19. Ngerepotin

IF WE START AGAIN
Bab 19: Ngerepotin (Runa's POV)

***

"Sori banget gue jadi ngerepotin, Ta."

"Santai, Beib. Nggak sama sekali, kok." Tata menepuk lembut  bahu Runa, menenangkan. Setelahnya, dengan gesit Tata membantu Runa mengangkat kardus yang tergeletak di beranda depan kos-kosan ke belakang mobil.

Sesuai yang disabdakan Ibu Kos, pada sore hari ini, Runa resmi harus angkat kaki dari kos-kosan. Suka tidak suka, mau tidak mau, pada akhirnya Runa memang seperti diusir sebelah pihak.

Beberapa teman satu kos yang kebetulan sudah pulang dari pekerjaan masing-masing sempat membantu Runa membawa barang bawaan dari kamar ke beranda depan. Juga, memeluk Runa sebentar dan menguatkan. Tidak lupa mereka juga berkata kalau sesekali mereka harus bertemu nanti. Tentu tidak di kos-kosan sini, mereka menambahkan.

Runa cuma bisa tertawa canggung mendengar itu. Teman-teman satu kosnya memang baik. Runa tidak menampik itu. Pengertian adalah kata yang pas untuk menggambarkan mereka. Oh, dan juga ringan tangan. Karena itulah, meski Ibu Kos-nya sekejam ibu tiri di film Cinderella, teman-teman yang baik itu merupakan pertimbangan utama Runa untuk menetap lebih lama di kos-kosan ini. Tidak mudah untuk menemukan orang seperti mereka.

Namun, takdir pada akhirnya berkata lain. Runa terpaksa meninggalkan kos-kosan ini jauh sebelum waktu yang dia perkiraan sebeumnya. Di bayangan Runa, minimal dia akan menetap di sini sampai dia lulus dari SMA Nusa Garuda. Rupa-rupanya ... itu memang hanya angan belaka.

Tanpa sadar sudut mata Runa menghangat. Bisa dia rasakan setitik air mata jatuh dari tepi mata kanannya.

Sembari terus memboyong barang bawaan dan beberapa kardus, Runa menatap kos-kosan di depannya dengan perasaan tidak menentu. Rasanya ... seperti ada sesuatu yang meremas perasaan Runa kuat-kuat.

Kos-kosan ini bisa dibilang rumah pertamanya sejak menginjakkan kaki di Jakarta. Tempat Runa pulang dan beristirahat dari lelahnya menghadapi dunia yang keras dan sama sekali enggan melunak. Juga, tempat di mana Runa sering kali menundukkan kepala dan bersujud di sepertiga malam. Sujud di mana dia memohon agar Allah memudahkan jalan hidupnya selama di Jakarta. Tidak muluk-muluk pinta Runa.

Meninggalkan kos-kosan lamanya, terlepas dari betapa pedasnya kata-kata Ibu Kos kepadanya, bisa dibilang merupakan salah satu momen terberat bagi Runa.

"Na?"

Suara Tata mengalun menyadarkan Runa dari lamunan. Bisa Runa rasakan pula sentuhan lembut mendarat di bahunya. Cewek itu menoleh, mendapati Tata yang menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi sedikit khawatir.

"Maaf." Runa mengusap kedua belah pipi sebentar. Cewek itu lantas menggeret koper selaku barang bawaan terakhir ke dalam mobil Tata, di jok belakang karena bagasi sudah penuh.

"Lo nangis?" tanya Tata. Nada suaranya tulus.

Runa terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kalau gue bilang kelilipan, lo bakal percaya apa nggak?"

"Sama sekali nggak." Tata menggeleng-geleng.

Runa tertawa kecil. "Gue nggak apa-apa. Cuma sedikit emosional aja. Maklum. Eike gampang baperan." Masih sempat-sempatnya dia mencoba melucu di saat ssperti ini.

Tata tidak ikut tertawa mendengar itu. Jangankan. Barang mengangkat sudut bibir sedikit pun tidak sama sekali. Cewek itu cuma menarik lengan Runa dan mengajaknya untuk segera masuk mobil. "Ayo, Beib!"

