24. Datang Menjenguk

IF WE START AGAIN
Bab 24: Datang Menjenguk (Arga's POV)

***

Ketika azan magrib berkumandang, hamdalah, Arga sudah merasa lebih mendingan. Demamnya turun drastis. Cowok itu bahkan menunaikan salat magrib dengan perasaan nyaman, tidak seperti saat salat subuh, zuhur, dan asar di mana Arga diwarnai sakit kepala ketika mengerjakannya.

Usai mengerjakan salat magrib, Arga buru-buru melipat sajadah dan mengganti pakaian. Tepat saat dia selesai memakai kaus putih polos kesukaannya yang nyaman dipakai, terdengar ketukan dari luar, diiringi suara,

"Arga Sayang?"

Itu Bunda.

"Iyaaa? Masuk aja, Bun. Pintunya nggak dikunci," seru Arga seraya duduk di tepi ranjang. Sebelah tangannya mengeset suhu AC senyaman mungkin.

Ketika pintu terbuka, yang pertama Arga lihat adalah Bunda. Di sebelah Bunda, ada cowok yang sangat dia kenal. Cowok yang berdiri di sisi Bunda itu menyapa seraya berjalan mendekat.

Siapa lagi kalau bukan Agesa?

"Hamdalah masih hidup ternyata," celetuk Agesa seraya meletakkan plastik entah berisi apa ke atas nakas dekat tempat tidur.

"HEH! SEMBARANGAN MULUT LO!" Arga tanpa ragu menendang kaki Agesa, yang disambut kelitan gesit dari si bersangkutan. Hal yang membuat Arga makin merengut.

Melihat kelakuan Arga dan Agesa, tidak ayal membuat Bunda tertawa kecil. "Bunda tinggal dulu, ya?" Tatapan Bunda beralih kepada Agesa. "Gesa mau minum apa? Makan?"

"Apa aja, Tan. Gesa pemakan segala, kok," sahut Agesa seraya tersenyum.

"Kayu sama arang aja diembat kok, Bun. Nggak usah ditawari segala." Arga berseloroh.

Agesa tanpa segan menggeplak kepala Arga. "Manis banget tuh mulut. Pengin gue tarik, rasanya."

Refleks, Arga mengaduh. Cowok itu mendelik tajam, tapi tidak mempan. Alih-alih gentar, Agesa malah balas memelotot.

"Oke, oke." Bunda tertawa. "Tunggu bentar, ya," kata Bunda lagi seraya berlalu.

"AIR PUTIH AJA, BUN!" teriak Arga pada Bunda yang sudah keluar kamar. "EH, AIR KOBOKAN AJA! KEBAGUSAN KALAU AIR PUTIH!"

"Astagfirullah!" Agesa mengurut dada tanpa bisa dicegah. "Tau gini gue nggak perlu bela-belain ke sini."

Arga menjulurkan lidah. "Emang ada yang minta lo ke sini?" Cowok itu jelas sekali mengejek Agesa.

"SINI LO!" Agesa tanpa ragu menerjang Arga dalam sekali lemparan badan, membuat yang diterjang auto telentang di kasur dan meronta-ronta karena Agesa menindih sebadan-badan. "Ngomong lagi, coba! Gue mau denger!" Cowok itu memelotot.

"Lepasin! AAAAH!" Arga terus meronta-ronta. Namun, Agesa keukeuh tidak mau beralih, membuat Arga mengambil langkah nekat. Dengan sekali ayun, cowok itu dengan ganas menghantamkan dahinya ke dahi Agesa.

"ADUH!" Agesa refleks melempar badan ke samping Arga dan memegangi dahinya sendiri.

Hah! Mamam tuh, Arga berkata puas dalam hati. Buru-buru cowok itu bangun dan menjauh, jaga-jaga kalau Agesa kumat gesreknya seperti tadi.

"KOK LO GITU?" Agesa memelotot, masih tidak terima.

"Siapa suruh nerjang-nerjang gitu?" Arga balas melotot. "Benjol nggak tuh? Benjol lah pasti. Masa nggak?" Cowok itu menjulurkan lidah, mengejek.

Tidak ayal Agesa dibuat merengut karenanya.

Hampir mereka berdebat lagi, sebelum satu ketukan dari luar menghentikan. Baik Arga maupun Agesa sama-sama menoleh, mendapati Bunda masuk dengan kedua belah tangan membawa nampan berisi minuman dan kudapan.

"Agesa, minum dulu—loh, kok dahimu merah gitu, Sayang?" tanya Bunda, bingung.

"Kejedot, Tan," Agesa menyengir. Kendati demikian, dia tetap melirik Arga dengan gahar. "Ada benda keras banget yang bikin sampai memar gini."

Bunda yang paham dengan keadaan ikut menoleh dan menatap Arga lekat-lekat. Sedetik kemudian, ekspresi Bunda berubah diiringi kedua tangan berkacak di pinggang. "Argario Andana!" tegurnya.

Waduh! Arga auto merinding. Kalau sudah dipanggil pakai nama lengkap, tanda-tanda bakal bahaya ini.

