15. Stop

IF WE START AGAIN
Bab 15: Stop (Runa's POV)

***

"BEIB! LO KENAPA!?"

Pagi-pagi, saat Runa masuk ke kelas, Tata menyambutnya dengan jerit tertahan. Bukan tanpa alasan Tata sampai bereaksi seperti itu. Runa lecet sana-sini. Di dahinya, terdapat plester luka. Sementara itu, di beberapa bagian wajah, luka akibat gesekan terpampang. Belum lagi jalannya Runa tertatih-tatih.

Runa meringis. "Gue nggak apa-apa, Ta. Woles," katanya, berusaha meyakinkan.

"NGGAK APA-APA GIMANA!?" Tata sukses meledak, membuat beberapa siswa di kelas yang semula anteng jadi menatap mereka. "SIAPA YANG NGELAKUIN INI KE LO?"

"Cuma jatuh, Beib!"

"BOHONG!"

Astaga naga bonar jadi lima! Runa menggaruk kepala yang tiba-tiba saja terasa seperti sarang kutu. Gatal.

"Beneran!" Sekali lagi, Runa meyakinkan. Melihat Tata yang masih tidak percaya, Runa mencari cara lain. Begitu melihat seorang cowok masuk ke kelas, dia dengan segera menahannya. "Nah, ini dia! Luga, sini dulu, deh."

Yang dipanggil Luga menoleh dan menghampiri Runa. Ada jeda ketika cowok itu meneliti Runa dan ujung rambut sampai ujung sepatu dengan tatapan prihatin. "Gimana luka-luka lo, Na? Udah mendingan, belum? Kebetulan gue mampir ke apotek barusan. Nih, buat lo!" cerocosnya panjang lebar. Sebelah tangan Luga menyerahkan seplastik berisi obat-obatan.

"Lho? Eh?" Runa menerima plastik tersebut dengan suka cita. "Aih, makasih, Ga. Udah mendingan, kok. Thank you buat yang kemarin. Nah, sekalian deh. Ga, kemarin lo liat sendiri kan gue jatuh dari motor pas keluar dari area parkir?" tanyanya seraya memberi isyarat ke arah Tata.

Luga mengangguk, paham dengan maksud Runa. Tatapannya beralih kepada Tata. "Gue sama anak-anak PMR kaget banget waktu itu. Runa oleng. Demamnya lumayan tinggi. Kami langsung bawa ke UKS buat dirawat sampai kondisinya better."

"Nah, 'kan? KAN!?" Bukannya diam dan mengerti, Tata malah makin menjadi-jadi amarahnya. "Makanya kemarin gue bilang, apa nggak apa-apa pulang sendiri. Lo bilangnya nggak ada masalah. Ternyata, justru kebalikannya." Cewek itu mendecak. Cemberut. Bete setengah mati.

Sekali lagi, Runa meringis. Sebelum dia merespons ucapan Tata, diberinya Luga kode halus agar menjauh. Cowok itu tidak perlu terlibat. Untungnya, yang diberi kode paham. Segera saja, Luga berbalik dan menuju kursinya. Itu pun cuma untuk menaruh tas. Terbirit-birit, cowok itu keluar kelas.

"WOI, NALUGA! MAU KE MANA LO!?" Tata tidak terima.

"Ta, udahlah." Runa menenangkan. "Dia nggak ada sangkut pautnya. Ini pure keteledoran gue."

Meskipun sudah diyakinkan berulang-ulang, Tata masih tampak kesal. Wajahnya tertekuk. Kendati demikian, diulurkannya tangan. Membantu Runa melangkah ke kursi mereka dan duduk dengan anteng.

Setelah dilihatnya Runa memperbaiki posisi duduk, barulah Tata bersuara, "Ini nih yang gue nggak suka dari lo, Na." Cewek itu bersedekap. Bibirnya yang dipulas liptint tipis-tipis mencebik. "Lo selalu aja bilang lo nggak apa-apa. Aslinya, lo emang apa-apa."

"Ambigu banget, Sis." Runa menceletuk.

"DIYAM!"

Runa langsung mingkem. Tata yang naik darah memang menyeramkan. Dari kelinci baik hati dan imut menjadi singa yang mengaum memenuhi hutan belantara. Alias, ngeri.

