6. First Impression
IF WE START AGAIN
Bab 6: First Impression (Arga's POV)
***
"Butuh bantuan?"
Agesa melongok, memperhatikan pekerjaan Arga yang walaupun masih belum runtut, setidaknya sudah ada bayangan akan selesai dibanding sebelum-sebelum ini.
"Salah, nih." Agesa menunjuk salah satu angka. Baris kedua soal yang dikerjakan Arga. "Pangkat. Bukan perkalian. Tiga pangkat dua masa enam? Hitung lagi." Agesa mengoreksi dengan senang hati meski dari awal Arga memperingatkan jangan memberikan petunjuk apa pun kali ini.
Gerakan Arga menulis jawaban terhenti beberapa saat. Cowok itu mengangguk-angguk seraya menjentikkan jari, baru sadar melakukan kesalahan. "Eh, iya." Cowok itu meringis, mengambil penghapus yang ada di meja Agessa tanpa permisi (buat apa juga sebenarnya. Toh, mereka sering berbagi barang), menghapus jawaban yang salah sebelum sadar ada sesuatu yang sama salahnya.
Agesa baru saja memberinya petunjuk!
Sontak saja, Arga mendelik, melemparkan tatapan sekeji Maleficent-versi laki-laki tentu saja-pada Agesa yang dengan santai menutup tumbler usai meminum air. Gemas, Arga melayangkan satu pukulan ke bahu Agesa, diikuti serangan lain. Tidak terlalu keras, sih, tapi cukup memberikan efek terkejut yang diiringi cenat-cenut pada bahu Agesa kalau tidak segera ditangkis oleh si bersangkutan.
"Lo curang! Nggak suka!" Arga menarik buku tugas di depannya, memutar posisi duduk ke samping kiri, membuat punggungnya membelakangi Agesa yang ia dengar terkekeh pelan.
Arga menoleh, merengut dengan bibir manyun lima mili seraya memelotot kesal. "Musuhan! Kita musuhan! Jangan lo panggil-panggil gue lagi." Setelahnya, Arga berbalik, menepis tangan Agesa yang sesekali menowel pipinya. "Dibilangin musuhan juga! Shuh!" Arga memperingatkan sekali lagi, yang alih-alih membuat Agesa gentar untuk 'mengganggu' kawan sebangkunya itu, justru merasa kian geli.
"Gue 'kan cuma ngasih tau di mana salahnya, bukan petunjuk. Daripada ujung-ujungnya salah terus ngulang lagi dari awal. Hayo! Pilih mana?" Agesa menyeringai, kembali menowel pipi Arga yang masih dalam mode senggol bacok. Kali ini kawan sebangkunya itu tidak menolak, membuat Agesa kian gemas untuk menowel bahkan mencubit kecil kedua belah pipi Arga yang bak kue bolu vanila itu: lembut.
Agesa lantas memegang kedua belah bahu Arga, menarik cowok itu untuk duduk dengan benar menghadap ke depan, yang untungnya Arga tidak menolak meski ia masih merengut kesal. Agesa terkekeh, mengulurkan siku menusuk perut kiri Arga yang mana menjadi kelemahan kawan sebangkunya itu. Sontak saja, Arga tertawa geli sebelum melempar tatapan stop atau gue patahin tangan lo itu pada Agesa. "Udah, dong, marahnya," bujuk Agesa lagi.
Untungnya Miss Mala sedang keluar saat bendera perang antar kawan sebangku dikibarkan. Ada urusan sebentar, kata Miss Mala. Nanti saya balik lagi.
Arga mendengkus, masih setia mengobarkan api permusuhan saat menyodorkan buku tugasnya pada Agesa. "Bener, nggak, nih? Nggak usah senyam-senyum kau! Masih musuhan kita!"
Agesa mengulum senyum saat menarik buku tugas fisika Arga mendekat, melihat sekilas sebelum mengangguk, memberikan acungan jempol dengan tulus.
"See? Gue bisa ngerjain tanpa dibantu, 'kan?" Arga membusungkan dada. Cowok itu kembali menekuri buku tugasnya, mengerjakan soal kedua setelah menerima kembali buku tugasnya dari Agesa.
"Iya, deh." Agesa geleng-geleng, mengerjakan soal terakhir dengan cepat sebelum cowok itu menutup buku dengan santai, meninggalkan Arga yang masih berkutat di soal kedua.
Agesa diam saja. Sepertinya Arga sudah lupa dengan tantangan yang ia lemparkan pada Agesa sebelum mengerjakan tugas. Ayo kita berlomba! Siapa yang selesai lebih dulu dan menjawab semua dengan benar, dia berhak ditraktir sepuasnya oleh yang kalah.
