22. Demam
IF WE START AGAIN
Bab 22: Demam (Arga's POV)
***
Jika kemarin malam Arga menangis dan terisak karena pertahanannya dalam menghadapi Oma amblas runtuh, kali ini giliran kesehatan Arga yang kena imbas. Pagi ini cowok itu fix mengalami demam.
Orang pertama yang sadar itu Bunda. Dari Arga-nya sendiri, dia cuma merasa kayak kurang enak badan sedikit. Agak berkeringat juga meskipun AC di kamar sudah dia set ke suhu biasanya. Napasnya terasa panas, dengan Arga tidak bisa tidur dengan nyenyak dan sering kali terbangun di tengah malam.
Karena itulah dia tidak bangun di jam biasa. Biasanya, Arga bakal bangun saat azan berkumandang dan keluar kamar pas jam menunjukkan pukul setengah enam. Namun, hari ini meski sudah lewat setengah enam, Arga tidak kunjung keluar. Cowok itu lebih memilih bergelung di bawah selimut karena dia merasa agak sedikit menggigil.
Hal itu jugalah yang rupanya membuat Bunda sadar kalau ada yang tidak beres dengan Arga. Dan, voila! Begitu Bunda masuk kamarnya dan memeriksa, Bunda dengan cepat mengklaim Arga demam.
Di sinilah Arga sekarang. Berbaring di ranjang, dengan sebadan-badan merasa lemas. Sesekali dia menyentuh dahinya sendiri menggunakan punggung tangan, dan memang terasa panas. Ditambah, dari dalam, Arga memang merasa tidak nyaman.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan dari luar. "Arga Sayang?" Suara dari luar memanggil namanya.
Itu Bunda.
"Masuk aja, Bun," sahut Arga, sedikit lesu.
Pintu terbuka, dan Arga mendapati Bunda masuk dengan tangan memegang nampan di kedua belah sisi. Cowok itu melongok isi nampan ketika Bunda duduk di tepi ranjang dan meletakkan nampan tersebut ke atas nakas.
Bubur kacang hijau, segelas air, dan beberapa obat.
"Kamu makan dulu, gih." Bunda mengangkat bubur kacang hijau dari nampan dan menyerahkannya kepada Arga.
Arga, si putra tunggal di keluarga Andana, bukannya alih-alih menerima mangkuk tersebut, malah membuka mulutnya lebar-lebar. "Suapin, Bun," katanya, manja.
"Loh? Kamu udah besar, Sayang. Bukan anak TK lagi." Bunda menggeleng-geleng.
Giliran Arga yang menggeleng. Bibirnya mengerucut sebelum terbuka lebar lagi, menunggu disuapi. "Arga lemes, Bun," dalihnya.
"Oke, Bunda suapi. Tapi syaratnya—"
"Nggak jadi," Arga buru-buru memotong dan mengambil alih mangkuk berisi bubur kacang hijau tersebut dari tangan Bunda. "Nggak jadi kalau ada syarat segala."
Bunda menahan tawa. "Padahal Bunda belum ngomong."
"Nggak, nggak. Request-an Bunda biasanya aneh-aneh," Arga mencebik, lalu manyun.
Kali ini, Bunda tertawa kecil. Cuma sebentar. Tangan Bunda lantas terulur, menyentuh dahi Arga yang sebagiannya tertutup rambut yang luruh. Beberapa saat seperti sedang mengenali, Bunda kemudian kembali menarik tangan dari dahi Arga.
"Gimana perasaan kamu sekarang ini?" tanya Bunda.
"Nggak nyaman," sahut Arga apa adanya. Usai menjawab, cowok itu mencoba menyantap bubur kacang hijau buatan Bunda. "Hamdalah nggak pahit," cowok itu menggumamkan syukur.
"Alhamdulilah kalau gitu," Bunda mengusap pucuk kepala Arga. "Cuma Bunda rasa kayaknya kamu absen aja hari ini."
