18. Bantuan

IF WE START AGAIN
Bab 18: Bantuan (Arga's POV)

***

"Oke, oke. Nanti gue coba langsung hubungi Runa. Sip. Oke, nanti gue kabari lagi ya."

Arga menoleh, mendapati Agesa yang baru saja memutus panggilan duduk di sebelahnya. Jelas kawan sebangkunya itu baru saja selesai bicara dengan seseorang.

"Siapa?" Arga iseng bertanya.

Agesa tidak langsung menjawab. Alih-alih menyahut, cowok itu sempat melirik Arga sebentar. Seakan-akan dia maju mundur ingin memberitahu sebelum berkata, "Tata."

Arga ber-oh panjang. "Ada apa?"

"Tata minta bantuan gue."

"Bantuan ...?" ulang Arga.

"Kepo banget, sih," celetuk Agesa seraya menyentil dahi Arga, membuat yang disentil mengaduh pelan. "Ada deh pokoknya."

Arga mengusap dahi seraya menggembungkan pipi. "Main rahasiaan nih ceritanya. Oke, fine! Jangan panggil-panggil gue hari ini."

Agesa cuma memutar bola mata jemu mendengarnya.

Melihat itu, Arga memajukan bibir. Cowok itu dengan gaya sok dramatis menggeser kursinya beberapa langkah menjauh. Sengaja pula dia memasang ekspresi masam biar Agesa tahu kalau dia sedang sebal pada sohibnya.

"Nggak usah masang muka gitu. Geuleuh liatnya," celetuk Agesa.

Arga malah tambah kesal. "Biarin. Apa dengan muka gue begini mengganggu perekonomian bangsa Indonesia? Nggak kan?" Arga sewot setengah mampus.

"Ngeganggu pemandangan yang ada."

"BERANTEM, YUK! Noh lapangan luas!"

Agesa menggeleng-geleng. Hanya sebentar. Cowok itu lantas menatap Arga dari sudut rambut hingga ujung sepatu, seolah-olah sedang meneliti sesuatu.

"Kenapa? Ada yang aneh ya?" Arga menelengkan kepala. Cowok itu turut meraba-raba sekujur badan beserta kaki, jaga-jaga kalau memang ada sesuatu yang salah sampai-sampai Agesa menatapnya seperti itu.

Agesa mengembuskan napas, menggeleng. Cowok itu lantas mengalihkan pandangan ke hadapan dan mulai membuka buku mata pelajaran hari ini. "Tata minta tolong buat nyariin kos-kosan."

Arga mengerjap.

Apa kata Agesa tadi? Tata mencari kos-kosan?

"Hah?" Arga cengo mendadak. "Ngapain Tata nyari kos-kosan?" Cowok itu refleks menyemburkan apa yang di kepalanya ketika Agesa memberitahu hal tersebut.

Tentu saja. Jika Tata ingin mencari hal seperti itu, Arga pasti mengetahuinya lebih dahulu. Terlebih, untuk urusan cari-mencari seperti ini, Arga bisa diandalkan. Koneksinya lumayan luas. Bahkan, kalau boleh jujur dan agak sedikit tinggi hati, lingkar koneksi Arga jauh lebih luas ketimbang Agesa.

Alih-alih memberitahu Arga terlebih dahulu, kenapa Tata malah meminta bantuan Agesa?

"Bukan Tata," sahut Agesa. "Ini buat ... Runa."

Arga terdiam. Hanya beberapa saat. Setelahnya, cowok itu ber-oh pendek dan mengangkat bahu. "Kirain."

"Lo nggak kaget? Atau penasaran kenapa Runa minta bantuan Tata buat nyari kos-kosan baru?" pancing Agesa.

"No, thank you." Arga menyahut sekenanya. Entah kenapa, mendengar nama Runa saja membuat mood-nya jadi agak-agak bagaimana gitu. "Kalau Tata yang perlu, baru gue kepo."

"Yakin?" Agesa sekali lagi berusaha memancing Arga. "Runa kemarin malam diusir dari kosnya. Pemilik kos tempat dia tinggal ngasih keringanan sampai sore ini. Entah Runa bisa ngedapetin kos atau nggak hari ini, sore nanti, dia terpaksa harus pindahan."

