3. Liar
IF WE START AGAIN
Bab 3: Liar (Runa's POV)
***
Runa memberhentikan motor tepat di depan kos. Buru-buru cewek itu turun dan berteduh. Hujan masih turun deras, membasahi semua yang ada tanpa ampun. Tak terkecuali Runa yang baru saja pulang dari mengajar.
Runa juga tidak menyangka kalau akan turun hujan sederas ini. Barulah setelah pulang dari rumah murid yang di-private (untungnya Runa tidak diomeli karena telat sepuluh menit. Iya, sih, tapi kena lirikan sinis nan horor. Refleks, Runa langsung minta maaf. Untung dimaafkan oleh ibu murid yang ia ajar), gerimis mulai turun ketika Runa masih setengah perjalanan. Tak lama. Tumpahan air dari langit menyusul tanpa ampun.
Tak ayal, Runa langsung tancap gas, tidak peduli dengan pakaian dan badannya yang basah kuyup. Mana di sekitar tidak ada tempat yang bagus buat berteduh. Jadilah sekarang ia berdiri di depan pintu kos dengan badan menggigil kedinginan.
Dengan tangan sedikit bergetar, Runa merogoh saku celana, mengambil kunci kamar kos yang terselip di sana. Ia perlu mengeringkan badan, atau mandi saja sekalian. Ah, ide bagus. Besok ada presentasi tugas biologi. Ia tidak ingin tampil dalam keadaan demam. Ah, Runa baru ingat. Mau tampil apanya? Ia bahkan belum mengerjakan tugas yang diberikan Bu Teno Heika.
Buru-buru Runa membuka pintu kos, menampilkan keadaan di dalam yang sedikit berantakan. Buku-buku berserakan, pakaian sekolah yang dilempar sembarang ke lantai (buru-buru tadi. Sudah, jangan komplain), juga sepatu sekolah tergeletak di ujung ruangan.
Ugh! Runa benar-benar harus ekstra berbenah setelah mengurus diri sendiri. Cewek itu menunduk, mendapati tetesan air dari pakaian membasahi lantai. Cepat-cepat ia mengacir ke kamar mandi, melepas semua pakaian dan memasukkannya ke baskom. Tepat saat Runa selesai mandi, azan magrib terdengar lamat-lamat dari musala dekat kos.
Salat dulu, deh. Runa mengambil pakaian santai dan mukena dari lemari, menghampar sajadah, dan salat dengan cepat karena ada banyak hal yang kaos dan harus dibereskan.
Tepat saat Runa melipat sajadah usai menunaikan salat magrib, terdengar seseorang mengetuk pintu. Runa berdiri, menguatkan hati dan jiwa sebelum membuka pintu. Bismilah.
Seperti yang sudah Runa duga, yang mengetuk tidak lain, ya, si Ibu Kos dengan wajah bete dan judes (khasnya dia, sih). Runa yang masih mengenakan atasan mukena menenggak ludah, takut-takut membukakan pintu lebih lebar.
"Sudah berapa bulan?" Itu adalah kata-kata pertama yang Runa dengar dari Ibu Kos hari ini. Wanita dengan postur tubuh pendek dan tambun itu membuka buku catatan panjang yang ia jepit di ketiak, membuka beberapa halaman. Delik matanya sinis. "Tiga bulan termasuk bulan ini. Rekor baru, Runa. Setelah sebelumnya dua belum nggak bayar-bayar."
Perasaan yang dua bulan itu sudah Runa bayar lunas. Cuma memang agak telat saja. Harusnya Ibu Kos menggunakan kata terlambat atau telat daripada tidak bayar. Kesannya Runa berkelit dari kewajiban membayar kos per bulan.
Padahal, kan, ya—ah, sudah, lah. Runa juga tidak ingin berdebat. Masih mending ia dibiarkan hidup di sini meski belum bayar kos selama tiga bulan. Yah, walau harus siap mental diberikan lirikan mata ala Voldemort dari Ibu Kos tiap kali berpapasan. Pelan-pelan, Runa mencoba meminta pengertian. "Maaf, Bu. Saya minta keringanannya. Sepuluh hari aja."