"Gue nggak apa-apa, Ta. Beneran, deh." Runa menepuk bahu Tata lembut, membujuk. "Udah, dong! Jangan masang muka kayak gitu. Jelek, tau." Runa mencoba bercanda.

"So? Gue nggak boleh jelek gitu?" Tata mendelik.

"Nggak gitu."

Tata mengembuskan napas. Ekspresinya jadi lebih lunak. Ditatapnya Runa lurus. Sebelah tangannya terangkat, menyentuh jidat Runa dengan punggung tangan. "Much better?"

Runa mengulum senyum seraya mengangguk. "Much better."

"Syukurlah." Tata memeluk Runa singkat. "Harusnya lo telepon gue waktu itu."

"Jatuh doang. Lagian, ada anak-anak PMR. Ditambah, gue khawatir ngeganggu lo sama Joe." Runa terkekeh.

"Joe bakal ngerti, kok."

"Lo yang bakal ngerti, Beib," kata Runa, diiringi senyum canggung yang kikuk.

Sementara, Tata hanya bisa meringis. Hanya sebentar. Setelahnya, cewek itu berdeham dan memutuskan mengalihkan pembicaraan, "By the way, Beib, kalau lo masih nggak enak badan, mending lo istirahat ngajar dulu, deh." Raut cemas tercetak jelas di wajah Tata.

Bagi Tata, Runa itu terlalu over dalam bekerja. Sudahlah menghabiskan sebagian besar waktu di sekolah, masih harus mengajar pula. Kadang, sampai lupa makan. Jangan tanya dari mana Tata bisa tahu. Dia saksi hidup Runa sampai drop dan pingsan. Setelah diperiksa, ternyata Runa mag dan dinyatakan kurang beristirahat. Terlalu memforsir diri.

Terkadang, Tata khawatir dengan kesehatan sohibnya itu. Malahan, kalau dilihat-lihat, akhir-akhir ini Runa jadi kelihatan kurusan-dalam arti yang kurang baik.

Mendengar saran dari Tata, Runa terdiam. Beberapa saat kemudian, barulah dia merespons. Itu pun sempat diawali helaan napas kecil beserta senyum kecil, "Masalahnya ...."

"Nggak ngajar, nggak makan," tembak Tata. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Dia tahu benar kondisi ekonomi Runa dan cara sahabatnya itu mengatasi hal itu.

Runa hanya tersenyum. Mengajar. Begitulah caranya untuk bertahan di tanah perantauan ini.

Siapa sangka, pada akhirnya, Runa bertemu juga dengan yang namanya titik surut dalam pekerjaan.

"Kita ngomong lagi nanti." Tata menyadarkan Runa dari lamunan. Cewek itu memberi isyarat kepada guru mapel pertama yang sudah memasuki kelas.

Ya, Runa memang tersadar. Namun, tidak ada jaminan dia tidak akan larut dalam lamunan lagi sepanjang pelajaran hari ini.

***

Bisa dibilang, Runa sedang berada di titik surut dalam hidupnya.

Kemarin, pada hari Senin, Runa mendapatkan beberapa telelon. Dari para orang tua anak didiknya. Intinya, mereka meminta agar Runa break dulu. Tidak perlu mengajar sampai waktu yang tidak ditentukan.

Runa tentu saja kaget. Banget, malahan. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Meskipun para orang tua tersebut rata-rata menelepon dengan sopan, tapi tetap saja. Rasanya seperti petir berulang kali menyambar Runa sampai gosong. Tidak cukup kalau hanya sekadar langit runtuh dan menimpa kepalanya hingga benjol.

Ketika ditanya Runa kenapa para orang tua tersebut memintanya break, mereka hanya bilang agar Runa menyelesaikan dulu masalah yang dia hadapi. Jika sudah benar-benar clear, barulah kemungkinan Runa akan diminta mengajar anak mereka lagi.

Awalnya, Runa bersikeras. Berkata dia tidak memiliki masalah apa pun. Namun, para orang tua tetaplah mereka yang sudah cukup mengecap asam asin kehidupan. Mereka tidak bisa dibohongi. Mereka menambahkan, tidak sulit menerka kondisi Runa sekarang ini. Runa jadi tidak fokus. Kinerjanya menurun, dan sering melamun. Para anak bahkan mengeluhkan hal serupa.