Mendengar itu, Arga jadi tercenung. Tadi malam, ulangnya dalam hati. Berarti ... itu sewaktu Runa pulang selepas selesai bicara dengan Ayah dan Bunda? Karena sewaktu Runa datang ke rumahnya, cewek itu masih tampak baik-baik saja. Tidak seperti orang yang tengah dirundung masalah seperti yang Agesa jabarkan.

Apa ... yang terjadi dengan Runa?

Arga melirik Agesa dan mendapati sohibnya itu menatapnya lekat-lekat. "Kenapa lo ngasih tau gue? Gue bahkan nggak nanya dan nggak peduli."

"Lo tuh ya ...." Agesa menepuk dahi, frustrasi sendiri. "Nggak peka amat, sih. Gue tau koneksi lo banyak. Kenalan lo bejibun. Mulai dari adek kelas sampai alumni yang udah pada lulus. Coba lo kontak siapa aja yang lo rasa bisa bantu soal ini."

"Gue nggak ada waktu," tukas Arga cepat.

Agesa menghela napas. "Udah gue duga."

Bibir Arga mungkin berkata begitu, tetapi kalau boleh jujur, hatinya berlawanan arah.

***

Mendengar cerita Agesa, sedikit banyak Arga merasa sedikit cemas. Meski cuma sepotong, Arga bisa membayangkan kondisi Runa sekarang ini. Diusir dari kos-kosan dan cuma diberi waktu sampai sore hari ... apa lagi yang bisa lebih buruk dari itu?

Karena itulah sewaktu bel istirahat berdentang, diam-diam Arga keluar kelas dan menuju kelas sebelas IPA tiga. Langkahnya cepat dan lebar. Untungnya, jarak dari kelasnya menuju sebelas IPA tiga tidak terlalu jauh. Kurang dari tiga menit, Arga sudah sampai di depan pintu kelas yang terbuka.

Disisirnya keadaan di dalam. Lengang. Cuma ada beberapa siswa yang berada di kelas. Selebihnya, blas tidak ada. Dan, Tata termasuk kaum yang tidak ada di kelas.

Begitu pula Runa.

Arga menghela napas pendek. Kalau begini caranya, tidak ada cara lain. Cowok itu lantas merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Dicarinya kontak Tata dan dengan segera melakukan panggilan.

Percobaan pertama: gagal. Berdering, tapi tidak diangkat. Mungkin Tata sedang sibuk berebut gado-gado dan saling sikut dengan kerumunan antrean yang membludak di kantin sana.

Setelah mencoba untuk kedua kali, barulah panggilan tersebut terhubung.

"Halo?" sapa Arga lebih dahulu.

"Kenapa, Ga?" tanya Tata to the point, tidak terlalu mengindahkan sapaan basa-basi Arga.

"Lo lagi di mana sekarang?"

"Kenapa emangnya?"

"Gue mau nanya sesuatu."

Tata ber-oh. "Soal Runa?"

Wadadidaw! Arga menjauhkan ponsel dari telinga dan menatapnya kagum, seolah-olah Tata selaku lawan bicaranya sekarang ini bisa melihat ekspresi Arga tersebut.

Apa Tata ini semacam cenayang yang bisa membaca hati seseorang dari jarak jauh?

"Kok bisa tau?" tanya Arga, kepo.

"Iseng nebak aja sih." Bisa Arga bayangkan Tata tengah mengedikkan bahu sekarang ini. "Berarti Agesa ember ke lo, ya?"

"Gue yang nanya," sahut Arga. Nada suaranya menjadi serius ketika bertanya, "Berarti bener ya soal itu?"

"Sesuai sama apa yang lo denger dari Agesa."

"Runa diusir sepihak?"

Tata mengiakan dengan cepat.

Arga berpikir sejenak. "Runa perlu kos-kosan yang kayak gimana?" tanyanya.

"Yang affordable. Terjangkau dan kalau bisa sore ini udah bisa ditempati," Tata menjawab dengan cepat dan ringkas.

