16. Terusir

IF WE START AGAIN
Bab 16: Terusir (Runa's POV)

***

Sesuai permintaan Om Ragiel dan Tante Leta melalui Arga, Runa tiba di kediaman cowok itu tepat setelah magrib.

Dengan perasaan tidak menentu, Runa menyetop motor di depan pagar yang tertutup rapat. Cewek itu celangak-celinguk, mencari keberadaan Kang Dudung. Sekilas pandang, dilihatnya Kang Dudung tengah santai di pos satpam. Sepertinya satpam tersebut tidak sadar dengan kehadiran Runa.

Barulah setelah Runa menekan klakson dua kali, Kang Dudung bereaksi. Bergegas menghampiri dan membukakan pagar begitu mendapati Runa yang datang.

"Lho? Bukannya hari ini bukan jadwal Mbak Runa ngajar Mas Arga, ya?" tanya Kang Dudung, agak heran. Tak lupa ditutupnya kembali pagar setelah Runa memasuki area halaman dalam.

"Nggak tau, Kang," sahut Runa seraya melepas helm. "Arga bilang, orangtuanya mau bicara sama saya."

"Oh, begitu." Kang Dudung mengangguk-angguk.

Runa mengiakan. Diparkirkannya motor di dekat posko satpam. "Titip ya, Kang."

"Masuk aja, Mbak, kayak biasa." Kang Dudung memberi isyarat agar Runa membawa motornya sampai ke depan beranda. Karena, jujur saja, jarak antara posko satpam sampai beranda itu agak jauh.

Niat Runa awalnya memang begitu, tapi entah kenapa rasanya kikuk. Terlebih Arga, putra dari pemilik rumah ini, seolah telah mengibarkan bendera perang kepadanya. Membuat Runa merasakan ada dinding tak kasatmata yang tidak hanya memisahkannya dari Arga semata, tapi juga segala hal yang berhubungan dengan cowok itu.

Runa menghela napas pendek. "Nggak apa-apa, Kang. Saya taruh di sini aja," kata Runa lagi.

Dengan tenang, Runa mulai melangkah. Rasa ngilu dan nyeri kembali dia rasakan dari kedua belah kakinya. Pasti pertanda kalau keseleonya belum sembuh benar. Beberapa kali Runa meringis dibuatnya, tapi tidak sesakit sebelum-sebelum ini.

"Mbak Runa kenapa?" Kang Dudung bergegas menghampiri Runa begitu melihat cewek itu berjalan seperti terseok-seok.

"Cuma keseleo, Kang." Runa menyengir, tidak ingin merespons lebih jauh. "Saya masuk dulu," katanya lagi.

Dengan langkah ditegar-tegarkan, Runa berjalan menuju beranda dan tiba di depan pintu. Ditekannya bel dua kali. Kurang dari semenit, pintu terbuka dan memperlihatkan tuan rumah.

Arga.

"Hai," sapa Runa dengan senyum kikuk.

"Langsung aja. Ayah sama Bunda udah nunggu," sela Arga cepat. Cowok itu cuma membukakan pintu lebih lebar dan masuk duluan.

Sekali lagi, Runa menghela napas. Kali ini lebih panjang. Seraya memperbaiki posisi tas yang tersampiri di bahu kanan, Runa masuk setelah mengucapkan salam sekadarnya.

Surprisingly, seseorang menjawab salamnya. Itu adalah Tante Leta yang duduk di salah satu sofa ruang tamu. Di kursi lain, Om Ragiel duduk dengan badan tegak. Sementara, Arga berdiri di dekat bundanya.

Runa mengangguk sopan kepada kedua orangtua Arga. "Malam, Om, Tante."

"Malam juga, Runa." Tante Leta tersenyum. "Duduk dulu," kata Tante Leta lagi.

Runa mengangguk, duduk di salah satu sofa. Berhadapan langsung dengan Tante Leta dan Om Ragiel, mengingat bahwa keduanya ingin membicarakan sesuatu. Itu sih kalau dari yang Arga bilang kepadanya.

Runa memperbaiki posisi duduk, memosisikan diri senyaman mungkin. Cewek itu mengangkat wajah dan mendapati Tante Leta seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi keburu disela putra semata wayangnya.

"Arga ke kamar dulu," ujar Arga. Cowok itu tampak siap balik kanan dan naik ke lantai dua.

"Argario Andana!" Om Ragiel mendesis tak suka.

Desisan itu bahkan membuat Runa merinding seketika.

