2. The Light is Coming

IF WE START AGAIN
Bab 2: The Light is Coming (Arga's POV)

***

"Hai, Sayang."

Arga yang baru saja melepas sepatu olahraga dan meletakkan di rak menoleh, mendapati Bunda melambaikan tangan. Bukan hanya Bunda yang menyambutnya pulang kali ini. Di sofa tunggal, Ayah menyesap teh sambil sesekali melirik ke wanita setengah baya yang berada di samping Bunda: Oma.

"Hai, Bun!" Arga balas menyapa, duduk di samping Bunda. Cowok itu menyandarkan kepala di bahu Bunda, menyengir saat dilihatnya Ayah cemberut. "Tumben sudah balik jam segini, Yah," goda Arga, terkekeh pelan.

"Arga! Jangan manja kayak gitu! Malu sama Oma," tegur Ayah, geleng-geleng dengan sikap anak semata wayangnya tersebut. Usianya sudah tujuh belas tahun, tapi masih suka bermanja ria seperti anak berusia tujuh tahun. "Kamu nggak suka Ayah balik jam segini? Dibilangin jangan manja gitu! Bangun!" Ayah melotot.

"Biarin aja napa, Giel." Bunda ikut menyengir, ber-tosh ria dengan Arga yang menyeringai penuh kemenangan. "Gimana latihannya?" tanya Bunda.

"Baik." Arga menyahut pendek. Cowok itu lantas melirik Oma yang tampaknya satu pihak dengan Ayah. Air muka Oma masam, seperti ingin menyela keakraban antara dia dan Bunda. Arga menghela napas, mengalah. Cowok itu lantas menegakkan badan, tersenyum tipis. "Oma sehat?" tanya Arga basa-basi.

"Oma dengar nilai ulangan harianmu anjlok lagi." Oma langsung to the point, tidak menghiraukan sapaan Arga. "Bukannya kamu sudah les di tempat yang tantemu rekomendasiin? Jangan bilang nggak cocok. Ini sudah tempat ke sekian. Tantemu bahkan berani jamin kalau rekomendasi dia worth."

Tuh, 'kan?

Arga mengembuskan napas, agak malas kalau Oma sudah mengungkit masalah nilainya-bukan cuma ulangan harian, kuis dadakan pun juga dipermasalahkan kalau tidak memenuhi ekspektasi Oma.

Arga melirik Bunda, menuntut penjelasan dari mana Oma bisa tahu soal ulangan harian dua hari. Bunda hanya meringis, meminta maaf lewat sorot mata.

Ah, harusnya Arga tidak perlu heran. Oma kan memang suka menggeratak kamar tanpa izin. Salahnya juga, sih, tidak siap waspada menyembunyikan hasil ulangan dengan nilai 40 tersebut. Cuma diletakkan di atas meja belajar. Ya, mana Arga tau kalau Oma bakal datang hari ini?

"Kalau memang nggak cocok, Arga kudu piye?" Arga menggaruk kepala. "Ya, buat Tante Nisa mungkin worth. Buat Arga sama aja kayak belajar di sekolah. Nggak ada bedanya. Daripada buang-buang duit Ayah sama Bunda."

Arga mengedikkan bahu acuh tak acuh, membuat Bunda yang duduk di samping menyikut rusuknya. Mengingatkan kalau Oma bukan tipe orang yang bisa diajak bercanda kalau sedang serius. Hal yang membuat Arga meringis kecil.

Oma memutar bola mata jemu, sudah mengira kalau cucunya itu akan bereaksi seperti itu. Persis bundanya dulu. Tengil. Minta ditabok. Bisa dibilang, Arga lebih mirip Azaleta jika membicarakan masalah sifat, meskipun wajah dan fisiknya menurun dari Ragiel.

"Hari ini hasil kuis fisika dibagiin, 'kan?" Oma mengulurkan tangan, menunggu. "Oma mau liat."

Alamak! Arga menatap Oma ngeri. Dari mana neneknya itu bisa tahu kalau hasil kuis fisika kemarin sudah dibagikan? Ngeri betul. Tidak berlebihan kalau Arga menjuluki neneknya itu James Bond-versi wanita tentu saja, yang disilangkan dengan cenayang berkekuatan tinggi.

