14. Negoisasi
IF WE START AGAIN
Bab 14: Negoisasi (Arga's POV)
***
"Bunda, Ayah," panggil Arga. Mereka baru saja selesai makan malam dan tengah menikmati dessert dingin yang disiapkan Bunda. "Arga mau bicara sesuatu."
Ayah dan Bunda saling pandang untuk sejenak.
"Kayaknya serius banget," celetuk Bunda. "Ada apa, Sayang?" tanya Bunda dengan nada lembut.
"Arga pengin berhenti les sama Runa."
Tercetus juga keinginan itu. Keinginan yang sudah dipikirkan Arga sejak les terakhirnya dengan Runa pada hari Minggu yang lalu.
Dilihatnya baik Bunda maupun Ayah sama-sama terkejut. Bunda bahkan sampai membeliak. Ayah, meskipun tidak menunjukkan ekspresi kaget sekental Bunda, tetap saja terlihat syok. Diamnya jelas menunjukkan kalau dia tidak menyangka Arga akan mengatakan hal barusan.
"Kamu berantem dengan Runa?" tanya Ayah. Ayah bahkan sampai melepas sendok dan garpu di tangan, meletakkannya ke meja. Gestur yang menunjukkan kalau dia serius bertanya.
Arga terdiam. Bertengkar, jelas tidak. Itu juga tidak bisa dijadikan alasan meskipun sempat terbesit ide tersebut.
"Kenapa tiba-tiba banget, Sayang?" Giliran Bunda yang bertanya. "Kamu ada masalah dengan Runa?"
Masalah ... mungkin itu kata yang pas. Atau, lebih tepatnya, Arga bermasalah secara sepihak. Oh, tentu saja. Dalam sudut pandangnya, harga diri Arga terluka berat. Luka yang membuat Arga menjadi tidak suka dengan Runa.
Bahkan, sekarang ini, Arga sudah pada titik di mana dia geuleuh jika berpapasan atau melihat wajah Runa. Arga bahkan sampai memblokir semua media sosial Runa agar tidak perlu melihat hal apa pun tentang cewek itu.
Pada intinya adalah Arga masih tidak terima dengan keputusan sekolah mengangkat Runa menjadi ketua OSIS kedua.
Jika saja si Runa itu mengikuti seleksi dan terangkut dalam tahap pemilihan, Arga mungkin masih bisa menerima. Namun, ini? Tidak ada angin, tidak ada hujan. Arga benci dengan yang namanya penganakemasan. Iya, dia paham kalau Runa itu cerdas banget dan merupakan siswa kesayangan para guru.
Namun, sampai harus menjamah kawasan OSIS dan jajaran? Oke, itu sudah tidak bisa ditolelir.
Ditambah, sampai sekarang, Miss Mala tidak kunjung memanggil atau apa lah. Entah itu memberi arahan, penjelasan, atau apa kek. Namun, tidak. Miss Mala bahkan tampak sangat santai ketika bertemu dengan Arga beberapa kali. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Si Runa itu, desis Arga. Rasanya, rasa tidak suka dalam dada Arga menjadi lebih berkobar.
Perlahan, Arga mengangguk. Memberi respons pada pertanyaan Bunda.
"Masalah apa?" Ayah yang bertanya. "Arga, kamu udah besar. Oke? Kamu dan Runa sebaya. Kalau kalian ada masalah, harusnya kalian bisa nyari jalan keluar. Bukannya tiba-tiba berhenti kayak gini."
Arga menunduk. Tangannya meremas celana pendek di atas lutus yang dia kenakan.
"Arga Sayang," panggil Bunda.
Arga mengangkat wajah, menyuguhkan ekspresi nelangsa. "Bundaaa," rengeknya.
Bunda mengernyit. "Ayah bener. Kenapa tiba-tiba begini?"
Haruskah Arga mengatakan, "no reason" sebagai jawaban? Oke, lupakan. Bisa-bisa Ayah melemparnya dengan ulekan sampai benjol.
"Aega cuma ...." Duh, alasan apa yang kira-kira bagus dan membuat Ayah maupun Bunda teryakinkan? Jujur, Arga tidak punya ide. " ... bosan."
What the heck, Arga! Seriously? Cowok itu tidak bisa untuk tidak menghujat dirinya sendiri.
"Bosan?" Nada bicara Ayah terdengar tidak suka. "Bosan, kamu bilang?" Suara Ayah naik satu oktaf.
"Udahlah." Bunda menenangkan Ayah yang sudah siap memelotot.
Arga menggigit bibir. Dia sedikit menyesal, tapi ya sudahlah. Sudah kepalang. Telanjur. Jika Ayah meledak kali ini, Arga siap menerima konsekuensi.
"Arga," panggil Bunda lagi.
Arga mengangkat wajah, mendapati Bunda sudah menatapnya lekat-lekat. Tepat di iris mata. Tatapan itu rasa sanggup menggelitik jantung Arga hingga titik terdalam.
"Bunda tahu kamu ada alasan yang lebih serius ketimbang cuma bosan." Bunda berubah dari mode kalem menjadi serius. "Ada apa, Nak? Apa perlu Bunda panggil Runa ke sini sekarang?"