Agesa menerima tantangan itu dengan santai. Tentu saja Agesa yang menang, duh! Namun, Agesa tidak ingin merusak momen seperti ini. Jarang-jarang melihat Arga rajin dan penuh semangat mengerjakan tugas yang diberikan.
Agesa kembali menjulurkan leher, lagi-lagi mendapati Arga melakukan kesalahan kecil yang bisa berakibat fatal. Sama seperti sebelumnya. Baru saja Agesa berniat mengoreksi, Arga dengan cepat meletakkan jari telunjuk di depan bibir Agesa. Arga tanpa ragu mencubit dan menarik bibir kawan sebangkunya itu, membuat yang bersangkutan refleks menjerit kecil karenanya.
"Sakit, tau!" protes Agesa, manyun.
"Salah sendiri." Arga balas mendelik, lantas dengan wajah seolah tidak bersalah menyodorkan buku tugasnya pada Agesa, menunjuk tugas nomor dua yang sudah ia kerjakan. "Bener, nggak?" tanyanya penuh harap, siap melontarkan senyum takabur lagi.
Tanpa banyak bicara, Agesa langsung memberikan tanda X dengan kedua belah lengan. "Masih kurang teliti. Coba lagi," jawab Agesa to the point, tanpa basa-basi melihat dan meneliti pekerjaan Arga terlebih dahulu.
"Masa?" Arga meneliti jawabannya, merasa tidak ada yang salah. "Salah di mana?"
"Salahnya ada di elo, Tuan Muda Andana," sahut Agesa, manyun lima mili. "Dibilangin ada yang salah, malah bilang gue curang. Tuh, empat pangkat empat masa jawabannya enam belas. Emangnya perkalian?" lanjut Agesa dengan nada sewot, bete karena Arga main tarik mulutnya. Giliran salah jawab, nanya di mana salahnya. Kelakuan memang. Geblek.
Agesa mendelik ganas saat Arga balas merengut, protes dengan panggilan Tuan Muda Andana yang disematkan Agesa kepadanya. Biarin! Agesa balas memelotot, tanpa sadar mengibarkan bendera peperangan untuk kedua kalinya. Hanya sebentar, karena cowok itu tampak tertarik dengan kertas fotokopian berisi rumus yang dipegang dan sesekali dilihat Arga sebagai acuan. Tangan Agesa terulur, hendak mengambil kertas fotokopian tersebut setelah diletakkan Arga ke meja.
PLAK!
Arga langsung melontarkan satu pukulan pada tangan Agesa yang main serobot sebelum yang punya tangan balas memukul, membuat Arga meringis karenanya. "Liat bentar. Pelit amat, sih," protes Agesa yang mana langsung mendapat pelototan gratis dari Arga. Namun, Agesa tidak terlalu memperhatikan. Perhatiannya justru tertuju pada rentetan rumus di tangan.
Simpel, rapi, dan runtut. Sangat cocok untuk acuan bagi pemula-seperti Arga, contohnya. Mana tulisannya cakep bener, pikir Agesa. Nggak kayak tulisan Arga yang ... ah, sudahlah. Bisa mengamuk kawan sebangkunya itu kalau Agesa keceplosan.
"Tulisan siapa, nih? Cakep tulisan tangannya," tanya Agesa penasaran, menyerahkan kembali lembar fotokopian itu kepada Arga.
"Oh, punya Runa." Arga menyahut tanpa perlu repot-repot menoleh, berusaha tetap fokus dengan tugas di depannya setelah prosesi menghapus, lanjut mengerjakan ulang soal nomor dua.
Agesa manggut-manggut, sudah tahu kalau Runa sekarang adalah guru private-atau mentor seumuran lebih tepatnya-Arga sekarang. Cowok itu lantas menghela napas, bertanya dengan nada lebih serius. "Happy lo diajarin sama Runa? Udah beberapa hari ini gue liat lo jadi lebih semangat belajar. Bagus, deh, kalau kalian cocok. Cuma, jujur, gue masih nggak nyangka dia guru private lo sekarang. But, yeah, dia emang pinter banget, sih."
Gerakan Arga menulis jawaban nomor dua terhenti beberapa saat. Bukan hanya Agesa yang tidak menyangka. Ia pun sama kagetnya malam itu. Ternyata guru private seumuran yang dicarikan Oma untuknya adalah Runa, teman satu sekolahnya sendiri.
Ah, harusnya Arga tidak perlu terlalu kaget jika bicara tentang track record Runa selama ini. Cewek manis dan cerdas dari Kalimantan itu memang sering Arga dengar namanya dengan sederet prestasi menggiring. Pada kelas sepuluh kemarin saja cewek itu berhasil memboyong medali emas olimpiade biologi nasional.