Oh, tenang saja. Arga tidak akan keceplosan berceletuk tentang julukan itu. Bisa habis riwayatnya kalau sama Oma mendengarnya. Salah-salah, bisa dibuang ke Waduk Jatiluhur dia.

"Nggak penting dari mana Oma bisa tau." Oma menyeringai, yang mana langsung membuat Arga merinding buta karenanya. "Sini! Oma mau liat hasilnya."

Ragu, Arga melirik Bunda. Bunda hanya mengangguk kecil, memberi isyarat agar Arga menuruti saja apa yang diinginkan Oma.

Aduh! Dua lawan satu.

Arga lantas beralih pada Ayah yang sedari tadi hanya menyimak. Ternyata Ayah juga sama. Matanya bergerak-gerak, memberi isyarat agar Arga segera menyerahkan hasil kuis fisika itu pada Oma yang mulai tidak sabaran.

Oke, tiga lawan satu. Arga K.O di tempat. Tidak ada pilihan lain.

Takut-takut, Arga membuka tas dan menarik hasil kuis fisika yang ia selipkan di antara buku. Belum diserahkan saja, Arga sudah bisa membayangkan bagaimana ekspresi Oma ketika melihat banyak coretan merah dan nilai 35 dengan tinta tak kalah merah tertera di sana.

Setengah hati, Arga menyerahkan hasil kuis tersebut pada Oma yang belum apa-apa sudah mengernyit dengan raut wajah masam. Seperti yang sudah Arga duga, Oma menghela napas panjang.

Mau bagaimana lagi? Kuis dadakan. Arga mana sempat belajar. Tiba-tiba saja, Miss Mala mengumumkan ada kuis mendadak begitu memasuki kelas, yang mana membuat warga kelas sebelas IPA satu langsung kelabakan. Bahkan, Agesa-kawan sebangkunya yang terkenal pintar saja stres mendadak meskipun ketika hasilnya dibagikan, Agesa mendapat nilai 85. Berbanding terbalik dengan Arga yang hanya bisa mengusahakan sampai 35.

Toh, yang lain juga sama saja. Tidak ada yang puas dengan hasil kuis dadakan itu-ya, termasuk Agesa, yang mana rasanya ingin sekali Arga menendang teman sebangkunya itu ke Andromeda kalau perlu.

Geblek, memang.

Sebelum bendera peperangan berkibar, Bunda mengambil inisiatif. "Ah, kamu ke kamar dulu, deh. Mandi, terus ganti pakaian. Baru ke sini lagi. Bau keringatnya menyengat," kata Bunda cepat seraya memberi isyarat dengan mata agar Arga segera naik menuju kamar di lantai dua.

"Nggak usah balik ke sini." Oma menimpali dengan dingin. Diserahkannya kembali lembar kuis di tangan pada Arga dengan sorot mata sinis. "Mending kamu belajar daripada balik ke sini terus ujung-ujungnya jadi tukang lawak," sindir Oma blak-blakan.

"Kamu memang perlu dicarikan tempat les baru, atau sekalian guru private yang mumpuni. Heran. Padahal bundamu nggak gini-gini amat. Ayahmu kayaknya juga nggak separah ini. Kamu nurun dari mana coba?" Oma geleng-geleng, tidak peduli dengan ucapannya yang terkesan menusuk tanpa perlu disaring terlebih dahulu.

"Udahlah, Mi." Bunda memotong cepat. "Itu kita bahas lagi nanti."

Bunda menghela napae, mengalihkan tatapan pada Arga yang menunduk dalam. "Kamu ke kamar, gih!" ucap Bunda dengan senyum lembut. Diraihnya dagu putra semata wayangnya itu, yang mau tidak mau membuat Arga mengangkat wajah. "Mandi sana. Duh, ini mukamu, kok, kotor? Kayak bekas oli gitu." Bunda mengusap beberapa noda kehitaman di wajah Arga dengan jempol, lantas menunjukkan bekasnya pada putranya itu.

