7. Problem

IF WE START AGAIN
Bab 7: Problem (Runa's POV)

***

Mendapatkan tambahan ‘anak’ untuk diajari bukan berarti uang yang Runa dapatkan mengalami lonjakan hingga bisa memenuhi kebutuhannya. Keuangan Runa masih sama seperti sebelumnya: pas-pasan.

Runa sendiri pun bingung. Apakah karena makin hari kebutuhannya makin banyak dan nilai barang kian tinggi, atau memang upah yang dia terima sebagai guru privat paruh waktu memang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya? Atau, jangan-jangan, ada tuyul atau babi ngepet yang menggerogoti uangnya? Oke, itu memang konyol.

Runa menggeleng pelan, sadar benar kalau pikiran-pikiran absurd itu muncul karena stres yang melanda akhir-akhir ini. Makin ke sini, Runa merasa, masalahnya kian bertumpuk. Masalah yang kalau dijabarkan satu per satu sepertinya akan memakan waktu lama untuk menuturkannya hingga habis. Cewek itu menghela napas panjang, terlonjak kecil saat merasakan sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.

Refleks, Runa menoleh. Cowok. Seseorang yang tidak dia kenal. Duduk di sebelahnya. Sepertinya pelanggan lain yang tengah menunggu antrean nasi goreng, sama seperti dirinya. Bisa Runa lihat kalau cowok itu memberi isyarat dagu. Begitu Runa mengikuti arah isyarat itu, bisa ia lihat mamang penjual nasi goreng menyodorkan plastik berisi pesanannya.

"Oh, iya. Makasih, ya, Mang." Runa tersenyum ketika menerima bungkusan tersebut. "Berapa, Mang?"

Mamang penjual nasi goreng tersebut menyebutkan sejumlah nominal. Nominal yang refleks membuat gerakan Runa merogoh uang di saku celana terhenti.

"Hah?" Runa cengo di tempat, setengah tidak percaya. "Bukannya kurang dari segitu, ya, Mang?" Cewek itu menyebutkan nominal harga terakhir yang dia ingat. Runa hafal betul harga nasi goreng di sini. Ya, iya. Wong dia langganan meskipun tidak terlalu sering membeli. Keadaan ekonomi Runa yang pas-pasan membuatnya harus berhemat. Berhemat artinya harus irit dan menahan nafsu bersenang-senang. Hanya sesekali Runa memanjakan nafsunya seperti ini.

"Waduh! Itu, sih, harga dua bulan yang lalu, Mbak. Sekarang, mah, udah beda. Serba mahal. Mau nggak mau saya kudu ngikut juga."

Allahu! Runa memelotot tanpa bisa dicegah. Dua bulan lalu, katanya? Jangka waktu yang membuat Runa sadar sudah berapa lama ia menahan diri. Demi bertahan hidup. Agar uang yang dia punya bisa cukup untuk hari demi hari.

Sekarang, Runa malu sendiri. Mana beberapa pelanggan yang duduk di sampingnya rupanya turut kepo dengan apa yang terjadi. Ingin sekali rasanya Runa segera bayar dan pergi dari sini. Masalahnya, uangnya kurang. Memang, sih, hanya kurang beberapa ribu dari nominal harga terbaru yang disebutkan. Namun, tetap saja. Beberapa ribu pun berharga. Tidak bisa didapatkan hanya dengan berjalan dan berharap menemukannya di antara semak.

Runa menenggak ludah, mencoba bernego, "Uangnya kurang, nih, Mang. Boleh nggak saya balik dulu buat ngambil kurangnya? Ntar saya balik ke sini lagi."

Untungnya, negoisasi itu bersambut. Si mamang mengangguk, mengerti. "Tapi, nasi gorengnya taruh di sini aja, ya, Mbak. Saya agak khawatir soalnya. Pernah ada kejadian kayak Mbak ini. Ternyata, dia nggak balik-balik."

Runa meringis, paham dengan makna tersirat dari kalimat tersebut. Kalau Mbak nggak balik, nasinya saya oper ke lain. Begitu kira-kira yang Runa tangkap. "Kasih saya lima belas menit, ya, Mang."