Refleks saja Arga langsung menjerit tertahan, "Jangan!"
"Exactly!" Ayah menjentikkan jari begitu melihat reaksi Arga. "Mereka lagi berantem," kata Ayah lagi, kali ini kepada Bunda.
Duh, dasar sotoy! Arga bersuara dalam hati. Tentu saja Arga cuma berani dalam hati. Kalau sampai nekat menyuarakan kata-kata itu pada Ayah, bisa tamat riwayat Arga. Alamat dicoret dari kartu keluarga.
Berbeda dengan Ayah, reaksi Bunda justru membuat Arga terdiam. "Bunda nggak tahu duduk perkaranya gimana. Namun, yang jelas, Arga, les dengan Runa jelas banget membantu nilai-nilai kamu."
Ada jeda yang cukup lama. Arga diam. Begitu pula dengan Ayah dan Bunda.
Memang, sih. Arga juga mengakui kalau belajar dengan Runa jelas membuat nilai-nilainya lebih baik. Bahkan, Oma pun dibuat puas dengan hasilnya. Tidak ada lagi sindiran atau kata-kata sinis dari neneknya itu.
Namun, masalahnya, suasana hati Arga sekarang ini berada di tahap mudah awut-awutan jika mendengar atau melihat sesuatu yang berhubungan dengan Runa. Kalau sudah begini, Arga bisa membayangkan, cepat atau lambat belajar dengan Runa akan berujung sama dengan sebelum-sebelumnya.
Tidak membantu sama sekali.
Karena, bagaimana ya? Pada dasarnya, ketika Arga tidak menyukai seorang guru atau pengajar, otomatis dia juga tidak akan menyukai pelajaran yang dibawakan.
Selalu seperti itu siklusnya.
Jadi, ya, lebih baik berhenti sekarang. Setidaknya, begitu menurut Arga.
Namun, jujur saja, Arga tidak punya keberanian sebesar itu untuk blak-blakan pada Ayah ataupun Bunda.
Dengan bismilah, Arga mencoba meyakinkan, "Ayah sama Bunda tenang aja. Dengan atau tanpa Runa, nilai Arga pasti bakal baik-baik aja. Arga janji kali ini."
Sekali lagi, Ayah dan Bunda saling pandang.
"Jujur aja, Ayah nggak yakin." Ayah bersuara. Kedua belah tangannya bersedekap di depan dada.
Sontak, Arga merengut.
"Bunda juga," kata Bunda menimpali.
"Bundaaa?" Arga merengek, setengah tidak percaya.
"Karena, gimana ya, sejujurnya Bunda udah capek dengan janji-janji manis kamu." Bunda jujur apa adanya. "Poinnya, dengan Runa, nilai kamu membaik. Jadi, kenapa kamu harus berhenti? Kasih Bunda sama Ayah satu alasan yang bagus."
Jujur, Arga tertohok. Terutama pada kalimat janji-janji manis.
"Err ...." Arga memutar otak, berusaha mencari jawaban yang tepat sasaran.
Ah, sial! Arga bahkan tidak bisa menemukan satu.
"Arga ...." Ucapannya terputus.
"Kalau kamu nggak bisa kasih alasan yang masuk akal, Ayah nggak akan setuju." Ayah menyela. Ekspresi wajahnya tampak serius.
Arga mendecak pelan. Cowok itu berbalik menatap Bunda. Ekspresinya tampak memelas. Jurus andalan untuk membujuk Bunda.
Namun, sepertinya, kali ini Bunda pun tidak terpengaruh.
"Ayah bener," kata Bunda. "Bunda setuju dengan Ayah. Kalau kamu nggak bisa ngasih alasan yang rasional, Bunda nggak mau ngabulin permintaan kamu."
"Arga janji, deh, Bun. Nilai Arga bakal baik-baik aja," Arga memelas sekali lagi.
"Nggak." Bunda bersikukuh.
Dan, Ayah turut mendukung keputusan Bunda.
Arga mendecak lagi, kali ini lebih keras.
"Arga!" tegur Ayah.
"Semua ini gara-gara Oma!" Arga menaikkan suaranya menjadi lebih keras tanpa sadar. Cowok itu berdiri, menatap Ayah dan Bunda dengan tatapan tidak suka. "Kenapa Ayah sama Bunda nggak bisa tegas sama Oma? Arga anak Ayah sama Bunda, bukan Oma. Kenapa Oma harus ngatur-ngatur hidup Arga."
"ARGA!" Ayah kembali menegur. "Duduk!"
"Nggak mau." Arga bersikeras. "Kenapa Arga harus nurut? Kasih Arga alasan yang bagus."
Kalau bukan karena Bunda yang mencoba menengahi dan menenangkan Ayah, mungkin Ayah sudah melemparkan piring ke kepala Arga.
Namun, Arga tidak peduli. Toh, Ayah dan Bunda bahkan tidak peduli dengan perasaannya. Karena itu, Arga berbalik dan pergi dari ruang makan. Meninggalkan Ayah yang marah dan Bunda yang menatapnya dengan nelangsa. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top