Arga mengangguk kecil, meraih tas seraya berlalu cepat menuju tangga tanpa perlu repot-repot berpamitan pada Ayah, Bunda, apalagi Oma. Cowok itu menaiki anak tangga dengan gontai. Ada gejolak tidak menyenangkan saat membuka pintu kamar, lantas menguncinya kembali rapat-rapat. Seolah melindungi privasi yang sempat diacak-acak.

Rasanya campur aduk ketika melepas jersey yang membalut tubuh dan melemparnya ke keranjang pakaian kotor. Arga mengempaskan punggung telanjang ke ranjang, menatap langit-langit kamar beberapa saat sebelum memejamkan mata dan menghela napas berat.

Toh, tanpa disuruh pun, Arga juga enggan kembali ke bawah dan bergabung. Daripada jadi bulan-bulanan mulut pedas Oma, lebih baik berdiam diri di kamar.

Arga, sih, sudah biasa. Bunda juga sering bercerita kalau Oma memang blak-blakan, cenderung sinis, dan pedas omongannya. Arga, sih, percaya. Ya, tadi salah satu buktinya.

Arga menoleh, menatap cermin besar lemari pakaian yang ada di samping kanan ranjang. Benar kata Bunda. Wajahnya kotor dengan bekas noda seperti sisa oli. Ah, pasti karena tidak sengaja mengusap wajah dengan telapak tangan yang kotor ketika memperbaiki motor Runa saat di sekolah tadi.

Runa ....

Cewek cerdas dan berprestasi dari sebelas IPA tiga. Meraih medali emas olimpiade biologi tahun lalu. Padahal waktu itu mereka masih kelas berstatus siswa baru. Masih imut-imutnya menjadi warga kelas sepuluh SMA Nusa Garuda.

Oke, kata imut agak berlebihan.

Arga cukup sering mendengar nama Runa, tetapi tidak pernah berkenalan secara langsung. Cewek manis dari Kalimantan. Hijrah ke Jakarta setelah mendapat tawaran beasiswa full dari SMA Nusa Garuda selama bersekolah.

Harus Arga akui, cewek itu memang cukup manis dan menarik. Setidaknya dari penampilannya. Percakapan itu adalah yang pertama setelah satu tahun mereka bersekolah di SMA Nusa Garuda sebagai teman satu angkatan.

Ah, apa cewek itu sudah mengambil motornya, ya? Arga bangkit, duduk di bibir ranjang. Cowok dengan kulit seputih salju itu meraih tas yang dilempar sembarang ke sudut ruangan, mengambil ponsel yang terselip.

Duh, harusnya waktu itu minta kontak Runa, kali, ya? Arga menggaruk kepala, baru kepikiran sekarang. Setidaknya ia bisa memberitahu kalau motor Runa sudah bisa menyala kembali.

Harusnya, sih, aman. Dia sudah menitipkan kunci motor pada satpam sekolah. Menitip pesan kalau yang punya kendaraan akan mengambil kira-kira setengah jam lagi. Harusnya.

Apa coba tanya Tata saja, ya? Arga menimbang-nimbang. Sepupunya itu memang sering terlihat bersama Runa. Menurut pengakuan Tata, mereka sohib kental. Kalau memang benar, Tata pasti punya kontak Runa.

Ah, bisa! Arga menghidupkan ponsel, berniat mengirimkan pesan via WhatsApp sebelum yang ingin dihubungi justru men-chat lebih dulu. Ah, mode silent. Arga menepuk dahi. Pantas saja tidak terdengar notif.

[Lapor! Motornya sudah diambil sama yang bersangkutan. Runa titip salam sama terima kasih.]

Ah, sudah rupanya. Arga mengangguk-angguk, tersenyum. Dengan cepat, ia mengetikkan balasan.

[Sama-sama. Titip salam juga buat dia.]

Balasan dari Tata kurang dari semenit.

[Terserah.]

Lho? Arga mengernyit. Ah, dia paham. Cowok itu manggut-manggut, menyeringai. Pasti Tata sedang bersama Joe. Tepat saat Arga ingin mengetikkan balasan untuk Joe yang sekarang ini pasti memegang ponsel Tata (Arga berani bertaruh, deh), sebuah voice note dikirimkan Tata-atau Joe.

Oh, Tata rupanya. Suara sepupunya itu langsung terdengar ketika voice note ditekan.