Baru Runa ingin menyerahkan plastik berisi bungkusan nasi goreng di tangan, sepotong tangan mendahului. Menowel lengan Runa dan bertanya, "Berapa kurangnya?"

Runa sempat mengerjap mendengarnya. Tiga detik dan dia langsung tersadar. Cewek itu menoleh, mendapati cowok yang duduk di sebelahnya tersenyum seraya merogoh saku celana belakang.

Runa tergelagap. "Eh, nggak usah. Saya—"

"Nggak apa-apa. Santai aja." Cowok itu membuka dompet di tangan dan mengeluarkan sejumlah uang. Diserahkannya pada mamang penjual. "Cukup, Mang?"

Si mamang menghitung sebentar uang di tangan dan memastikan, "Sekalian sama punya mbaknya?"

Cowok-tak-dikenal itu mengangguk sebagai jawaban.

Si mamang tersenyum lebar. "Kalau begitu, saya terima, ya." Setelahnya, si mamang berbalik. Kurang dari dua menit, si mamang kembali dan menyerahkan pesanan cowok yang membayar nasi goreng Runa berikut miliknya sendiri. "Silakan, Mas."

"Makasih, ya, Mang." Cowok itu kembali tersenyum. Sudut matanya melirik Runa dan menepuk pundak cewek itu pelan. "Gue duluan, ya."

Runa, yang masih terbengong-bengong, tidak bereaksi. Setengah surprising, sisanya lagi kagum. Barulah setelah si mamang penjual nasi goreng memanggilnya dua kali, cewek itu tersadar. Runa mengerjap, mendapati cowok yang memberinya "bantuan" berlalu menuju salah satu motor yang terparkir tak jauh dari gerobak si mamang penjual nasi goreng.

Buru-buru Runa berdiri, mengucapkan terima kasih pada si mamang, dan mengejar cowok entah siapa itu. "Hei!" panggil Runa, berniat menghentikan gerakan si cowok memasang helm dan siap tancap gas.

Bersambut, untungnya. Gerakan cowok itu terhenti. Sepasang matanya balas menatap Runa yang sudah berdiri di dekat motornya. "Ya?"

"Saya ...." Tiba-tiba saja Runa blank, tidak tahu harus bicara apa. Seolah ribuan kosa kata di memori inti kepala meluap begitu saja. "Anu ... saya—" Cewek itu menenggak ludah untuk kesekian kali. "—minta maaf."

Runa bodoh! Runa langsung merutuki dirinya sendiri. Di antara puluhan kata dan kalimat, kenapa harus minta maaf yang meluncur? Apa korelasinya, coba? Cewek itu ingin sekali mengacak-acak rambut, frustrasi.

Tanpa diduga, cowok di depan Runa malah tertawa kecil. Tawa yang, Runa akui, cukup menawan. "Minta maaf buat? Lo nggak ada salah apa pun, lho."

"Eh? Itu—" Runa tergagap, malu sendiri.

"Nasi goreng itu?"

Runa mengangguk.

"Anggap aja gue ngetraktir lo." Cowok itu mengedikkan kepala ke kanan satu kali. "Oke?"

Kita aja nggak kenal satu sama lain, batin Runa. Lagi pula, mentraktir dalam rangka apa? Kasihan karena Runa seperti orang yang tidak punya cukup uang tapi ingin sekali makan nasi goreng? Namun, celetukan itu hanya Runa simpan dalam hati. Tepat saat dilihatnya sebuah tangan terulur di hadapannya. Runa mengangkat wajah, mendapati cowok di depannya tersenyum lebar.

"Alvaro." Cowok itu memperkenalkan diri. "Lo Runa, kan? Runa Alyssa dari SMA Nusa Garuda."

Dari mana dia tahu? Runa terbelalak sendiri. Cewek itu bahkan sampai mundur satu langkah saking kagetnya.

"Oh, maaf. Gue bikin lo kaget, ya?" Alvaro menarik tangan. "Mungkin lo nggak ingat sama gue, tapi kita pernah ketemu pas OSN tahun lalu. Nggak literally ketemu juga, sih. At least, kita pernah satu ruangan dan jadi rival ngerebutin posisi menuju tingkat provinsi."