"Keringanan kemarin kamu kemanain, tho?" sindir Ibu Kos, mengungkit permintaan keringanan Runa yang selalu ia kabulkan dari tiga bulan lalu. Rupanya, wanita itu sudah mulai habis kesabaran.
Runa menelan ludah, mencoba mencari cara untuk meyakinkan Ibu Kos kali ini. Jujur saja, meskipun Ibu Kos memecutnya untuk segera bayar saat ini juga, Runa tidak akan mampu.
Mau bayar pakai apa dia? Kertas fotokopian? Bisa dirajam Ibu Kos sampai mampus dia.
Dengan setengah hati, juga sebagian ragu, Runa mengajukan tawaran yang rasanya berat di ujung lidah. "Kalau dalam delapan hari saya belum dapat duit, nanti saya gadaikan saja motor. Kasih saya kesempatan sekali ini aja."
Runa bahkan siap memeluk kaki Ibu Kos demi mendapat keringanan. Oke, itu lebai. Persis seperti adegan sinetron. Toh, kenyataan kadang memang lebih dramatis daripada cerita-cerita fiksi.
Ibu Kos menghela napas panjang, tampak menimbang-nimbang. Ditutupnya buku catatan di tangan sebelum berbalik dan berkata dengan nada yang benar-benar sudah tidak peduli. "Wes, sakarepmu!"
Ibu Kos berlalu, tidak memedulikan Runa yang mengusap kedua belah sudut mata ketika lamat-lamat didengarnya Ibu Kos menggerutu. "Kalau memang nggak mampu sekolah jauh-jauh di Jakarta, mending nggak usah nekat. Toh, bakal balik ke dapur juga nanti."
Bukan sekali dua ini saja Ibu Kos mengucapkan kalimat sejenis itu. Sering malah. Namun, entah karena kondisi badannya yang terasa kurang fit atau bagaimana, kalimat tersebut menjadi hujaman tersendiri bagi Runa.
Runa menutup pintu kamar perlahan, memijat keningnya yang mulai berdenyut tak karuan. Oke, tenang. Runa menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan-lahan. Begitu terus sampai merasa lebih baik. Ah, lebih baik membereskan kamar, lalu mengerjakan tugas yang menunggu.
Runa mondar-mandir merapikan kekaosan yang ada. Buku-buku ditata sedemikian rupa. Seragam dimasukkan ke keranjang pakaian kotor. Tak lupa jas yang masih diperlukan digantung dekat lemari agar mudah dijangkau untuk disetrika setelah selesai menuntaskan tugas.
Oke, sudah rapi. Runa mengangguk puas, berjalan menuju kursi di ruang depan dengan laptop di dekapan. Baru saja cewek itu akan melanjutkan tugas biologi yang ternyata masih banyak bolong (dan deadline-nya tengah malam ini, help!), ponselnya bergetar panjang, menandakan ada panggilan masuk. Bukan panggilan via Whatsapp.
Aneh sekali, pikir Runa sebelum dilihatnya kontak dengan nama Ibu tertera di layar. Buru-buru Runa menekan opsi terima, menyalakan speaker agar bisa sekalian mengerjakan tugas.
"Lagi sibuk?" tanya Ibu setelah mengucapkan salam. Suaranya kurang jelas. Mungkin sinyal di Kapuas sedang ajeb-ajeb naik turun tak karuan.
"Ngerjain tugas, Bu." Runa menyahut kalem sambil sesekali membuka referensi yang bertumpuk manis di dekat lengan.
Ibu ber-oh pelan. "Sudah makan kamu, Nak?"
Gerakan Runa mengetik tugas yang mulai membuat pusing langsung terhenti. Refleks, matanya menangkap sebungkus biskuit kemasan kecil di sudut meja. Cuma itu yang ada. Demi berhemat sampai akhir bulan yang tiga hari lagi akan segera berakhir dan berganti bulan baru. Mana besok ia harus mem-print tugas.
Runa menghela napas, mencoba tersenyum meski ia tahu Ibu tidak akan bisa melihatnya. "Iya, sudah."