Runa manut. Bersama Tata, dia menuju jok depan dan duduk di samping Tata. Diliriknya Tata yang melajukan mobil dengan perlahan setelah menarik persneling dan menginjak gas. Teman seperti Tata tidak diragukan lagi adalah salah satu berkah baik yang pernah hadir dalam hidup Runa.

"Pengin cerita?" tanya Tata tiba-tiba, memecahkan keheningan yang sempat melanda. "Kalau lo ngerasa ada sesuatu yang ngeganjel, lo bisa cerita. Siapa tau perasaan lo jadi lebih baik," kata Tata lagi. "Kalau pun nggak mau, juga nggak apa-apa."

Mendengar itu, Runa tidak langsung menjawab atau pun bereaksi. Cewek itu lebih memilih melempar tatapan ke luar dan berpikir sejenak. Setelah beberapa saat, barulah Runa mulai bersuara, "Rasanya sedih aja. Kayak ... gue kehilangan sssuatu yang berharga."

"Bahkan meski ibu kos lo segitunya sama lo?"

"Ibu Kos nggak ada apa-apanya dibanding benefit yang gue dapetin dari kos-kosan itu, Ta." Runa menghela napas pendek. "Selain Ibu Kos, ada banyak hal yang gue syukuri di sana."

Tata dengan ringan mengulurkan tangan dan mengusap bahu Runa. Sementara, sebelah tangannya tetap meng-handle kemudi. "Kapan-kapan lo biaa ketemu temen kos lo yang di sana." Cewek itu tersenyum, menguatkan. "Gue yakin, di tempat Ray nanti, lo bakal ngedapetin apa yang lo pengin. That's okay, Beib."

Runa memejamkan mata. Benar. Toh, pada dasarnya hidup memang begini. Datang dan pagi. Mengucapkan halo dan pada akhirnya tersebut selamat tinggal. Kendati demikian, bukan berarti silaturahmi bisa putus semudah itu.

"Thank you, Ta," ucap Runa.

"Oh, c'mon! Andai gue nggak nyetir, udah gue peluk lo sampe krek."

***

Sayangnya, pencarian kos-kosan pada hari ini berujung kenihilan. Meski sudah dibantu Tata yang sampai repot-repot ikut absen dan memboyong Runa dengan mobilnya, mereka tetap tidak menemukan kos yang cocok untuk Runa.

Err ... jujur, sebenarnya lebih cocok kalau dibilang tidak cocok dengan keinginan Tata.

Beberapa kos-kosan sebenarnya cocok-cocok saja dengan Runa. Sewa terjangkau dan kamarnya tidak buruk-buruk amat, cuma itu kriteria yang Runa terapkan. Hanya saja ....

"Padahal kos-kosan terakhir itu cocok loh, Ta," celetuk Runa saat mereka sudah sampai di rumah Tata dan mulai menurunkan barang-barang Runa. "Nggak buruk-buruk amat menurut gue."

Tak ayal, Tata langsung memelotot. "Gue nggak mau ya temen gue hidup nggak layak di tempat yang banyak lalernya gitu."

"Ya tapi kan murce, Sis." Runa manyun lima mili.

"Murce, murce," salak Tata galak. "Nggak! Lagian, beberapa hari lagi lo bakal pindah ke kosan punya Ray. Lo nggak sudi ya tinggal bareng gue buat sementara?"

"Bukannya gitu ...."

"Terus?"

Ya, benar sekali, Saudara-saudara! Dikarenakan Runa dan Tata tidak menemukan kos-kosan sampai batas waktu yang ditentukan, pada akhirnya, Runa tidak ada pilihan selain mengiakan ajakan Tata untuk tinggal bersamanya buat sementara.

Iya, sementara saja. Karena hamdalah kendati tidak mendapat kos-kosan hari ini, Allah masih maha baik dengan memberikan solusi lain. Solusi itu datang ketika Tata mengabari bahwa salah satu teman sekolah mereka, Ray dari sebelas IPS satu, memiliki usaha kos-kosan dan akan ada penghuni cewek yang pindah dari sana dalam beberapa hari.