"Agesa tuh, Bun!" Arga membela diri. "Masa nerjang Arga kayak kucing mau kawin?" Cowok itu cemberut.

"Pinter banget nyari-nyari alasan," seloroh Agesa.

Arga tanpa ragu melempar Agesa dengan salah satu bantal sofa. "GUE TINJU LO, NTAR!"

"EHEM!" Melihat adegan itu, Bunda berdeham keras. "Arga, Agesa!" Suara Bunda yang keibuan menjadi sedingin penyihir yang siap mengucapkan mantra kutukan. "Kalau mau berantem, jangan di sini!"

Arga manyun mendengarnya, sementara Agesa langsung menghentikan gerakan ingin balas melempar Arga dengan bantal.

"Udah, udah!" Bunda menengahi. "Bunda ma—sebentar, kayaknya ada tamu," kata Bunda ketika terdengar bel berbunyi dari arah bawah.

Arga dan Agesa saling pandang. Benar. Sepertinya ada tamu. Agesa sih tidak bereaksi terlalu banyak. Justru yang bereaksi menjadi tegang dan membeku kayak es batu itu Arga.

Arga khawatir ... kalau-kalau itu adalah Oma ....

"Bun," panggil Arga sebelum Bunda benar-benar pergi. Cowok itu menelan ludah dan berkata, "Kabari via WA, ya? Arga lagi nggak pengin berantem kayak kemarin."

Bunda terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Oke, Sayang." Setelahnya, Bunda keluar kamar dan pergi ke bawah.

"Kenapa, Ga?" tanya Agesa seraya duduk di tepi ranjang. Begitu Arga duduk di sampingnya, cowok itu dengan tulus mengusap punggung Arga lembut. "Tegang banget."

Arga mengatur napas yang sempat terasa kejar-kejaran. "Nggak apa-apa." Cowok itu menggeleng. "Biasalah ...."

Agesa, yang paham dengan maksud Arga, mengangguk-angguk. "Calm down, Bro."

"I will."

Agesa mengangguk.

Beberapa saat menunggu, tidak ada kabar apa pun dari Bunda. Sepertinya bukan Oma .... Arga auto mengembuskan napas dengan lega.

Iya, memang bukan Oma, tetapi juga orang yang datang tidak Arga sangka-sangka.

"Hallo, sepupuku yang ganteng tapi lagi lemes kayak mie rebus dimasak kelamaan!"

Siapa lagi kalau bukan Tata Faradila, sepupu Arga satu-satunya?

Arga menghela napas sebelum kembali tersekat. Dilihatnya Tata tidak sendiri. Sepupunya yang cengengesan itu rupanya ditemani seseorang ke sini. Dan orang itu tidak lain adalah ... Runa.

Iya, benar. Cewek itu ....

Melihat Runa, entah kenapa membuat Arga refleks membuang muka. Begitu memalingkan wajah, yang dia lihat adalah Agesa ... nah, pas bener ini! Arga dengan sebal memelotot dan memberi Agesa death glare yang mematikan.

"APA?" Agesa menyadari kalau dia sedang dipelototi bulat-bulat oleh Arga. "Gue nggak ember, kok!" katanya membela diri sebelum Arga men-judge yang macam-macam.

"MUSTAHIL!" Arga menyemburkan kata tersebut dengan kesal. "Lo ember sama Tata, kan?"

"Kenapa sih, Beibs?" tanya Tata bingung. Cewek itu dengan santai berjalan mendekat dan meletakkan keranjang berisi buah-buahan ke atas nakas. "Kayak kaget banget liat gue dateng."

"Ya masalahnya tuh—" Ucapan Arga terhenti ketika matanya tidak sengaja beradu pandang dengan Runa. Cowok itu lantas menggaruk kepala yang tiba-tiba terasa gatal sebelum bertanya, "Ngapain ke sini?"

"Sejak kapan gue dilarang ke sini?" Tata beralih duduk di sofa yang ada di kamar Arga, dengan Runa ikut memosisikan diri di sampingnya. "Gue nggak liat tuh plang 'Tata dilarang bertandang' atau semacamnya."

"Ya ngapain juga ke sini?" Arga makin dibuat bingung.

"Karena gue khawatir, Arga Sayaaang!" Tata jadi gemas sendiri. "Katanya lo demam. Ya udah sekalian aja gue ngejenguk. Lagian, udah lama gue nggak main ke sini deh. Kangen tau!"

Arga mengangkat alis. "Tau dari mana kalau gue demam?" tanyanya, heran.

"Nih!" Tata menunjuk Runa yang duduk di sebelahnya.

Arga dengan enggan menatap Runa, yang mana tatapan tersebut dibalas serupa oleh cewek itu meski cuma sebentar. Runa lebih dulu memalingkan muka dengan ekspresi yang ... entahlah. Arga tidak bisa meraba-raba.

"AHA!" Tata tiba-tiba menjentikkan jari, seolah menemukan sesuatu yang penting. "Gue tau!"

Arga kembali menoleh memandang Tata dan menelengkan kepala, "Apaan?"

"Kalian berdua," Tata menatap Arga dan Runa bergantian, "Lo sama Runa berantem, kan?" []








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top