"Oh ...." Jujur saja, Runa tidak ingat. Ada banyak hal yang terjadi dalam satu tahun terakhir. Kepalanya dipenuhi terlalu banyak pikiran mencari solusi atas permasalahan yang dia hadapi, alih-alih menyiapkan ruang bagi kenangan indah di tempat perantauan. "Maaf, saya agak susah ngingat wajah orang yang baru pertama kali saya liat."

"That's okay." Alvaro menanggapi dengan santai. "Santai aja sama gue. Nggak perlu terlalu formal."

Runa meringis sebelum tersadar akan tujuannya mengejar cowok bernama Alvaro ini. "Eh, iya. Soal tadi—" Buru-buru cewek itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang sedikit kucel.

"Kan gue udah bilang, anggap aja gue ngetraktir."

"Jangan gitulah." Runa tidak enak hati. "Seenggaknya, biarin gue ganti sebagian. Ya?"

Alvaro tampak enggan. Cowok itu terlihat menimbang-nimbang untuk beberapa saat sebelum menjentikkan jari. "Gini aja, deh." Alvaro tersenyum, lagi. "Lo ganti pas kita ketemu lagi, ntar. Oke? Anggap aja next time lo yang traktir gue." Setelahnya, Alvaro mengenakan helm dan menghidupkan motor. "Gue duluan. See you, Runa." Setelahnya, cowok itu tancap gas. Meninggalkan Runa yang masih mencerna kejadian barusan.

Runa bahkan belum menyatakan persetujuan. Lebih-lebih lagi, siapa yang bisa menjamin mereka bisa bertemu lagi di lain waktu? Runa bahkan tidak tahu siapa cowok itu kecuali namanya yang ia dapatkan beberapa menit lalu.

* * *

Langkah Runa terasa berat ketika memasuki kawasan kos. Seakan ada beban tak kasat mata yang memberatkan kedua belah bahunya. Beberapa teman sekos yang berpapasan menyapa yang hanya dibalas Runa dengan senyuman. Buru-buru cewek itu menuju kamar dan mengucinya rapat-rapat.

Diletakkannya bungkus nasi goreng di tangan ke meja. Cewek itu lantas merebahkan diri ke kasur, menenangkan diri sebentar. Sempat terkelebat pertemuan dengan Alvaro sebelum kelebat itu tersapu dengan pikiran lain.

Runa menghela napas berat, beralih ke lemari dan membuka kuncinya. Sebelah tangannya menyusup ke salah satu lipatan baju dan mengambil dompet kecil dari sana. Dikeluarkannya seluruh uang yang ada di sana dan menghitungnya.

Nominal yang pas-pasan, bahkan cenderung kurang, kalau boleh jujur. Runa menggigit bibir. Padahal baru akan pertengahan bulan. Refleks, Runa memijat kening yang tiba-tiba berdenyut tak nyaman. Entah kenapa, masalah-masalah yang ada seperti menelisik ke kepala Runa dan dengan kurang ajarnya bertumpuk menjadi satu sebelum memorakporandakkan isi kepalanya.

Pikiran Runa terlempar ke masalah sekolah. Ah, Allah .... Cewek itu memejamkan mata. Bahkan untuk hidup sehari-hari saja Runa seperti siap tercekik kapan saja. Bertahan pun sudah sangat untung. Jika sampai beasiswanya dicabut, Runa tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Pilihannya mungkin hanya ada tiga.

Satu, dia tetap mencoba bersekolah seperti biasa sampai tagihan sekolah diberikan kepadanya. Runa tidak mampu membayar dan akhirnya berujung ditendang.

Dua, Runa sadar diri dan segera angkat kaki karena tersadar dia tidak memiliki kemampuan dan finansial yang cukup untuk menopang biaya bersekolah di NuGa yang konon biayanya gila-gilaan. Dan, Runa tahu, gila-gilaan itu benar-benar berarti harfiah.