Belum prestasi lain yang tak kalah silau. Beberapa di antaranya seperti juara pidato bilingual tingkat umum se-Jakarta, mengalahkan para anak kuliahan dari universitas terkenal. Atau juara lomba debat se-Jawa dan sekitarnya, serta prestasi lain yang kalau disebutkan satu per satu, akan sangat banyak penjabaran dan waktu yang dibutuhkan.
Intinya begitulah.
Padahal waktu itu mereka masih sama-sama baru di SMA Nusa Garuda. Masih berstatus sebagai siswa baru. Masih imut-imutnya dalam peralihan dari masa SMP menuju SMA. Namun, cewek itu melesat cepat, membuatnya menjadi populer di kalangan murid. Sudah pintar, cantik pula, kata sebagian siswa, entah itu cewek atau cowok. Benar-benar cemerlang.
Saking terkenalnya, pernah terdengar selentingan kalau Ketua OSIS SMA Nusa Garuda, Joe Alfa Ramadan, menawari Runa untuk masuk ke dalam jajaran anggota OSIS dengan jabatan penting. Walaupun, pada akhirnya menurut gosip yang beredar, Runa menolak tawaran itu untuk fokus belajar, membuat beberapa pihak menyayangkan keputusannya. Satu tahun berlalu, dan sekarang mereka sudah kelas sebelas. Banyak pihak yang memprediksi Runa akan menjadi Ketua OSIS tahun ini.
Karena itulah Arga menjadi lebih waspada dengan cewek itu. Bukan apa-apa, tapi kalau sampai prediksi itu benar-benar terjadi, itu berarti bisa saja Runa adalah saingan terberat Arga untuk mendapatkan posisi itu. Namun, sepertinya berita itu hanya perkiraan yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya.
Buktinya, saat tes uji kompetensi pertama dalam rangkaian seleksi calon kandidat Ketua OSIS SMA Nusa Garuda, batang hidung cewek itu tidak kelihatan. Sontak saja Arga merasa lega. Bagus, deh, pikir cowok itu. Setidaknya saingan berkurang satu meskipun Arga masih heran kenapa Runa tidak terlihat dalam rangkaian seleksi calon kandidat. Agesa saja yang selalu mendapat rangking dua dari satu angkatan per jurusan mendapat undangan. Masa Runa yang ada di atas Agesa tidak dapat?
Kemungkinan yang terpikir oleh Arga cuma dua. Satu: cewek itu mendapat undangan, tapi tidak berminat untuk ikut rangkaian seleksi selanjutnya, sama seperti Agesa. Atau, dua: cewek itu memang tidak mendapat undangan sama sekali. Arga lupa, kalau algoritma yang diterapkan sekolah kadang memang sesakti dan setidaktertebak itu.
Malam itu, saat Runa datang ke rumahnya, Arga tidak menyangka sama sekali kalau Runa-lah yang akan menjadi guru private-nya. Sama seperti Oma yang tidak menyangka kalau ternyata Arga dan Runa ternyata satu sekolah.
Terjadi perbincangan dan diskusi tentang apakah Runa bersedia untuk menjadi guru private dan mengajari Arga (setelah diskusi yang lumayan alot, Runa akhirnya setuju), berapa mata pelajaran yang akan diajarkan (Oma sempat request semua mapel agar diajarkan sebelum Bunda menyela, memberikan opsi agar beberapa mapel yang memerlukan bimbingan saja yang dileskan, seperti fisika, kimia, biologi, dan matematika-baik wajib maupun peminatan. Runa setuju dengan opsi Bunda), berapa lama durasi les (Oma meminta Sabtu dan Minggu, selepas magrib sampai jam delapan), dan juga fee (Oma bilang sesuai perjanjian di telepon sebelumnya, yang disetujui Runa. Arga bahkan tidak tahu berapa nominalnya).
Pembicaraan berlangsung selama satu jam sebelum Runa undur diri, pamit pada Arga yang mengantarnya sampai beranda. Arga berharap, semoga saja les yang dimulai pada esok malam akan berjalan lancar dan tidak membosankan-ini, sih, yang paling penting.
Les pertama dimulai tepat keesokan hari, diawali dengan salah satu mata pelajaran yang kerap membuat Arga sakit kepala dan frustrasi: fisika. Arga kira Runa akan menjejalkan aneka rumus menyebalkan malam itu, persis seperti guru di tempat les Arga yang lama. Namun, alih-alih mengajarkan rumus, Runa justru membuat permainan yang bisa dibilang cukup menyenangkan. Semua dimulai dari dasar, kata Runa sesaat setelah mengeluarkan buku-buku dari tas seraya tersenyum lembut pada Arga yang duduk di sofa panjang.