"Aih, maaf, Ga. Joe isengnya kumat. Iya, nanti gue bilangin sama dia. Hei, Joe! Balikin ponselku! Main serobot aja."

Tuh, 'kan? Arga terkekeh, geleng-geleng. Ia paham betul dengan sifat pacar sepupunya itu. Agak posesif jika menyangkut soal Tata. Di luar itu, Joe sebenarnya cukup baik dan supel. Catatan: kalau sama cowok. Dengan cewek, sih, katanya dia dingin. Setengah bercanda, dan setengahnya lagi menggoda, Arga merekam voice note balasan.

"Sorry kalau gue ganggu kencan kalian. Met nge-date."

Setelahnya, tanpa menunggu apakah Tata membalas voice note yang dikirimnya atau tidak-kemungkinan, sih, nggak, Arga berdiri menuju lemari di samping kanan ranjang. Diambilnya handuk. Cowok itu mengangkat kedua belah tangan, meregangkan badan. Ia perlu mandi. Badannya terasa lengket.

Lima belas menit kemudian, Arga keluar dari kamar mandi seraya menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Segar. Sejenak, cowok itu menggigil ketika dirasakannya udara dingin AC menerpa badannya. Dibukanya lemari. Pilihan jatuh pada kaus oblong putih dengan celana pendek selutut. Buru-buru Arga bersilih sebelum mengempaskan diri ke ranjang.

Arga meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas, mengecek apakah ada sesuatu yang penting di grup kelas atau ekskul. Oke, ada. Niat berleyeh-leyeh langsung pupus ketika ketua kelas memberitahu tugas biologi harus dikumpulkan segera malam ini. Deadline jam dua belas malam. Dikirim via email.

Ah, Arga baru mengerjakannya setengah. Cowok itu mendesah malas. Tugas tiga hari lalu, sih, sebenarnya. Tiap kali ingin mengerjakan, selalu saja ada hal yang membuatnya kedistrak. Oke, waktunya mengerjakan sisa pekerjaan yang sudah tanggung untuk diselesaikan.

Arga membuka laci nakas paling bawah, mengeluarkan laptop dari sana. Flashdisk, mana flashdisk? Arga mengingat-ingat. Tugas biologi ada di sana. Bisa bahaya kalau sampai hilang atau amnesia mendadak di saat seperti ini. Cowok itu meraih tas di ujung ranjang, mencari apakah benda yang ia cari ada di sana.

Ah, itu dia! Arga mengambil benda mungil tersebut. Menyempil di antara buku-buku. Ketika Arga menariknya, sehelai amplop putih ikut tertarik dan jatuh tepat di hadapan.

Astaga! Arga menepuk dahi, memungut amplop tersebut. Hampir saja ia lupa. Amplop yang bahkan berstempel resmi dengan nama lengkapnya tertera: Argario Andana.

Tadi siang, setelah istirahat salat zuhur, Joe selaku Ketua OSIS SMA Nusa Garuda menyambangi kelasnya. Arga dan Agesa, kata Joe saat Shahila-salah satu cewek di kelas bertanya ada apa.

Refleks, Arga yang sudah hampir berhasil mencomot tahu isi kepunyaan Agesa langsung urung. Menarik tangan ketika Shahila yang melambaikan tangan. Arga lantas menyikut rusuk Agesa yang duduk di sebelahnya, memberi isyarat dengan dagu kalau Joe juga mencarinya.

"Lo kali." Agesa berkelit, melindungi seplastik tahu isi yang hampir ditilap Arga. Cowok itu memelotot, memasang sikap waspada.

"Kita berdua, elah." Arga memutar bola mata jemu. "Suuzan amat, sih."

"Awas, ya!" Agesa memperingatkan Arga yang tampak masih mengincar tahu isi hangat kepunyaannya. Dimasukkannya plastik tersebut ke laci meja sembari memasang ekspresi I watch you pada Arga yang menyengir jail.

Barulah setelah Agesa berdiri dan berjalan agak jauh, buru-buru Arga mencomot tahu isi milik kawan sebangkunya itu sebelum sang empu sadar dan berteriak kesal, "Hei! Nah, 'kan! Sini, nggak?" bentak Agesa seraya memelotot bulat-bulat pada Arga yang masih mengunyah tahu isi hasil korupsi. Kebiasaan, gerutu Agesa.