Hal itu membuat Runa tertusuk kuat, sebelum pada detik berikutnya dia tertegun.

Yah, Runa tidak bisa memungkiri kalau dia memang memiliki masalah sekarang ini. Hidupnya seperti sedang kacau balau. Dia stres. Sudahlah masalah ekonomi yang membuatnya pusing, ditambah soal jabatannya sebagai ketos baru NuGa yang menuai banyak nyinyiran. Runa hampir-hampir berteriak saking frustrasinya.

Karena itulah, saat Tata pagi tadi mengungkit soal mengajar, Runa jadi kepikiran lagi.

Sekarang sudah jam istirahat kedua. Namun, Runa bahkan tidak sempat berpikir membeli apa pun untuk mengganjal sudut lambung yang kosong.

***

Bel pulang berdentang juga akhirnya.

"Beib, bareng yuk." Tata menarik ujung lengan Runa. "Ini perintah, bukan permintaan." Cewek itu lantas memasang ekspresi-sok-super duper serius.

Runa yang tengah membereskan alat tulis tertawa. "Terus motor gue di kemanain?"

"Ya, ditinggal ajalah. Ada satpam, kok. Pasti aman." Tata bersikukuh.

Runa tersenyum simpul. "Gue nggak apa-apa, Say. Don't worry. Janji, deh, bakal pulang dengan selamat sehat sentoso."

"Sentosa, Sayang."

"Itulah pokoknya." Runa menyengir.

Tata mengembuskan napas, sudah kehabisan akal. "Lo tuh emang keras kepala, ya, Na?" Tata menggeleng-geleng.

"Janji, nih. Beneran, deh." Runa mengangkat kelingking.

"Apaan kelingking? Gue maunya sesuatu yang lebih dari sekadar kelingking. Dikira kita masih TK." Tata manyun.

"Iya, iya." Runa paham dengan maksud sobatnya itu. "Begitu udah sampai, nanti gue kabari, deh. Ya?"

Tata bergeming. Raut wajahnya masih ragu. Jelas sekali dia mempertanyakan janji.

"Oh, c'mon." Runa memikirkan cara lain. "Video call. Gimana?"

"Oke, deal." Tata mengangguk. Sebelah tangannya menenteng tas. "At least, kita ke parkiran bareng, yuk."

Runa mengangkat alis. "Yakin lo?" Ditunjuknya pintu kelas dengan dagu. "Itu mau dianggurin emangnya?"

Tata refleks menoleh, mendapati Joe, kekasihnya, sudah menunggu di ambang pintu kelas.

"Aduh!" Tata menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

"That's okay. Sana, gih." Runa dengan lembut mendorong bahu Tata menjauh.

Baru Tata ingin bicara, lengannya sudah digandeng Joe dari belakang. Cewek itu menoleh dan mendapati pacarnya itu menaikkan alis sebelum menarik Tata pergi.

"Joe Alfa Ramadan! Aku bisa jalan sendiri!" keluh Tata.

"Siapa yang bilang nggak?"

"DIH!" Tata lantas melambaikan sebelah tangannya yang tidak dijajah Joe ke arah Runa. "Ingat, Beib! Video call, lho, ya!" Setelahnya, Tata sudah menghilang ketika Joe menariknya keluar kelas.

Runa menggeleng-geleng, sudah mafhum dengan kelakuan dua sejoli itu. Cewek itu menghela napas. Diliriknya sekitar. Kelas sudah kosong. Hanya dia yang tersisa. Buru-buru, Runa berbenah dan keluar dari kelas dengan agak tertatih.

Setiap kali melangkah, kaki Runa rasanya sakit. Ngilu. Maka dari itu, sepanjang berjalan, dia meringis. Mungkin keseleo. Runa tidak tahu pasti, sih. Dia sempat berpikir untuk pergi ke tukang urut, tapi, lagi-lagi uang menjadi kendala.

Runa hanya berharap dalam satu atau dua hari, kakinya sudah sembuh. Begitu juga luka-lukanya.

