, Na." Tante Leta menyodorkan piring berisi roti bakar yang disambut canggung oleh si penerima.

Runa mendesah dalam hati. Tidak ada pilihan lain. Dia mungkin tidak enak dengan apa yang dilakukan Tante Leta dan Arga, tapi akan lebih tidak enak hati lagi kalau menolak. Maka, buru-buru Runa menjejalkan sepotong roti bakar itu ke mulut. Kunyah dan telan. Diambilnya obat sakit kepala yang ada, merobek salah satu bungkusnya, dan meminumnya bersama segelas air.

"Lekas sembuh, ya." Tante Leta tersenyum seraya membereskan tetek bengek yang ada. "Arga, minta Kang Dudung buat nganterin Runa. Kamu bawa motor dia," kata Tante Leta lagi.

"Oke, Bun."

Sebelum Arga berdiri, buruburu Runa menahan. Jujur saja, ini sudah terlalu banyak. Terlalu banyak hingga Runa benar-benar merasa tidak enak hati. "Enggak perlu repot-repot, Tan, Ga. Saya cuma pusing sedikit. Kalau cuma pulang ke kos, enggak akan meleng, kok."

Tante Leta dan Arga saling pandang, seolah bertukar kata lewat mata. Sedetik kemudian, Arga mengarahkan pandangan pada Runa. "Yakin enggak apa-apa?"

Runa mengangguk, meyakinkan. "Insya Allah aman."

Arga menghela napas panjang, mengalah. "Chat gue kalau udah sampai, ya."

Runa tersenyum, menyetujui. Setelahnya, cewek itu bergegas berdiri dengan tangan menenteng ransel yang, entah kenapa, terasa kian berat. "Kalau begitu, saya pamit dulu."

Benar saja. Begitu Runa berjalan ke arah pintu, ransel di tangan terasa berat. Runa tidak yakin karena apa. Mungkin karena dia sendiri sudah lelah. Atau, mungkin karena perasaan tidak enak Runa memutuskan berkumpul di sana. Terlebih, perasaan bersalah kepada Arga. Berat sekali. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top