"Makan apa?"
Duh! Runa menggaruk tengkuk dengan ujung pulpen, bingung sendiri. Kalau ia bilang makan biskuit, bisa dipastikan Ibu bakal mencak-mencak di ujung sana. Tidak tahu saja kalau keuangan anaknya sudah di ujung tanduk.
Dengan hati tidak enak karena sudah berbohong untuk kedua kalinya, Runa menjawab, "Sate," jawabnya asal karena itu yang terlintas pertama kali dalam kepala.
Aduh! Mana ada tukang sate berteriak menjajakan dagangan lewat depan kos lagi. Dari aromanya, sih, berhenti sejenak. Sepertinya ada yang membeli.
Bikin nggak konsen aja, Runa bersungut-sungut. Enyahlah kau! Ingin sekali Runa menjerit, tapi apa daya tak sampai. Daripada dilempar arang menyala sama mamang yang jualan, mending diam sambil menikmati harum sate yang dibakar. Miris amat. Runa meringis.
"Banyak porsinya?" tanya Ibu lagi, khas beliau. Selalu bertanya detail sampai ke inti-intinya.
"Lumayan." Kebohongan ketiga.
Duh! Tanpa terasa tumpukan dosa semakin banyak. Boro-boro makan sate, orang cuma bisa menghidu wanginya yang makin lama, semakin kuat. Tak ayal, perut Runa keroncongan karenanya, minta diisi.
Ada jeda beberapa saat sebelum Ibu kembali melanjutkan. "Duitmu masih ada?" tanya Ibu dengan nada yang terdengar sedikit berhati-hati.
"Alhamdulilah." Singkat, jelas, dan padat. Dan yang paling penting, bisa membuat segala pertanyaan terjawab dengan sendirinya.
Namun, tidak untuk Ibu. "Alhamdulilah-mu itu gimana, coba? Cukup apa nggak?"
"Ya, dicukup-cukupin." Runa enggan menyahut lebih lanjut.
Kenyataan yang ada, uang di dompet sudah benar-benar kering kerontang. Hanya tersisa beberapa lembar lusuh untuk keperluan sekolah dan bensin. Runa bahkan tidak kepikiran besok mau makan apa. Jangan tanya bagaimana keadaan ATM Runa. Sama saja. Tidak ada bedanya.
Satu tarikan napas terdengar dari ujung sana. "Besok Ibu mau ke toko emas, mau jual kalung satu-satunya. Biar bisa ngirimin kamu. Bayar kos, makan, bensin, kuota, sama keperluanmu yang lain."
Runa tidak menyahut, terus fokus dengan tugas yang ada di hadapan. Matanya menatap lurus, tapi telinganya menangkap setiap kata yang diucapkan Ibu lewat telepon. Cewek itu mengepalkan tangan, menunduk dalam.
"Na," panggil Ibu lagi, entah sudah berapa kali.
"Ya?"
"Sehat-sehat, ya."
"Iya."
"Maaf kalau kami telat ngirimin duit buat kamu. Bapakmu udah sebulan ini nggak kerja. Belum ada panggilan. Adekmu keperluannya juga lumayan. Maaf baru sekarang bisa ngabarin."
"Iya. Nggak apa-apa."
"Ya, udah. Ibu tutup, ya. Asalamualaikum."
Belum sempat Runa menjawab salam tersebut, sambungan telepon sudah keburu putus. Meninggalkan Runa yang menutup wajah dengan kedua belah telapak tangan untuk beberapa saat. Cewek itu menghela napas panjang, mengusap kedua belah sudut mata yang tiba-tiba saja terasa memanas.
Ah, tugas di depannya tidak akan selesai kalau seperti ini caranya. Runa kembali menyibukkan diri dengan tugas biologi. Membuka referensi, googling di Internet, dan sesekali menatap langit-langit, mencari kata yang tepat.
Ah, ada tabel yang harus dimasukkan ke dalam tugas, dan file tabel itu ada pada flashdisk. Mana, ya, flashdisk-nya? Runa memungut tas di sampingnya, menengok ke dalam.