Tiga, Runa akan mencoba mencari beasiswa lain yang mungkin bisa membantu. Ini bisa saja, sih. Namun, Runa pesimis. Bukan karena dia tidak yakin bisa mendapatkannya. Melainkan, apakah beasiswa itu bisa menutupi biaya bersekolah Runa yang kembali lagi ke poin dua: gila-gilaan.

Intinya: keadaannya sekarang ini benar-benar nano-nano. Terjepit di antara, bukan hanya dua hal, tapi banyak masalah.

Ingin rasanya Runa menangis saja, tapi dia sadar, menangis pun tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itu, Runa berdiri dan mengusap wajah. Dimasukkannya kembali uang di tangan ke dalam dompet dan menyimpannya di lemari. Begitu Runa menutup lemari, pandangannya langsung tertuju pada objek yang ada di meja belajar: surat tawaran untuk menjadi Ketua OSIS SMA Nusa Garuda.

Runa memicingkan mata, lalu meraih dan kembali membaca ulang (yang entah sudah berapa puluh bahkan ratus kali, rasanya) surat tersebut. Tawaran yang Miss Mala bilang mungkin bisa menyelamatkan beasiswa Runa.

Jujur, entah sudah berapa kali Runa melakukan salat istiharah. Meminta petunjuk dari-Nya. Namun, sampai sekarang, hatinya belum juga kunjung mendapat kecondongan untuk mengambil langkah apa dan jalan yang mana.

Sekali lagi, Runa menatap surat di tangan. Embusan napasnya terasa panjang. Sudah diputuskan. Setelah makan, dia akan melakukan salat istiharah terakhir terkait masalah ini.

* * *

"Masuk!"

Suara tegas dan bersih Miss Mala menyembul dari dalam, membuat Runa yang semula mengetuk pintu tiba-tiba jadi maju mundur ingin masuk. Dengan mengucap bismilah berulang-ulang, Runa menggeser pintu kaca ruangan Miss Mala dan mendapati sosok guru cantik itu tengah merapikan map-map yang berserakan di meja.

Duh, apa Miss Mala sedang hectic? Runa tanpa sadar meremas pinggiran map yang tengah ia pegang, tiba-tiba saja mendapat ide untuk segera mengacir. Hitung-hitung Miss Mala belum mengangkat wajah dan melihat siapa yang datang. Namun, apa daya. Tepat saat Runa akan menjalankan rencana yang hina nista dina itu, Miss Mala tiba-tiba mengangkat wajah, mendapati Runa yang tersenyum tipis-canggung.

Miss Mala ber-oh pelan, menegakkan posisi duduk dengan tangan memberi isyarat agar Runa duduk di kursi yang tersedia. "Silakan, Runa."

Runa mengangguk sopan, menarik kursi yang berhadapan langsung dengan Miss Mala-dengan meja sebagai pemisah. Cewek itu berdeham, berusaha menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba saja hinggap di dada. "Apa kabar, Miss?" tanya Runa spontan, berusaha basa-basi. Keputusan yang langsung ia sesali saat itu juga saat dilihatnya Miss Mala mengangkat sebelah alis, memberikan tatapan heran.

Duh! Dasar mulut! Runa merutuk kebegoannya yang mengubun-ubun.

"Seperti yang kamu lihat." Miss Mala mengedikkan bahu, memberi isyarat mata pada berkas-berkas yang sudah ditumpuk menjadi satu di samping kanan lengan "Jadi, Runa, ada apa? Jujur, saya tidak punya banyak waktu. Ada kelas dalam lima belas menit dan masih ada yang harus saya kerjakan."

Runa mengangguk paham. Cewek itu menenggak ludah gugup. Jantungnya berdegup cepat dengan detak yang tak karuan, menandakan adrenalin dalam diri mulai bereaksi. "Soal tawaran Miss," kata Runa seraya meletakkan map di tangan ke meja dan menyodorkan benda tersebut dengan hati ketar-ketir. "Saya sudah mempertimbangkannya," ucap Runa lagi. Cewek itu menghela napas, mencoba memantapkan hati yang tiba-tiba saja gonjang-ganjing seperti diterpa ombak ganas.