Arga mengaduh. "Berat itu. Minimal harusnya dari jauh hari udah prepare."

"Namanya juga diusir dadakan, Arga Sayang-ku. Kalau tau bakal kayak gini, Runa juga nggak bakalan kalang kabut." Terdengar Tata berdecak di ujung sana.

Benar juga.

"Lo di mana sekarang? Gue cari ke kelas nggak ada. Kantin?" tanya Arga lagi.

"Gue absen hari ini. Runa juga." Suara Tata mengalun dari ponsel Arga. "Ini kami lagi nyoba nyisir nyari kos-kosan atau kontrakan."

"Udah dapet?"

"Belum, Cinta-ku. Kebanyakan udah pada penuh." Embusan napas berat terdengar dari Tata. "Ada juga yang nggak layak huni. Runa iya-iya aja, awalnya. Gue ngomel, baru dia nurut buat nyari kos-kosan lain."

Arga tidak langsung menjawab. Hanya anggukan kepala yang dia lakukan tanda mengerti. Sembari itu, Arga juga memutar otak dan berkata, "Gue bantu."

"Eh? Apanya?"

"Nyari kos-kosan," ujar Arga mantap. "Runa penginnya kos khusus putri atau nggak apa-apa kalau nyampur? Rate berapa? Daerah mana?"

"Kenapa nggak lo tanya aja ke dia?" tanya Tata heran. "Kebetulan ini gue sama dia lagi mampir makan bentar. Runa lagi ke belakang. Bentar lagi paling dia balik. Lo ta—"

"Sama lo aja. Lebih cepat, lebih baik," potong Arga cepat. "Tell me detailnya."

"Bisa gitu coba kan?" Tata mendecak kecil. Hanya sebentar. Cewek itu lantas menjelaskan kos-kosan seperti apa yang diinginkan Runa.

Dari pemaparan Tata, Arga menangkap kalau Runa tidak masalah jika kos-kosannya campuran antara penghuni laki-laki dengan perempuan. Rate-nya disesuaikan dengan pendapatan Runa yang sekian jumlahnya. Soal di daerah mana, usahakan jangan terlalu jauh dengan NuGa.

"Okay, got it!" kata Arga setelah Tata selesai menjelaskan. "Nanti gue bantu cariin. Semoga hari ini bisa dapet."

"Thank you, Bro!"

"No problem." Arga mengangguk meski dia tahu Tata tidak bisa melihatnya. "Cuma ... jangan sampai Runa tau kalau gue juga bantu nyariin kos-kosan buat dia."

"Why?"

Kenapa?

Iya, memangnya kenapa kalau sampai Runa tahu? Arga jadi mempertanyakan dirinya sendiri. Namun, yang keluar dari bibirnya justru, "Ada lah pokoknya. Gue balik ke kelas dulu, ya? Ntar kalau ada kabar, gue kabari."

"Oke deh. Kalau gue udah dapet, nanti gue kabari juga."

Arga mengiakan, lantas memutus panggilan setelah mengucap salam. Cowok itu lantas berbalik dan bergegas menuju kelas. Hal pertama yang terpikirkan olehnya sekarang ini adalah tidak lain dan tidak bukan adalah mencari kawan sebangkunya, Agesa.

Pertama-tama, Arga harus mengonfirmasi pada Agesa dulu. Siapa tahu sohibnya itu sudah menemukan kos-kosan yang cocok untuk Runa.

Sesampainya di kelas, untungnya keinginan Arga bersambut. Agesa tengah santai membuka-buka materi mata pelajaran berikutnya.

"Gesa!" panggil Arga seraya berjalan mendekat.

"Hmm?" Agesa merespons tanpa mengalihkan pandangan dari buku di hadapannya.

"Udah dapet kos-kosan yang bagus buat Runa?"

Gerakan Agesa membalik halaman auto terhenti. Cowok itu juga menoleh dan menatap Arga dengan tatapan surprising. "Belum. Beberapa temen yang gue tau punya usaha kos-kosan bilang tempat mereka udah pada penuh. Sisanya belum ngerespons." Agesa menjelaskan. "Kenapa emangnya?"