Khusus untuk les private perdana, Bunda dan Ayah menyiapkan ruangan khusus di samping ruang musik, menata sedemikian rupa agar nyaman dan kondusif. Satu sofa panjang diletakkan di tengah ruangan, dengan meja kaca yang cukup besar di depannya. Papan tulis putih besar lantas ikut diletakkan, tak jauh dari sofa, dengan jarak yang ideal. Pencahayaan diatur senyaman mungkin, dengan dua buah AC yang menguarkan suhu rendah.
Tepat saat Runa mulai memainkan permainan tentang dasar-dasar fisika, terdengar ketukan sebelum pintu dibuka, menampilkan sosok Bunda yang tersenyum seraya membawakan dua kotak martabak manis sebelum undur diri, membiarkan Runa dan Arga kembali melanjutkan belajar.
Untuk kesan pertama selama dua jam, Arga merasa cukup bisa memahami apa yang diajarkan Runa sebelum cewek itu pamit untuk pulang. Memang, sih, sesi belajar lebih luwes ketimbang belajar di tempat les yang lama. Runa sendiri lebih fokus pada Arga, bertanya apakah ada kesulitan atau ada hal yang tidak dipahami, dan dengan sabar membimbing Arga untuk menghubungkan rumus-rumus dasar dengan contoh yang ada.
Yah, harus Arga akui les cara mengajar Runa cukup menyenangkan dan brainstorming.
Seminggu berlalu, dan Arga cukup menguasai rumus-rumus serta teori dasar mapel yang diajarkan setelah sebelumnya ia merasa bego sama sekali terhadap mata pelajaran jurusan. Di sinilah Arga sekarang, mencoba mengerjakan tugas fisika yang rupa-rupanya setipe dengan yang diajarkan Runa kemarin malam. Makanya ia berani menantang Agesa untuk berlomba siapa yang lebih dulu selesai.
Baru saja Arga ingin menyahut kata-kata Agesa, ketukan sepatu hak tinggi Miss Mala terdengar memasuki kelas. Arga mengangkat wajah, mendapati guru cantik itu berjalan dan duduk dengan gerakan efisien, membuat siswa yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing kini kembali fokus.
Miss Mala menyeringai, berdeham. "Silakan kumpulkan tugas kalian sekarang." Setelahnya, Miss Mala bersedekap, tidak menghiraukan kerumunan massa yang mengerang tertahan, tak terkecuali Arga yang baru menyelesaikan dua soal.
"Kumpulkan dalam sepuluh, sembilan, delapan-" Miss Mala mulai berhitung, membuat seisi kelas langsung gelabakan mengumpul tugas yang baru seadanya. Sementara itu, Arga yang tiba-tiba saja blank, malah ngebut menulis sembarang jawaban.
"Udah, udah." Agesa yang duduk di sebelahnya menahan tawa, menarik paksa buku tugas Arga dengan tidak bermoral. Meninggalkan Arga yang bengong dan cengo di tempat dalam seketika.
"Woi!" seru Arga, yang meski cukup keras, masih kalah dengan suara gerasak-gerusuk yang lain. "Belum selesai itu, Agesa!" protes Arga. Cowok itu langsung mengacak rambut kasar saat dilihatnya Agesa kembali dengan santai, duduk di samping Arga yang kalah dengan taruhannya sendiri.
Agesa terkekeh kecil, menowel dagu Arga dengan tatapan mengerling jail saat dilihatnya kawan sebangkunya itu mengangkat wajah. "Ditunggu traktirannya, Tuan Muda Argario Andana," kata Agesa jail, yang mana hal itu langsung membuat Agesa pundung dan menelungkupkan wajah ke meja. Agesa tergelak. Diacak-acaknya rambut hitam legam Arga gemas.
Arga baru sadar, orang yang ia tantang itu adalah si ranking dua peringkat paralel satu angkatan. Ini, mah, senjata makan pangeran. Arga bersiap kembali sambat sebelum didengarnya lamat-lamat seisi kelas memanggil namanya. Cowok itu mengangkat wajah, mendapati teman-teman sekelas memberi isyarat kalau Miss Mala memanggilnya.
Setengah hati, Arga menghampiri Miss Mala. "Ya, Miss?"
Miss Mala menyodorkan selembar kertas, membuat Arga mengernyit heran. "Lusa. Jam empat sore sampai selesai. Di ruang auditorium." Hanya itu yang dikatakan Miss Mala. Tanpa penjelasan lain, membuat Arga makin heran karenanya.
Cowok itu membaca sekilas kertas di tangan sebelum terbeliak pelan. Sontak saja, ekspresi riang tercetak jelas di wajahnya. Arga mengangguk. "Baik, Miss. Terima kasih banyak."
Hari itu, dengan cepat mood Arga berubah menjadi lebih positif dan juga bersemangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top