Miss Mala mengangguk-angguk. Jemari lentiknya menarik map yang disodorkan Runa mendekat, melihat sekilas berkas-berkas yang ada untuk beberapa saat. Miss Mala lantas menutup map tersebut sebelum menatap Runa lekat-lekat. "Sekadar mengingatkan, Runa, kami hanya memberikan opsi dan pilihan. Tidak ada niat sedikit pun untuk memaksa kamu menerima tawaran ini. Jangan sampai di kemudian hari, apabila beasiswa itu bukan rezekimu, kamu lantas menyalahkan dan menuntut sekolah karena merasa dipermainkan. Bisa dimengerti?" tanya Miss Mala memastikan.

Hening untuk beberapa saat. Ada jeda sebelum Runa mengangguk pelan seraya tersenyum-meski rasanya aneh sekali mengingat ini bukan momen yang tepat untuk merayakan kebahagiaan dengan senyuman. Ini adalah tentang pengorbanan, dan Runa sudah siap dengan konsekuensi ke depannya bagaimana nanti. "Mengerti, Miss."

Miss Mala lantas mengangguk, mengambil sebuah amplop tebal berwarna cokelat dari dalam laci dan menyerahkannya kepada Runa. "Surat perjanjian. Baca baik-baik setiap butir yang ada. Tidak harus sekarang. Boleh dibawa pulang. Kalau ada yang kurang jelas, silakan ditanyakan. Saya tunggu secepatnya."

Runa mengangguk, menerima amplop yang terulur dengan hati tidak menentu. Ada perasaan campur aduk saat Runa menyadari kalau tinggal selangkah lagi ia resmi menjadi Ketua OSIS SMA Nusa Garuda. Sebuah jabatan yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya.

Sejak awal, ketika pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, tujuan Runa hanya satu: belajar sungguh-sungguh. Demi mencapai serentetan impian yang mengiringi langkahnya ketika hijrah dari hijaunya Kalimantan Tengah menuju Jakarta.

Beasiswa yang dijanjikan kepadanya membuat Runa yakin kalau ia akan sanggup bertahan di luar kebutuhan selain sekolah. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sampingan sebagai pengajar private anak-anak SD dari satu rumah ke rumah lainnya. Runa bersyukur diberi kemampuan dan otak yang cukup baik dalam menyerap serta mengingat pelajaran akademik dari jenjang SD sampai SMA.

Mulai dari anak yang kalem, sampai spesies terbuas sekali pun sudah pernah Runa hadapi. Orang tua yang tidak banyak menuntut, maupun yang punya list panjang ekspektasi sudah pernah ia rasakan.

Ya, tidak apa-apa, sih. Runa pikir, wajar saja jika klien memiliki tuntutan yang berbeda-beda. Toh, mereka sudah keluar duit untuk membayar. Runa biasanya cuma diam saat ada orang tua yang protes kenapa anaknya masih saja mendapat nilai jelek padahal sudah diajar private. Tidak jarang hal itu berujung pada cacian bahkan pemecatan secara sepihak. Pernah sekali ia tidak diberi pesangon pula!

Tidak apa-apa, sih, sebenarnya. Terima saja. Sudah risiko. Asalkan sekolahnya lancar-lancar saja, Runa tidak keberatan harus puasa kalau dompetnya sedang tidak mendukung jeritan pilu perut yang kelaparan. Pernah dalam dua minggu ia puasa Daud agar bisa bertahan karena uang sudah habis untuk keperluan sekolah.

Memang, sih, Ibu mengirimkan uang tiap bulan. Tidak seberapa, tapi dicukup-cukupkan saja. Anggap saja risiko karena ia pergi tanpa restu penuh menuju Jakarta. Dibanding dengan keadaan perut, Runa lebih khawatir kalau kegiatan selama bersekolah tidak lancar dan sesuai ekspektasi serta harapan.

Karena itulah Runa menyibukkan diri dengan belajar. Tidak pernah tertarik pada ekskul apa pun, bahkan yang wajib sekali pun seperti pramuka (yah, sederhananya, Runa mangkir). Sesekali saja ia bersinggungan dengan beberapa ekskul seperti musik (biasanya, sih, karena Tata perlu rapper dadakan).