Aha! Runa menemukannya. Dengan cepat cewek itu mengambil flashdisk di dalam tas, mengeluarkan benda kecil tersebut. Bersamaan dengan amplop cokelat yang tanpa sengaja turut tertarik tanpa sengaja, jatuh begitu saja ke lantai. Runa merunduk, memungut amplop dengan stempel resmi SMA Nusa Garuda tersebut. Amplop yang diberikan Miss Mala padanya.
"Penawaran sebagai Ketua OSIS SMA Nusa Garuda?" Runa mengernyit ketika membaca isi surat di tangan. Cewek itu mengangkat wajah, menatap Miss Mala yang saat itu seperti benar-benar menaruh harapan besar. "Miss, saya masih belum mengerti," katanya lagi, mulai tidak nyaman dengan kursi yang ia duduki.
Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal dan membuat Runa ingin cepat-cepat keluar dari ruangan Miss Mala.
"Saya tahu kapasitas kamu, Runa." Miss Mala menjelaskan perlahan-lahan. "Tolong kamu pikirkan baik-baik. Bukan tanpa alasan saya mengajukan kamu untuk menjadi Ketua OSIS SMA Nusa Garuda.
"Seperti yang kamu tahu, setiap tahun, sekolah kita melakukan pemilihan akbar ketua dan wakil ketua OSIS. Semua calon kandidat diseleksi dengan ketat. Hanya mereka dengan standar kelayakan memenuhi syarat yang akan lolos tahap pertama. Belum lagi tahap kedua, tes tertulis, dan wawancara. Semuanya demi mendapatkan calon ketua OSIS yang mumpuni."
Ada jeda beberapa saat ketika Miss Mala meraih gelas air di dekat lengan, meneguk air putih sebentar sebelum melanjutkan, "Namun, tahun ini, kita hanya akan mengadakan pemilihan ketua OSIS saja. Tidak dengan wakilnya. Alasannya karena slot itu akan diberikan untukmu."
"Tapi, Miss." Runa menyela dengan telunjuk mengarah pada baris kalimat ketiga surat yang ia letakkan di meja. "Di sini tertulis, sebagai ketua OSIS, bukan wakil ketua OSIS." Cewek itu menatap Miss Mala dengan tatapan menuntut sebelum sadar dengan apa yang sedang ia lakukan. Sontak, Runa menunduk, meringis. "Maaf, Miss."
Miss Mala menghela napas panjang, mengetuk-ngetuk meja dengan jemari telunjuk. "Karena tahun ini sekolah akan melakukan sistem berbeda jika kamu setuju dengan tawaran itu." Miss Mala bersedekap. "Kita akan memberlakukan sistem dua Ketua OSIS dalam satu sekolah. Pertama kalinya dalam sejarah NuGa. Tahan. Saya tahu kamu ingin bertanya, tapi biarkan saya menjelaskan lebih dulu.
"Pendeknya, jika kamu menerima tawaran ini, siapa pun nanti yang akan terpilih sebagai ketua OSIS 'kedua' melalui pemilihan akbar, dia akan menjadi partner sekaligus saingan kamu. Partner karena kamu harus bekerja sama dengannya nanti. Saingan, karena kamu mesti membuktikan diri kalau kamu yang terbaik dan pantas untuk mendapat pertimbangan perpanjangan beasiswa.
"Bisa dibilang, ini kompetisi untuk kamu, Runa. Bisa saja lawanmu persis seperti Joe yang sekarang masih menjadi ketua OSIS. Atau, mungkin siswi secemerlang kamu. Kita tidak tahu. Jadi ini tantangannya."
"Maaf, Miss. Saya masih tidak mengerti di mana korelasi antara beasiswa dengan kompetisi menjadi ketua OSIS yang Miss jelaskan." Runa menatap Miss Mala lekat-lekat. "Jika Miss minta saya bergabung dengan ekskul, saya akan lakukan. Atau melakukan tugas lain. Saya akan usahakan. Tapi, untuk jabatan sebesar Ketua OSIS SMA Nusa Garuda, saya bahkan tidak memiliki track record berorganisasi."