Arga menyengir. "Iya, deh. Nanti gue ganti. Jangan marah, ya," bujuknya seraya menowel pipi Agesa, yang mana langsung mendapat tepisan dari yang bersangkutan. Sontak, Arga memasang ekspresi wajah sok dramatis seperti siap menangis.

"Udahan, dong, marahannya," bujuk Arga lagi sebelum Joe berdeham, menyela drama antar kawan sebangku. Arga menoleh, menyengir ketika dilihatnya Joe bersedekap dengan wajah bete. "Eh, hai, Bro! What's up?" sapa Arga.

"Buat kalian." Joe menyerahkan masing-masing satu amplop putih pada Arga dan juga Agesa. "Dibaca baik-baik. Kalau tertarik dan yakin mau berpartisipasi, langsung confirm via email. Sesuai format. Paham?" Joe menjelaskan dengan cepat, tidak peduli dengan Arga dan Agesa yang cengo di tempat.

"Bentar, bentar." Arga menyela pembicaraan. "Gue masih nggak ngerti. Ini apaan, dah, maksudnya?"

Arga menggaruk tengkuk, bingung sendiri. Dilihatnya Agesa juga sama. Keduanya saling bersitatap. Agesa mengedikkan bahu, juga tidak tahu apa-apa. Healah! Arga kira dia saja yang sedang lemot karena baru digempur dengan matematika peminatan sebelum istirahat salat zuhur.

"Baca." Joe menekankan kata tersebut tanpa banyak bicara. "Gue pergi dulu." Setelahnya, cowok itu berlalu. Meninggalkan Arga dan Agesa yang masih bingung soal amplop di tangan.

Jangan-jangan undangan eksklusif ulang tahun Miss Mala yang ke-41, tebak Arga yang mana langsung mendapat jitakan keras dari Agesa.

Ngawur! Agesa memelotot, duduk kembali di tempatnya. Arga cemberut, membela diri. Agesa mendelik sinis, membuat Arga semakin manyun.

Tepat saat Arga ingin merobek ujung amplop di tangan, guru mata pelajaran berikutnya sudah datang dan mulai mengabsen.

Nanti sajalah, pikir Arga seraya memasukkan amplop tersebut ke dalam tas. Sampai saat ini, baru Arga bisa membuka sembari menebak-nebak.

Apa, ya, kira-kira? Arga menekan sedikit amplop tersebut. Sedikit tebal. Jangan-jangan isinya duit? Pikirannya semakin random. Ah, tidak mungkin. Cowok itu mengambil bantal di dekat paha, meletakkannya di pangkuan sebagai bahan tumpuan kedua belah lengan.

Perlahan, Arga merobek ujung amplop tersebut dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Selembar kertas. Oh, bukan! Cowok itu baru sadar kalau isinya terdiri atas tiga rangkap kertas yang Arga sendiri tidak tahu apa. Diambilnya satu secara acak, membacanya dengan dahi berkerut.

Formulir Seleksi Calon Ketua OSIS SMA Nusa Garuda.

Astaga! Arga terbelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Cowok itu lantas mengambil copy yang lain, membacanya dengan dada jantung yang tiba-tiba saja berdegup lebih laju saking excited-nya.

Astaga! Astaga! Astaga! Arga hampir melonjak kegirangan setelah membaca berulang kali kertas di tangan, memastikan kalau ia tidak salah tangkap. Cowok itu bersorak gembira, menyerukan yes berulang kali dengan semangat.

Akhirnya mimpi itu jadi nyata.

Dengan semangat, Arga membuka laptop. Lupakan sejenak tugas biologi yang masih setengah jadi. Ada hal lain yang lebih penting, dan harus dikonfirmasi secepatnya.

Sejenak, Arga larut dalam kegembiraan. Berulang kali cowok itu berseru tertahan di bantal ketika matanya lagi-lagi menangkap kalimat pada baris pertama surat keputusan.

Selamat! Anda memenuhi kualifikasi untuk mencalonkan diri sebagai kandidat calon Ketua OSIS SMA Nusa Garuda!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top