Arga mengangguk, tidak banyak membantah. Dia pun berpikir begitu. Lagian, Arga juga malas kalau harus ke sekolah dengan keadaan seperti ini. Lesu dan kuyu.
Selagi menyantap bubur kacang hijau yang masih hangat-hangat, Arga melihat Bunda berdiri dan, sekali lagi, mengusap pucuk kepalanya dengan lembut.
"Bunda bikinin surat sakitnya dulu. Sekalian telepon Agesa sama Bu Teno Heika. Ya?" kata Bunda seraya tersenyum. Senyum yang kental sekali aura keibuannya.
Arga mengiakan. "Makasih banyak, Bun."
Bunda lantas berlalu dan keluar dari kamar Arga. Meninggalkan cowok itu yang dengan cepat menandaskan makanan di tangan dan meletakkan mangkuk kosong kembali ke nampan begitu sudah selesai. Diambilnya segelas air dan minum sedikit. Tidak lupa, Arga menyobek beberapa bungkus obat dan menenggaknya dalam sekali telan.
Tidak lama setelah Arga minum obat, Bunda kembali ke kamarnya. Kali ini, Bunda tidak sendiri. Ada ponsel di sebelah tangan Bunda.
"Arga Sayang." Bunda menyerahkan ponsel di tangan kepada Arga. "Agesa mau ngomong sama kamu," kata Bunda lagi.
Agesa? Arga buru-buru mencelat dan menerima ponsel tersebut.
"Bunda mau beresin ini dulu." Bunda menunjuk peralatan makan bekas Agesa di nakas dan mengangkatnya keluar.
Meninggalkan Arga yang mengucap salam kepada Agesa melalui telepon.
"Halo?" sapa Arga setelah mendekatkan ponsel ke telinga.
"Lo demam?" Suara Agesa mencuat dari ujung sana.
Arga mengembuskan napas. Cowok itu lantas kembali berbaring dan menyamankan diri di bawah selimut. "Beginilah."
"Innalillahi," celetuk Agesa.
"HEH!" Arga memelotot meski tahu Agesa tidak bisa melihatnya. "Gue cuma demam, bukan meninggal."
"Innalillahi nggak cuma dipakai pas ada berita kematian, Arga." Agesa berdecak kecil. "Gimana keadaan lo sekarang?" tanya Agesa lagi.
"Entah." Arga menjawab sekenanya. "Kayaknya masih di tahap perlu istirahat. Gue lemes, cape, kuyu, lunglai, lesu."
"Semuanya diembat. Nggak sekalian gontai?"
"Itu juga."
Agesa berdecak beberapa kali. "Hape lo nggak aktif? Gue hubungi beberapa kali nggak kesambung. WA ceklis satu. Gue khawatir."
Arga ber-oh. "Sengaja gue matiin."
"Dari kemarin malam?" Agesa memastikan.
"Hooh."
"Pantesan aja!" Agesa menggerutu.
Arga manyun. "Ya maaf."
"Lupain aja soal itu." Agesa mengalihkan pembicaraan. "Kalau gue jenguk lo hari ini, kira-kira bisa nggak?"
Arga menimbang-nimbang. "Entah sih ya. Gue ngerasa kayak perlu istirahat dulu."
"Okay, then."
"Lagian ini masih pagi," seloroh Arga.
"Kalau malam? Habis magrib deh. Atau nggak sekalian abis isya. Tapi kalau abis isya, paling ya bentar doang."
"Habis magrib bisa aja." Arga menyahut seraya mengubah posisi berbaring menjadi menghadap kanan. "Asal lo sendiri aja. Nggak usah rombongan kayak mau bagi-bagi sembako."
"Oke. Mau dibawain apa ntar?" tanya Agesa.
"Up to you ajalah."
"Heee?" Agesa terdengar heran. "Lo beneran Arga 'kan? Lagi nggak kesurupan kan?"
Arga refleks memelotot. "Sembarangan! Gue tabok lo, ntar!" Cowok itu mencomel. "Gue tuh lagi nggak bisa mikir, Dodol!"