"Runa." Miss Mala menarik napas panjang sebelum mulai. "Begini. Sekali lagi saya ulangi. Ada banyak poin kelayakan yang kosong di catatan milikmu. Jelas? Poin ini termasuk mencakup kreatifitas, inovasi, kemampuan berorganisasi, dan lainnya.
"Benar. Bisa saja saya meminta kamu untuk bergabung dengan ekskul yang ada di sekolah kita. Menyanyi—saya dengar kamu lumayan jago nge-rap. Atau yang wajib seperti pramuka. Tapi, umumnya, tugas-tugas ekskul yang melibatkan kreatifitas, inovasi, dan kemampuan berorganisasi, rata-rata sangat diperlukan ketika kalian masih berstatus siswa baru, atau saat kelas sepuluh. Ketika kalian sudah menginjak tahun kedua, tugas-tugas ekskul tidak akan seberat tahun pertama. Bisa dimengerti sampai sini?"
Runa yang mendengarkan dengan saksama hanya mengangguk, menunduk dalam. Runa memilin kedua belah telunjuk, mulai mengerti dengan maksud yang Miss Mala coba utarakan.
Miss Mala melanjutkan. "Betul. Menjadi ketua OSIS adalah tanggung jawab besar. Memerlukan tenaga, waktu, dan juga kesabaran. Harus kreatif, inovatif, dan juga mampu berorganisasi dengan baik.
"Ini poin yang kamu butuhkan Runa. Kami ingin melihat itu, seberapa pantas kamu untuk terus diberi beasiswa atau cukup sampai sini."
Miss Mala menatap Runa lekat-lekat. "Jika hanya berpatok kegiatan ekskul, itu tidak akan memberikan hasil signifikan. Kamu akan rugi waktu dan tenaga." Setelahnya, hening untuk beberapa saat. Tidak ada lagi percakapan di ruangan tersebut.
Runa mengangkat wajah, mendapati binar harap terpancar dari wajah Miss Mala. Tidak. Cewek itu menggeleng pelan. Ia harus mempertimbangkan tawaran ini terlebih dahulu.
Keputusan hanya bermodal impulsif dan kenekatan akan berujung menjadi bumerang, dan Runa tidak ingin jika di kemudian hari ia benjol karena bumerang tersebut. Lebih baik memikirkan semuanya terlebih dahulu.
Ragu-ragu bercampur setengah hati, Runa meminta waktu. "Boleh saya pikirkan dulu, Miss?" tanyanya penuh harap.
Ini tawaran yang cukup rumit, menyangkut masalah hidup ke depannya nanti. Bukan sejenis menentukan ingin makan bakso atau mie kuah malam ini. Kalau sampai Miss Mala tidak memberi izin dan harus membuat keputusan langsung di sini, habislah dia. Alamat Runa bakal lumutan.
Untungnya, Miss Mala mengangguk. "Silakan. Tawaran itu berlaku sampai hari pemilihan akbar ketua OSIS dilaksanakan. Kamu masih punya cukup waktu untuk berpikir."
Runa mengangguk, berterima kasih. "Saya permisi dulu, Miss."
"Runa," panggil Miss Mala ketika Runa baru saja akan menggeser pintu, ingin segera keluar dari ruangan Miss Mala.
Runa menoleh, berbalik dengan jantung tiba-tiba berdegup tak karuan. Duh, apa lagi ini! Hatinya menjerit tertahan, mulai tertekan dengan keadaan ini. Runa menarik napas, mengembuskannya perlahan. Oke, tenang. "Ya, Miss?"
"Saya harap, apa pun keputusanmu, jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang pembicaraan kita. Sekolah baru saja melakukan seleksi pertama pemilihan ketua OSIS. Mengedarkan surat undangan pada para calon kandidat. Masih banyak proses panjang yang menanti. Saya harap, kamu menghargai usaha sekolah. Bisa dimengerti?"
Runa mengangguk. "Mengerti, Miss."
Setelahnya, Runa menggeser pintu dan keluar dari ruangan Miss Mala dengan perasaan tak menentu. Cewek itu memijat pelipis yang terasa berdenyut tak karuan.