Harusnya semua berjalan mulus. Runa akan tetap mendapat beasiswa penuh sampai lulus nanti, mendaftar di kampus impian, lulus, dan segera bekerja. Setidaknya itu yang ia pikirkan sebelum fakta mengatakan beasiswanya terancam.

Ingin rasanya hati menjerit pilu, berkata tak adil sebelum Runa sadar kalau sekolah memang memiliki algoritma yang kadang seajaib itu.

Setelah beristiharah dan berdoa meminta petunjuk semenjak ditawari jabatan Ketua OSIS untuk mendapat peluang menyelamatkan beasiswa, Runa pun sadar kalau kondisinya benar-benar sudah terjepit di antara dua sisi. Nano-nano. Antara ego dan keharusan memilih satu. Maka dengan mengucap segenap bismilah, beryakin pada Tuhan, Runa pun menerima tawaran tersebut.

Jalan hidupnya di sekolah masih cukup panjang, dan Runa tidak ingin pulang ke Kalimantan dengan tangan kosong alias zonk belaka. Bisa-bisa ia kembali dicerca, bahkan mungkin lebih dahsyat dari sebelumnya.

Tidak, tidak! Runa menggeleng, mengusir pikiran itu dari dalam kepalanya saat ini. Ia akan berusaha untuk menyelamatkan beasiswanya, apa pun tantangan yang mesti ia hadapi. Cewek itu lantas menghela napas, permisi setelah merasa urusannya di sini sudah selesai. Dilihatnya Miss Mala mengangguk, mempersilakan. Baru Runa akan menggeser pintu, terdengar ketukan dari luar. Tepat saat Miss Mala menyerukan agar si pengetuk pintu masuk, barulah Runa bisa melihat dengan jelas siapa orang tersebut.

Arga.

"Hai," sapa Runa, diiringi senyum saat dilihatnya Arga seperti agak terkejut ketika mendapatinya.

"Oh, hai." Arga balas menyapa. Di tangannya terdapat selembar kertas yang ujungnya melayang-layang ditiup oleh angin dari luar ruangan. Beberapa hari ini kawasan SMA Nusa Garuda memang cukup berangin.

Hening beberapa saat sebelum di belakang sana terdengar Miss Mala berdeham, memecahkan lamunan keduanya.

Arga mengusap belakang leher sebelum permisi pada Runa. "Gue masuk dulu," kata Arga, secara tidak langsung memberi kode kalau Runa menghalangi jalan masuk.

Runa yang tanggap dengan isyarat itu refleks mengambil satu langkah ke kanan. "Silakan," kata Runa.

Arga mengangguk, melangkah masuk sebelum tiba-tiba berhenti. Cowok itu menoleh, menatap Runa lekat-lekat. "Lo ada kelas hari ini?" tanya Arga memastikan.

Di SMA Nusa Garuda, hari Sabtu memang sedikit istimewa. Akhir pekan hectic. Begitu sebagian warga NuGa menjulukinya. Hari Sabtu bebas digunakan untuk kegiatan apa saja. Tidak seperti hari lain di mana jadwal tersusun rapi. Misalnya, mengejar ketertinggalan kelas, rapat, gotong royong. Siswa bebas untuk memilih hadir atau absen. Tergantung kesepakatan bersama sebelumnya.

Runa menggeleng. "Cuma ngurus sesuatu. Ini mau pulang."

"I see."

"Argario Andana, Runa Alyssa. Silakan beritahu apa yang sedang kalian bicarakan. Saya dengan senang hati mendengarkan." Miss Mala menyela, membuat baik Runa maupun Arga meringis kecil karenanya.

"Gue duluan dulu, ya?" kata Arga seraya memberikan isyarat mata kalau Miss Mala sudah menunggunya sedari tadi.

Runa mengangguk, segera keluar seraya menutup kembali pintu ruangan Miss Mala. Cewek itu menghela napas, menatap sejenak amplop cokelat di tangan untuk sekian kali dengan perasaan tidak menentu. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top