"Kirain," seloroh Agesa. "Ya udah. Gue mau berangkat sekolah dulu. See you tonight."
"See you, Baby."
"YEEEK!"
Arga cuma tertawa, dan panggilan resmi terputus.
***
Ketika jam menunjukkan pukul dua belas, Arga memutuskan buat keluar kamar. Dia sudah merasa lumayan mendingan ketimbang pagi tadi. Badannya masih sedikit lemas, tapi tidak terlalu parah. Lagian, Arga juga bosan di kamar terus.
Cowok itu dengan santai menuruni anak tangga satu per satu. Begitu sampai di lantai satu, Arga memutar haluan menuju dapur. Soalnya, dari arah dapur, terdengar desir minyak dan aroma harum sambal terasi. Arga yakin Bunda sedang memasak buat makan siang.
Dan, benar saja tebakannya. Bunda dengan pakaian rumahan dan celemek tengah berkutat dengan berbagai bahan serta bumbu.
"Bunda ...," sapa Arga seraya memasuki dapur.
Bunda menoleh dan agak kaget. "Oh, Arga Sayang." Wanita tersebut melepas pekerjaan di tangan dan menghampiri Arga yang duduk di salah satu kursi. "Kamu udah mendingan?" tanya Bunda.
Arga mengangguk. "Lumayan, Bun." Cowok itu kemudian mengendus-endus udara sekitar. "Bunda bikin sambal terasi, ya?" Arga bertanya dengan mata berbinar.
Bunda tertawa kecil. "Iya, tapi kamu nggak boleh makan sambal dulu."
"Yaaah!" Arga kecewa. "Nggak asik, ah!" Cowok itu cemberut.
"Demi kebaikan lambung sama kesehatan kamu, Bunda terpaksa ngelarang." Bunda dengan usil menyodok perut samping Arga. "Kalau udah bener-bener mendingan, baru deh."
"Iya, iya." Arga tidak punya pilihan selain menurut. Cowok itu lantas mengedarkan pandangan dan bertanya, "Ayah keluar kota, ya, Bun?"
"Hah? Nggak tuh." Bunda menggeleng. "Kenapa kamu ngiranya gitu?"
"Kirain," celetuknya. "Nggak apa-apa, sih."
"Masih marah sama Ayah soal kemarin?" tanya Bunda hati-hati.
"Nggak marah sih." Arga mengangkat bahu. "Cuma—"
"Kecewa aja?" potong Bunda.
Arga terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Wajar nggak sih, Bun?" Cowok itu menunduk dan menatap kedua belah kakinya. "Jujur, Arga capek terus-terusan ditekan sama Oma mulu. Arga tau Bunda udah ngusahain biar Oma nggak terlalu maksa Arga, tapi Ayah? Arga ngerasa Ayah selalu setuju sama Oma."
Bunda yang semula ingin lanjut memasak menjadi urung. Ditatapnya Arga lekat-lekat. Bunda lantas memegang kedua belah bahu Arga, membuat cowok itu mendongak dan balas memandang Bunda.
"Jangan pikirin soal itu dulu, ya? Yang penting, kamu pulih dulu." Bunda berjongkok dan memeluk Arga erat. "Maaf kalau Bunda masih belum bisa sepenuhnya ngeyakinin Oma soal kamu. Insya Allah, bakal Bunda cari jalan keluarnya. Ya?"
Arga membalas pelukan tersebut dan mengangguk. "Iya, Bun. Nggak apa-apa. Arga paham." Cowok itu kemudian melepas pelukannya. "Arga pun lagi berusaha buat ngeyakinin Oma."
Bunda ikut mengangguk, lalu ekspresinya berubah menjadi serius. "Soal Ayah ... kalau Ayah ada ngajak kamu buat bicara, tapi kamu belum bener-bener mendingan, lebih baik bicaranya nanti aja. Oke?"
Kali ini, Arga dibuat bingung karenanya. Bicara? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top