Untungnya, sebelas IPA tiga termasuk dalam jajaran kelas di lantai bawah. Tidak seperti beberapa kelas sebelas yang berada di lantai atas. Kalau tidak, Runa sudah modyar di tempat. Perih, bo, kakinya!

"Runa?"

Seseorang memanggil. Dari suaranya, itu cowok. Berpapasan Runa dari arah depan.

Benar saja, dong. Begitu Runa mengangkat wajah, di hadapannya, berdiri dua cowok yang namanya sering kali disebut-sebut di kalangan cewek NuGa.

Agesa Nadrawinata dan ... Argario Andana.

Allahu! Runa menjerit dalam hati. Agesa, sih, tidak masalah. Namun, Arga? Jujur, Runa masih canggung berat bertatap muka dengan cowok itu. Terlebih, pasca cowok itu memblokir nomornya, itu seperti warning jelas buat Runa agar menjaga jarak dari Arga.

Iya, Runa sadar kok kalau Arga memblokir WA-nya. Runa tidak selugu itu kalau sampai tidak ngeh.

"Hei! Runa?" sapa Agesa lagi.

Runa tersadar dari lamunan. Cewek itu mengerjap beberapa kali. "Eh? Iya?"

"Lo ngelamun?" tanya Agesa. Cowok itu meneliti Runa dari ujung kepala sampai ujung sepatu. "Lo nggak apa-apa? Tadi gue sempat liat lo jalannya nyeret-nyeret. Kaki lo sakit?"

Runa ber-oh, tersenyum, lalu menggeleng. "Gue nggak apa-apa, kok. Kemarin cuma jatuh. Mungkin keseleo aja."

"Mau gue sama Arga bantu?" tawar Agesa.

Agesa adalah salah satu cowok yang Runa kenal baik. Dari rumor yang beredar, cowok itu sebenarnya salah satu most wanted yang sulit didekati para cewek. Sikapnya cenderung dingin. Hanya kepada teman sekelasnya dan beberapa orang saja dia menunjukkan sisi hangat. Salah satunya, ya, kepada Runa.

"Nggak usah, Ges. Gue bisa jalan sendiri." Runa meyakinkan.

Agesa tampak berpikir. Sementara, Arga yang berdiri di sebelahnya terlihat tidak acuh. Cowok itu sibuk dengan ponsel di tangan. Bahkan, sebenarnya, dari tadi dia tidak melirik Runa sama sekali.

"Call me kalau ada apa-apa, ya." Agesa tersenyum tipis.

Runa mengangguk, berterima kasih.

"Kalau gitu, gue sama Arga cabut dulu." Agesa merangkul bahu Arga dengan sebelah lengan dan mengajak Arga pergi.

Runa hampir mengangguk lagi sebelum urung. Tepat saat dilihatnya Arga berhenti tepat di depan Runa. Cowok itu sampai menyuruh Agesa duluan, membuat yang disuruh bingung.

"Gue perlu ngomong sama Runa." Arga menjelaskan ketika Agesa bertanya ada apa.

"Dari tadi kek." Agesa mengeluh. "Ya udahlah. Ditunggu di ruang basket." Setelahnya, cowok itu berlalu.

Meninggalkan hanya Runa dan Arga berdua saja.

Buat Runa, situasi ini canggung. Banget. Karena, tidak ada satu pun di antara mereka yang kunjung bicara. Sementara, Runa sudah tidak kuat lagi berdiri terlalu lama.

"Ga?" Runa berinisiatif memantik obrolan. "Mau ngomongin apa?"

Arga menoleh, menatap Runa lurus-lurus. Ekspresi cowok itu kaku. Bibirnya membentuk garis lurus. Pandangannya tajam. "Malam ini lo sibuk?"

Ada angin apa sampai Arga bertanya seperti itu? Runa refleks bertanya dalam hati. Namun, kendati demikian, gelengan dia berikan.

"Bagus kalau gitu." Arga mengangkat dagunya sedikit. "Bunda sama Ayah mau ngomong sama lo. Habis magrib. Jangan sampai telat."

Dan, sudah. Setelah mengatakan itu, Arga berlalu begitu saja.

Sukses membuat Runa cengo di tempat.

Ya Allah! Runa mendesah dalam hati. Apa lagi ini? []



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top