"Udah tanya Ray?" kejar Arga.

"Ray?" ulang Agesa. Dahinya mengernyit. "Ray yang mana? Sebelas IPS satu?" terkanya.

Arga menjentikkan jari. "Nah, tuh tau. Iya, Ray yang itu. Sohibnya Ryubi."

Agesa ber-oh pelan. "Belum sih." Cowok itu mengusap dagu dan mengangguk-angguk. "Boleh juga. Nanti gue—bentar! Kok lo jadi bantuin gue nyari kos buat Runa?" Agesa menatap Arga dengan penuh selidik.

"Serba salah emang jadi gue." Arga manyun lima mili, mencomel. "Ngebantuin, ditanya kenapa. Nggak bantu, dibilang nggak peka."

"Gitu aja ngambek," seloroh Agesa.

"GUE NGGAK NGAMBEK, YA!" Arga tidak terima. "Kayaknya selain Ray, di kelas sebelas IPS satu masih ada yang punya usaha kos-kosan seingat gue."

"Oh ya?" Agesa menutup buku dan menyimpannya ke laci meja.

Arga mengangguk. "Bentar. Gue ingat-ingat dulu," cowok itu menjentikkan jari beberapa kali, tampak berpikir keras sebelum ber-aha ria. "Kapten kita juga punya kos-kosan, oey. Etdah gue bisa sampai lupa sama dia."

"Eh?" Agesa bengong. "Kapten?" ulangnya.

"Adrian. Siapa lagi?" Arga berujar riang. "Kebetulan satu kelas juga sama Ray. Yuk deh kita samperin kelas mereka."

"Be-bentar dulu!" Agesa menahan lengan Arga. Pipinya tampak sedikit memerah. Cowok itu kelihatan jadi kayak ... malu-malu kucing. "Lo samperin Adrian, gue nanya ke Ray. Oke?"

"Mencar-mencar gitu coba kan? Sekalian ajalah biar enak ngomongnya." Arga menggeleng-geleng.

"Ta-tapi ...."

"Napa sih, Ges? Kayak mau ketemu gebetan aja," tohok Arga. Cowok itu lantas menarik lengan Agesa dan mengajak sohibnya itu untuk segera cus mengikutinya. "Ayo! Ntar keburu bel masuk, lho."

***

Orang pertama yang Arga dan Agesa tanyai adalah Adrian, kapten basket SMA Nusa Garuda. Sayangnya, jawaban Adrian ketika Arga bertanya apakah ada kamar yang available di kos-kosan Adrian malah begini,

"Wah, sori, Ga. Kos bokap udah penuh. Sayangnya, nggak ada tanda-tanda salah satu penghuni bakalan pindah dalam waktu dekat," jawab Adrian

"Ah, gitu." Arga mengangguk-angguk.

"Kenapa, Bro? Lo mau nyoba hidup mandiri?" tanya Adrian seraya melipat kedua belah tangan di depan dada. Cowok itu lantas beralih menatap Agesa. "Atau, jangan-jangan malah Agesa yang pengin pindah ke kos-kosan?"

"Bu-bukan gue," Agesa menyahut cepat. Bukannya balas memandang Adrian, cowok itu malah membuang muka ke sembarang arah.

"Nggak. Ini buat ...." Ucapan Arga terputus. Lalu, "... temen. Dia pengin pindah kos-kosan."

Adrian ber-oh. "Gue kenal nggak sama dia?"

"Harusnya kenal, sih." Arga meringis. "Runa IPA tiga."

"Hoalah. Runa, ternyata." Adrian mengangguk-angguk. "Sayangnya, nggak ada kamar lagi, Ga. Andai aja ada, udah gue kasih ke Runa."

"Iya, Bro. Nggak apa-apa." Arga turut mengangguk, paham. Cowok itu lantas menyisir sekitar sebelum bertanya, "Ini Ray masih belum balik, ya?" tanya Arga.