Nanti sajalah memikirkannya.
Runa dengan cepat mengikat rambut, memasukkan amplop di tangan ke saku jas. Pelajaran berikutnya kelas olahraga, dan pasti ia sudah terlambat.
Benar saja! Teman-teman yang lain sudah melakukan pemanasan, dan Runa baru kembali ke kelas seraya terbirit-birit mengambil pakaian olahraga dari bawah laci. Cepat-cepat ia menuju ruang ganti dan turun ke lapangan, bergabung bersama teman sekelas dengan wajah memerah. Untung saja Pak Rizal mengampuni setelah Runa membawa nama Miss Mala di tengah interogasi, yang mana langsung membuat Pak Rizal maklum.
Setelah itu, Runa benar-benar melupakan tawaran Miss Mala hingga malam ini. Gamang, Runa membuka amplop yang sudah robek di salah satu sisi itu, mengeluarkan surat di dalamnya.
Ah, lagi-lagi kepalanya berdenyut tak karuan ketika membaca isi surat tersebut, seolah-olah itu adalah beban paling berat yang pernah Runa hadapi. Nanti sajalah. Ia perlu istiharah. Meminta petunjuk Yang Maha Kuasa.
Runa berdiri, berjalan menuju lemari pakaian. Diselipkannya amplop beserta surat tersebut ke bagian paling bawah lipatan baju-baju kasual.
Diliriknya jam. Sudah mendekati Isya. Lebih baik bersiap untuk salat, lalu lanjut mengerjakan tugas. Namun, tiba-tiba saja perutnya berbunyi, keroncongan minta diisi. Perih! Runa meringis, menyambar biskuit di meja dan melahapnya dalam tenang.
Setelah bau sate yang lezat berlalu, gantian bau sedap dari desir nasi goreng di depan kos tercium keras. Ah, pasti ada yang memanggil tukang nasi goreng yang biasa lewat. Ingin Runa mengumpat dan mengutuk siapa pun itu orangnya, tapi apa daya keberanian tak sampai.
Malam itu berlalu dengan Runa yang mengerjakan tugas ditemani segelas kopi dan perut yang sesekali berbunyi, menandakan masih ada ruang kosong di ujung lambung.
***
"Loh? Ke mana, Say?" Runa yang baru kembali dari UKS untuk meminta obat maag bertanya saat dilihatnya Tata menenteng tas, keluar dari kelas. "Kok kelas kosong? Pada hijrah ke mana?" tanya Runa lagi ketika dilihatnya kelas kosong melompong.
Tidak ada satu pun orang. Semua tas raib beserta empu masing-masing. Lampu kelas dimatikan, begitu pula dengan AC yang biasanya selalu on. Runa lantas kembali menatap Tata sebelum berjengit ketika mendapati ekspresi merengut tercetak nyata di wajah sahabatnya itu.
Tata bersedekap, melempar tatapan menuntut. "Kenapa telepon gue nggak diangkat?"
"Ha?" Cepat-cepat Runa merogoh saku jas, mengambil ponsel di sana. Cewek itu meringis. "Lowbat ternyata. Maaf." Runa mengusap tengkuk, memperlihatkan baterai ponsel yang tersisa lima persen pada Tata yang masih ingin mengibarkan bendera perang. "Ini semua orang pada ke mana, sih?"
Kali ini, raut bingung menghiasi wajah manis Tata. "Lo nggak tau? Bukannya kita bakal digabung sama sebelas IPA satu buat presentasi hari ini? Kemarin malam udah dikasih tau sama Bu Teno, lho, lewat ketua kelas. Kita disuruh ke aula sekarang."
Runa mengerjap. "Mosok? Gue nggak ngecek grup soalnya. Sek, sek. Buka grup dulu."
"Nggak usah. Kita udah telat. Yang lain udah ke aula sepuluh menit lalu." Tata memberi isyarat agar Runa segera mengambil tas dan pergi.
"Kok lo masih di sini?" tanya Runa yang sudah mengambil tas dan menutup pintu kelas, menyejajarkan langkah dengan Tata.