"Sudahlah," Tante Leta buru-buru menengahi. Tatapannya beralih kepada Arga. "Kamu naik dulu. Setelah ini Bunda mau bicara. Jangan tidur atau sengaja ngunci pintu kamar. Paham?"

Arga tidak menyahut. Cowok itu cuma mengangkat bahu dan berlalu dengan cepat. Naik ke lantai dua dan menghilang dari pandangan setiap orang yang menatap punggungnya.

"Silakan minum dulu, Runa." Giliran Om Ragiel yang bicara. Dibanding sebelumnya, nada bicaranya sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat. Kebapakan dan gentle.

Runa mengangguk canggung. "Terima kasih, Om." Namun, dia masih belum terlalu haus.

Untuk beberapa saat, hening sejenak.

Bisa Runa lihat Om Ragiel dan Tante Leta saling pandang. Seolah keduanya saling bertukar kata lewat mata. Beberapa saat berlalu, keduanya sama-sama mengangguk kecil dan kembali menatap Runa.

"Runa?" panggil Tante Leta

"Ya?"

Ada jeda sebelum Tante Leta berkata, "Mungkin kamu udah dengar langsung dari Arga ...." Ucapannya terpenggal. Lalu, "... begini, Sayang. Sebelumnya, Om sama Tante ingin ngucapin terima kasih yang sebesar-besarnya. Berkat kamu, nilai Arga jadi jauh lebih baik. Kamu pun pasti udah bekerja keras untuk itu.

"Karena itu, mungkin sudah saatnya buat Arga untuk mencoba mandiri."

Runa mengerjap, sesaat blank. Kosong. Tidak bisa berpikir dengan baik. Barulah setelah berhasil mengontrol diri, dia kembali sadar.

Kalimat itu, pikirnya, menyiratkan satu hal.

"Maksud Tante, saya diberhentikan?" tembak Runa, to the point.

Tante Leta agak sedikit tersentak, begitu juga Om Ragiel. Mungkin karena keduanya tidak menyangka kalau Runa akan blak-blakan seperti itu. Namun, kendati demikian, anggukan Tante Leta berikan sebagai pembenaran.

Hanya dengan satu anggukan itu saja sudah membuat Runa seperti disambar petir. Ditambah petir menyambar bangunan di atas Runa dan bongkahannya jatuh menimpanya.

Kenapa ... hal seperti ini terjadi bertubi-tubi?

"Apa saya ngelakuin kesalahan, Tan, Om?" Runa tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Nggak. Sama sekali nggak, Runa. Ini cuma—" Lagi-lagi, kalimat Tante Leta terpotong. Dari sorot matanya, dia tengah mencoba mencari kata yang pas.

"Ini permintaan pribadi Arga," Om Ragiel menimpali, tidak peduli meski Tante Leta memukul lengannya dan seperti ingin menyuruh Om Ragiel untuk diam. "Kami juga nggak tahu kenapa, tapi Arga ingin seperti itu. Katanya dia udah bisa nge-handle nilainya sendiri."

Andai dia menderita asma, bisa Runa pastikan dia sudah megap-megap sekarang ini. Napasnya tersekat, tidak tahu harus menjawab apa. Ditatapnya Om Ragiel dan Tante Leta bergantian. Jelas sekali bahwa orangtua Arga itu memasang ekspresi bersalah dan tidak enak hati. Tidak perlu jadi ahli mimik buat bisa menyadarinya.

Yang artinya, diberhentikannya Runa memang atas dasar permintaan Arga pribadi.

Tanpa sadar, mata Runa jadi basah. Sudutnya menghangat meski tidak ada air mata yang menitik.

Lebih tepatnya, belum menetes. Entah sampai kapan Runa bisa menahannya. Namun, yang jelas, perasaan Runa sudah campur aduk sekarang ini. Antara kecewa, sedih, dan marah. Runa bahkan tidak tahu harus bereaksi apa dan bagaimana.

"Runa ...," panggil Tante Leta lagi.

Runa mengangkat wajah. Cewek itu menguatkan hati, mencoba tersenyum meski rasanya aneh sekali. "Saya mengerti. Terima kasih banyak buat kesempatannya, Om, Tante," ujar Runa seraya mengangguk sopan.

Dari raut Om Ragiel dan Tante Leta, ada banyak hal yang sepertinya ingin keduanya katakan. Namun, melihat Runa yang sudah melempar sinyal untuk mengakhiri pembicaraan, keduanya sama-sama urung.