Mungkin sekitar dua atau tiga hari lagi, begitu yang Tata bilang kepadanya. Hal itulah yang juga sempat membuat Tata bertanya apakah Runa mau menerima tawaran itu atau bagaimana? Jika Runa mau, Ray akan meng-keep kamar itu buat dia. Kalau Runa tidak mau, juga tidak masalah.

Dan, meskipun hari sudah sore sewaktu Tata memberi kabar itu, Runa tidak langsung menjawab. Alih-alih menerima atau menolak, dia ingin melihat-lihat dulu dan bicara langsung dengan Ray.

Tentu saja. Sekalipun Ray adalah teman satu sekolah mereka, Runa tetap perlu mempertimbangkan beberapa hal. Terutama soal biaya sewa, sih. Kalau soal keadaan kos-kosan, dilihat dari Tata yang fine-fine saja, Runa yakin kos-kosan milik Ray tidak mengecewakan dan sesuai ekspektasi.

Sebenarnya ... Runa sudah delapan puluh persen menerima tawaran itu, sih. Namun, dia masih ingin meyakinkan diri. Karena itulah, malam ini dia dan Tata akan pergi ke kos-kosan Ray untuk melihat-lihat. Dan, untungnya Ray mempersilakan karena, katanya, penghuni kos yang akan pindahan malam ini sedang tidak ada dan sudah memberi izin kepada Ray membawa calon penghuni baru untuk menyurvey keadaan. Runa dan Tata bebas untuk melihat-lihat.

"Gue nggak mau ngerepotin, Ta. Itu aja," kata Runa lirih.

"Ya Allah ...." Tata memijat kening yang sebenarnya tidak apa-apa. Hanya saja, dia sudah rada frustrasi sama Runa. "Lo nggak ngerepotin, Beib. Santai aja."

"Buat lo mungkin nggak, tapi gimana sama Om Deka dengan Tante Nisa?" Runa meringis tanpa bisa dicegah.

"Bonyok oke-oke aja tuh pas gue bilang lo bakal tinggal di sini sementara," Tata mengangkat bahu sebelum mengibaskan tangan dan berkata, "Malah kayaknya mereka seneng pas denger kabar itu."

"Mosok?" Runa refleks bertanya dengan bibir monyong.

"Gue geplak juga lo ya, Na." Tata dengan gahar menamplok muka Runa, membuat yang ditamplok mengaduh. "Udah, udah. Yuk bawa barang-barang lo ke beranda dulu."

"Okay," Runa mengangguk.

Keduanya dengan gesit membawa beberapa kardus dan juga koper Runa ke beranda. Bolak-balik, saling membantu, dan dalam waktu yang lumayan singkat semua barang Runa sudah dipindahkan ke beranda.

"Cus masuk! Bonyok mau ketemu lo, kayaknya," ajak Tata.

"Lah? Trus ini barang-barang gue gimana? Mereka nggak bisa jalan sendiri, Ta." Runa menggeleng-geleng.

"Gampang lah itu." Tata tidak mengindahkan dan dengan cepat menarik Runa masuk. "Ntar minta bantuan satpam bawain ke atas."

"Kan ngere—"

"DIYAM!" Tata memelotot garang.

Runa langsung dibuat mingkem karenanya. Juga pasrah saja saat ditarik Tata menuju ruang tengah di mana dia bisa melihat kedua orangtua Tata tampak sedang bersantai. Om Deka dan Tante Nisa, Runa kenal baik dengan keduanya dan kadang juga berbincang-bincang kalau sedang bertandang ke sini.

Masalahnya ... sekarang tuh Runa bukan bertandang lagi, tapi seenak jidat bakal tinggal sementara di sini. Meskipun cuma beberapa hari, ya tetap saja rasanya agak bagaimana gitu.

"Ma, Pa," sapa Tata kepada orangtuanya, "I'm hooome, dan bawa anggota keluarga baru."