"Menurut lo?" Tata mendelik, manyun lima mili.
Runa menyengir. "Maaf, Beib. Tadi ke UKS dulu. Asam lambung naik. Hayati nggak kuat." Cewek itu meringis, mengikat rambut sepunggung yang tergerai menjadi kucir kuda.
Gerah. Cuaca sedang panas-panasnya. Apalagi sekarang sudah jam siang menjelang sore. Jam mata pelajaran terakhir hari ini. Harus pintar-pintar meminimalisir rasa gerah agar bisa berkonsentrasi saat kelas.
"Mag?" Tata memastikan. Cewek itu memicingkan mata, memberikan sorot menuntut ketika mereka sudah sampai dan melepas sepatu masing-masing. "Lo telat makan?" desis Tata.
"Ah, itu—"
Mampus! Runa langsung panas dingin, mencoba mencari alasan. Cewek itu melirik keadaan sekitar sebelum tatapannya tertuju pada Shahila yang sedang duduk bersandar di samping kanan aula.
"Hei, Sha!" sapa Runa, membuat Shahila yang setelah sebelumnya anteng membaca buku mengangkat wajah. "Kok masih belum mulai? Harusnya udah mulai, 'kan?"
Runa mengambil posisi duduk di samping Shahila. Sesekali sudut matanya melirik Tata yang tampak masih menaruh curiga. Untungnya, sahabatnya itu seperti tidak ingin melanjutkan interogasi yang terpotong tadi. Selamat, selamat. Runa mengembuskan napas lega.
"Bentar lagi, mungkin. Tadi Bu Teno Heika manggil Arga sama Agesa ke kantor bentar." Shahila tersenyum lembut, memberikan kesan anggun dan menenangkan. Tidak heran cewek dari sebelas IPA satu itu diangkat menjadi ketua konseling yang dikoordinir Miss Mala. Senyumnya teduh. Tutur katanya lembut.
Runa pernah curhat dan bertukar cerita dengan Shahila. Bisa dibilang, Shahila pendengar yang baik dan sabar—bukan hanya dalam konteks menghadapi keluhan para siswa konseling, tapi juga menghadapi kelakuan Adrian, si kapten basket NuGa, yang digadang-gadang menyukai Shahila.
Terakhir kalau tidak salah ingat, Runa sempat menyaksikan Adrian memberi Shahila satu buket bunga mawar besar tepat di tengah lapangan saat semua orang sedang ramai. Agak gimana memang cowok itu.
"Oh, itu Arga."
Runa menoleh, mengikuti arah telunjuk Shahila. Terlihat Arga memasuki aula dengan tangan memegang wadah besar penuh buah. Di belakangnya, cowok yang Runa tahu namanya Agesa mengekor dengan bawaan tak kalah banyak. Tak lama, Bu Teno Heika menyusul dengan beberapa peralatan dan bahan bumbu rujak.
Lho? Runa menaikkan sebelah alis, tepat saat Bu Teno Heika menyuruh semua duduk—tidak mesti sesuai kelas masing-masing. Berbaur saja, kata Bu Teno Heika lagi. Senyumnya merekah, menatap excited semua siswa yang hadir. Runa jadi berpikir, ini mau presentasi apa ngerujak akbar? Cewek itu geleng-geleng, mengenyahkan pikiran random tersebut. Berusaha fokus ketika Bu Teno Heika mulai menyapa dan berbicara.
"Dari wajah-wajahnya, sepertinya ada yang bingung kenapa adanya justru buah-buahan, bukannya buku-buku dan laptop." Bu Teno Heika terkekeh ketika semua murid di depannya mengangguk tanpa terkecuali. "Sebenarnya Ibu memang mau ngajak kalian ngerujak selesai presentasi nanti."
Ngerujak bareng? Runa dan semua yang hadir langsung excited.
Bu Teno Heika tersenyum, menenangkan gerombolan anak didiknya yang siap bersorak riang. "Taunya laptop Ibu ketinggalan. Jadi, presentasi mundur sesuai jadwal masing-masing kelas. Habis Ibu pulang dari luar kota.