"Bentar lagi kayaknya." Adrian mengarahkan tatapan ke arah luar pintu. "Nah, panjang umur! Tuh si Ray dateng sama Ryubi." Cowok itu memberi isyarat dagu kepada Arga.

Arga menoleh, mengikutu arah pandangan Adrian. Benar saja. Terlihat Ray bersama Ryubi sudah kembali ke kelas.

"Hoi, Ray!" panggil Arga. Tidak lupa lambaian tangan dia berikan kepada cowok itu.

"Wah, tumben mampir ke sini!" Ray balas menyapa. Bersama Ryubi yang berjalan di sebelahnya, Ray menghampiri Arga, Agesa, dan Adrian. "Kenapa, Ga?"

"Mau mastiin aja. Lo punya usaha kos-kosan kan?" tanya Arga cepat.

"Punya bokap sih lebih tepatnya. Kebetulan aja gue disuruh ngelola sama sekalian tinggal di sana."

"Campur kan?"

"Cowok cewek, maksudnya?" tanya Ray yang disambut anggukan singkat Arga. "Iya, campur kok. Kenapa? Lo mau nyewa kos-kosan? Boleh aja sih. Asal bukan buat maksiat aja, gaskeun."

"Sembarangan mulut lo!" salak Arga galak, yang mana langsung mengundang gelak kecil Agesa dan Adrian. "Gue perlu buat temen, nih. Ada kamar yang avail nggak?"

"Cewek apa cowok?"

"Cewek," Kali ini giliran Agesa yang menyahut. "Buat Runa IPA tiga. Tau kan?"

"Emang ada yang nggak tau sama dia?" Ray tertawa. Setelahnya, cowok itu beralih ke mode serius ketika berkata, "Sebenarnya kalau buat kamar cewek, udah penuh sih. Yang avail itu lantai satu buat para cowok."

Arga refleks berdecak.

"Sabar, sabar!" Adrian menepuk-nepuk bahu Arga.

"Gue sabar kok!" Mulutnya berkata begitu, tapi kenyataannya Arga manyun lima mili.

"Dengerin gue dulu," Ray mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat pada Arga untuk bersabar. "Kebetulan ada penghuni cewek yang mau pindah. Sekitar beberapa hari lagi. Kalau nggak salah inget, dua atau tiga hari lagi dia bakal pindahan. Nah, kalau mau, gue bisa oper itu ke Runa."

"Butuhnya hari ini, Ray." Agesa menjelaskan. "Kalau bisa, sore ini udah bisa ditempati sama Runa."

"Wah, kalau gitu sikonnya, susah sih." Ray menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Gue cuma bisa ngasih opsi yang kayak gue bilang barusan. Kalau Runa mau, gue bisa keep dulu buat dia."

Mendengar itu, Agesa menyikut Arga. "Gimana kira-kira?"

"Nggak tau, sih." Arga meringis.

"Ini Runa-nya mana? Lebih enak ngomong sama dia langsung kalau urusannya begini," kata Ray.

"Dia absen. Sama Tata lagi nyoba nyari kos-kosan katanya," sahut Arga.

Ray mengangguk-angguk takzim. "Gini aja, deh. Lo hubungi Runa. Bilangin aja kayak apa yang gue bilang barusan. Gue tunggu sampai penghuni kos gue pindahan. Kalau Runa mau, gue keep-in buat dia. Kalau nggak jadi, juga nggak apa-apa."

"Oke kalau gitu." Arga menatap Ray dan Adrian bergantian, lantas menggamit lengan Agesa. "Makasih dulu, Ray. Thanks juga, Adrian. Gue sama Agesa balik ke kelas dulu kalau gitu."

"No problem!" Ray melambaikan tangan.

"Jangan lupa hari ini latihan. Both of you, jam kayak biasa," seru Adrian ketika Arga dan Agesa sudah menginjakkan kaki keluar dari sebelas IPA satu.

Arga cuma mengacungkan jempol, dengan Agesa berjalan di sampingnya.

"Ges," panggil Arga sembari terus berjalan menuju kelas.

"Hmm?"

"Soal gue bantu nyariin kos-kosan ... jangan sampai ember ke Runa, ya?" []















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top