"Heh!" Runa langsung protes dan mencubit pinggang Tata. "Anggota keluarga baru apaan? Joe tuh anggota keluarga baru lo."

"NGAPA JADI BAWA-BAWA JOE?"

Terlihat baik Om Deka maupun Tante Nisa tergelak kecil.

"Halo, Runa," Om Deka menyapa lebih dulu.

"Kabar baik, Runa?" Giliran Tante Nisa yang menyapa sekaligus bertanya.

Runa tersenyum dan mengangguk sopan. "Halo, Om, Tante. Runa baik, alhamdulillah. Om sama Tante sendiri gimana?"

"Beginilah. Kerja lembur sampai encok." Tante Nisa mengerling, lalu terbahak.

"Kamu emang udah tua. Nggak usah nyalahin kerjaan segala," Om Deka berseloroh.

Tante Nisa mendelik. "Kamu mau tidur di luar?"

"Runa barang-barangnya mana?" Om Deka auto mengalihkan pembicaraan dan menatap Runa.

"Di luar, Pa," Tata yang menyahut.

Om Deka mengangguk. "Kalian ke atas dulu sana. Nanti biar satpam yang bawain barang-barang Runa ke kamar."

"Eh, nggak usah, Om." Buru-buru Runa menyala. "Runa bisa ba—"

"Siap, Komandan!" Tata dengan senyum lebar memberi hormat dan menarik lengan Runa. "Kami ke atas dulu kalau gitu." Tanpa banyak babibu, Tata dengan gesit menarik Runa menuju tangga dan segera naik.

"HEEEEI!" Runa protes.

"Diyam lo!"

Runa mengaduh dengan langkah terseok-seok mengikuti Tata. Kurang dari tiga menit, dia dan Tata sudah sampai di depan pintu kamar. Bukan. Bukan kamar Tata, melainkan kamar tamu yang sengaja disiapkan buat Runa.

"Yuk masuk," ajak Tata seraya membukakan pintu.

Begitu masuk, yang pertama Runa sadari adalah kamar ini cukup luas. Banyak space kosong karena hanya ada ranjang, lemari pakaian, dan meja sebagai barang-barang besar di ruangan ini. Beberapa perintilan seperti cermin, nakas, dan televisi juga turut menghias. Dinding yang dicat biru muda memberikan kesejukan tersendiri bagi mata.

"Lo istirahat dulu, gih," suruh Tata. "Ntar satpam bawain barang lo sampai depan pintu. Nggak apa-apa kan?"

"Ini sih beneran ngerepotin," keluh Runa, tidak enak hati.

"Gue tarik juga bibir lo ya lama-lama." Tata tanpa ampun menggeplak kepala Runa. "Dibilangi lo nggak ngerepotin, juga."

Runa tentu saja mengaduh. Sambil mengusap-usap kepala yang kena pukul Tata, dia berkata, "Ya kan masalahnya—"

"Udah, diem! Lo istirahat dulu. Nanti malam kita ke kos-kosan Ray. Dan, jangan lagi bilang kalau lo itu ngerepotin. Udah, gue mau balik ke kamar. Mau mandi. Lo juga mandi dulu sana!"

***

"So, here we are!" kata Tata seraya menghentikan laju mobil di depan sebuah kos-kosan yang terbilang besar dan cukup luas. "Yuk deh," ajak Tata.

Runa mengangguk. Cewek itu membuka pintu mobil di sebelahnya dan melangkah keluar. Dilihatnya Tata tengah mencoba menghubungi seseorang. Mungkin Ray.

Dan, benar saja. Beberapa saat kemudian, dari lantai satu, keluar cowok seumuran mereka. Wajahnya familier di mata Runa. Dia ingat pernah beberapa kali bertemu dan berbincang dengannya. Siapa lagi kalau bukan Ray, si pemilik kos-kosan?

"Hei," sapa Ray sembari berjalan mendekat. "Ayo, ayo! Kita ke lantai dua." Cowok itu dengan santai mengajak Runa dan Tata menuju lantai dua.

"Sori kalau malam-malam gini baru bisa liat-liat, Ray," kata Tata.