"Ibu malas ngasih tugas berat-berat karena suasanya ngantuk gini. Kita ngerujak aja, ya?" Bu Teno Heika mengacungkan jempol, yang dibalas sorakan gembira seisi aula.
Kapan lagi tidak belajar, terus diajak ngerujak akbar? Cuma Bu Teno Heika yang bisa 'memanjakan' murid seperti ini.
Semua berbagi tugas. Sebagian mengupas buah-buahan—nanas, pisang muda, bengkoang, semangka, dan sebagainya. Sementara yang lain menyiapkan wadah dan membantu Bu Teno Heika membuat bumbu rujak. Khusus para cowok yang malas memegang pisau, buah, atau tetek bengek lain, diminta menyiapkan alas koran.
Runa mendapat bagian mengupas dan memotong buah-buahan bersama Tata, Shahila, dan beberapa cewek dari kelasnya dan kelas sebelas IPA satu. Diambilnya nanas, mencoba mengupas meski sedikit kesulitan saat membuang bagian mahkota buah.
Susah, bo! Runa menekan pisau lebih keras agar bagian itu bisa terpotong sebelum lagi-lagi mandek di tengah jalan (macet, kalau meminjam istilah Tata saat meledeknya. Ledekan yang membuat Runa langsung melempar sebutir bengkoang pada sahabatnya itu).
"Bisa?"
Satu suara menyapa. Runa menoleh, mendapati Arga tersenyum. Satu di antara tiga cowok yang bergabung mengupas buah bersama para cewek. Cowok itu terkekeh, mengambil alih nanas dari tangan Runa ketika dilihatnya si bersangkutan tak kunjung menjawab.
Dengan gerak minimalis dan efisien, Arga mengupas seluruh kulit nanas dengan cepat. Tak lupa mata-mata yang mengganggu permukaan buah yang sudah dikupas. "Nih." Cowok itu lantas menyerahkan hasil kupasannya pada Runa sebelum berpindah ke buah lain.
Lebih luwes dari gue, bo! Runa terkagum-kagum menatap Arga yang lanjut mengupas bengkoang dengan cepat.
Kurang dari setengah jam, semua beres. Bu Teno Heika mempersilakan semua untuk menikmati. Dengan cepat, barisan buah yang menggoda itu langsung disambar oleh semuanya.
Aduh! Itu nanasnya menggoda sekali! Bumbu rujaknya nggak nahan! Runa menenggak ludah, tetapi juga sadar diri di waktu yang bersamaan. Bahaya untuk lambung yang asamnya sedang bergejolak.
Karenanya, Runa memilih mundur dan keluar dari aula. Cewek itu lantas duduk bersandar pada dinding sisi kanan luar aula, menghirup udara luar yang terasa kering. Diambilnya ponsel di saku jas sebelum Runa merasakan ada seseorang berdiri di sampingnya. Runa mendongak, mendapati Arga tersenyum padanya. Cowok itu mengambil tempat duduk di samping Runa.
"Ngapain di sini?" tanya Arga seraya menelengkan kepala. "Udah selesai ngerujaknya?"
Runa menggeleng pelan. "Lagi nggak bisa. Harus mengurangi makanan kayak rujak." Cewek itu meringis kecil.
"Mag?" Arga memastikan.
Runa mengangguk. "Lo sendiri?"
"Oh, udah kenyang. Baru cuci tangan." Arga menyengir. Cowok itu menyugar rambut hitam legamnya sebentar, membiarkan sebagian rambut itu kembali luruh di dahi sebelum bertanya lagi, "Motor lo gimana? Masih ada masalah."
"Udah oke, kok." Runa tersenyum. "Thank you sekali lagi. Maaf kemarin titip terima kasihnya ke Tata."
"It's okay." Arga tersenyum sebelum ponsel di saku jas bergetar intens. Dirogohnya benda tersebut seraya mengangkat wajah, tersenyum tipis pada Runa. "Gue permisi dulu, ya."
Setelahnya, Arga berbalik. Meninggalkan Runa yang masih tersenyum ketika menyaksikan punggung cowok itu kian menjauh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top