Sejenak, Om Ragiel dan Tante Leta kembali saling pandang. Hanya sebentar. Tidak perlu memakan waktu lama, Tante Leta mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat dan menyodorkannya di meja.

"Ini gaji kamu bulan ini, Runa Sayang," kata Tante Leta. Suaranya selembut kapas saat menyerahkan amplop itu kepada Runa.

Runa tidak ingin berjaim-jaim ria, jadi diterimanya amplop tersebut dan menyelipkannya ke tas. "Terima kasih, Tante." Cewek itu mengangguk. "Runa permisi dulu kalau begitu."

Diantarkan Tante Leta, Runa berjalan keluar menuju beranda. Sekali lagi, diucapkannya terima kasih. Dengan langkah berat, Runa menghampiri motor yang teronggok di dekat posko satpam.

"Mbak Runa!" Kang Dudung menyapanya begitu Runa bersiap memasang helm dan menyalakan motor. "Lho? Mbak Runa kenapa?" Kang Dudung tiba-tiba bertanya dengan nada khawatir.

Bagaimana tidak? Tidak ada angin, tidak ada hujan, Runa berurai air mata.

Namun, Runa tidak menjawab. Cukup dia telan kekecewaan itu dalam hati. Imbasnya; air matanya merembes, seiring pertahanan yang runtuh seketika.

***

Karena menangis sepanjang perjalanan kembali ke kos-kosan, Runa mengalami sakit kepala luar biasa. Rasanya nyut-nyutan. Runa bahkan sempat oleng beberapa kali di tengah jalan. Untungnya, masih bisa dia kendalikan. Kalau tidak ingat diri, mungkin Runa sudah tinggal nyawa dilindas mobil yang lalu-lalang.

Begitu menyetop motor di halaman kos, Runa dengan cepat melepas helm dan mengusap wajah. Dilapnya air mata yang tersisa beserta jejaknya. Dikuatkannya hati. Setelah dirasa cukup tenang, Runa melangkah pelan memasuki kos-kosan.

Hanya satu hal yang Runa pikirkan sekarang ini: dia ingin istirahat.

Namun, siapa sangka niat sederhana itu tak semulus kedengarannya. Di saat Runa ingin membuka pintu kamar, dari dalam, seseorang mendahului. Runa terbeliak melihat siapa itu.

Ibu Kos.

Kalau cuma Ibu Kos sih Runa mungkin hanya akan terkejut. Masalahnya adalah Ibu Kos tidak sendiri. Di belakang Ibu Kos, seorang cewek cantik mengekor. Wajahnya tampak semringah, seolah puas akan sesuatu.

"Jadi, begitu ya Mbak." Ibu Kos berbicara kepada cewek tersebut dan sepenuhnya mengabaikan kehadiran Runa.

"Beneran nggak apa-apa, Bu?" Cewek yang berdiri di sisinya itu bertanya. Sesekali dia melirik Runa. Ekspresinya tampak sedikit tidak enak hati.

"Ah, nggak masalah. Udah risiko dia itu."

Risiko? Runa tidak bisa untuk tidak memelotot kaget.

Apa maksudnya?

"Bu, ini ada apa?" Runa buru-buru bertanya, khawatir.

Ibu Kos cuma meliriknya sekilas, lalu setelah itu blas. Tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan lirikan tadi bisa dikatakan sebuah delikan alih-alih melirik.

Bukannya merespons Runa, Ibu Kos malah berbincang ria dengan cewek di sebelahnya. "Mari, Nak! Ibu antarkan sampai depan."

Setelahnya, baik Ibu Kos maupun cewek yang bersamanya berlalu. Meninggalkan Runa yang mulai mendapat perasaan aneh.

Buru-buru Runa memasuki kamar. Semua tampak baik-baik saja. Tidak ada yang berpindah tempat sama sekali. Namun, tetap saja. Seperti ada hawa yang tidak mengenakkan.

Di tengah-tengah menyisir keadaan sekitar, pintu kamarnya diketuk. Ibu Kos, rupanya.

"Bu?" Runa menoleh dan berinisiatif mendekat.

"Malam ini, kamu kemasi barang-barangmu," Tanpa tedeng aling-aling, Ibu Kos bersabda. Suaranya sedingin es. Tatapannya setajam pisau yang baru diasah. Ditambah ekspresi angkuh, dia menambahkan, "Besok kamu angkat kaki dari sini, Runa." []

AUTHOR'S NOTE:

Udah berapa purnama aku nggak update ini? Ahahaha.

Semoga enjoy ya.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top