"Santai aja, kali. Kayak ke siapa aja." Ray tersenyum lebar.

Kurang dari beberapa menit, mereka sudah sampai di lantai dua. Dengan Ray berjalan di depan, Runa dan Tata mengekor sampai akhirnya mereka sampai di depan sebuah kamar.

"Untung gue ada kunci cadangan," Ray berceletuk sambil memutar kunci pintu dua kali. "Gue lupa minta penghuni kamar ini nitipin kuncinya ke gue."

Setelah bilang begitu, Ray dengan santai membukakan pintu di depan mereka. Dan, yang pertama terlihat adalah ... kekaosan.

Kaos di mana-mana. Beberapa kardus berserakan, dan juga baju-baju yang rupanya belum dirapikan dan di-packing.

"Sori," Ray meringis. "Kacau emang, tapi ya beginilah kondisi kamarnya. Cukup layak nggak buat Runa?"

"Nah, kalau itu tanya ke Runa langsung." Tata menepuk pundak Runa.

Runa menyisir keadaan sekitar. Terlepas dari kekaosan yang ada, kamar ini benar-benar layak huni. Bangunannya jelas masih bagus. Kamarnya pun tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu luas. Standar yang nyaman untuk Runa. Pencahayaannya pun bagus. Sudah termasuk kamar mandi di dalam, pula.

Sejujurnya, bagi Runa ini lebih dari layak. Namun ....

"Gimana, Beib?" tanya Tata lagi.

"Um ...." Runa masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk bertanya, "Soal sewa ... kira-kira berapa ya, Ray?"

Ray mengibaskan tangan. "Gampang soal itu. Yang paling penting, cocok nggak sama lo?"

"Banget sih malah." Runa menggaruk leher yang sebenarnya tidak gatal. "Justru karena itu gue jadi agak curious ...."

"Gini aja deh," Ray dengan santai bertanya, "Di kosan lama lo, sewa per bulannya berapa?"

Runa dengan cepat menyebutkan selarik angka.

"Kalau gitu, kurangi sepuluh persen dan kamar ini jadi milik lo." Ray mengedipkan sebelah mata.

Runa ternganga. "Mana bisa gitu?"

"Bisa lah." Ray tertawa. "Kan gue yang punya kos-kosan."

"Masalahnya ini tuh lebih bagus daripada kos-kosan lama gue, Ray." Runa tetap keukeuh.

"Kosan lebih bagus nggak menjamin harga sewanya lebih mahal, Sister." Ray menyengir.

"Tapi—"

"Runa," sela Ray. Ekspresinya yang riang dan kanak-kanak yang semula kental tersapu, digantikan ekspresi serius ketika berkata, "Gue tau keadaan lo sekarang ini. Gue cuma mau bantu sebisa gue, dan berdasarkan informasi dari seseorang, lo pasti nggak bakalan mau kalau gue bebasin lo dari biaya sewa. Iya kan?"

Runa terdiam. Sudut matanya lantas melirik Tata yang pura-pura tidak tahu menahu soal ucapan Ray.

"Gini aja deh." Ray memberi jalan tengah. "Buat sementara, biaya sewa kamar ini sesuai sama apa yang gue bilang barusan. Begitu keadaan lo udah stabil, yah oke lah kalau mau bayar biaya sewa normal kayak penghuni lain. Gimana?"

"Beib," Tata mengusap punggung Runa. "Sayang loh kalau nggak diambil. Kita udah keliling ke mana-mana, tapi nggak nemu satu pun yang cocok. Cuma ini yang tersisa."

Runa mengembuskan napas. Ditatapnya Tata dan bertanya, "Kalau gue nolak, lo bakal lindes gue pake ban mobil atau ngedorong gue dari lantai dua rumah lo?"

"Dua-duanya sih."

Runa meringis. Pandangannya beralih kepada Ray. Cewek itu tersenyum, mengangguk. "Mohon bantuannya, Ray. Makasih banyak sebelumnya."

Ray bertepuk tangan saking senangnya. "Oke, nanti gue kabari kalau kamarnya udah siap huni." []














Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top