13. Stress

IF WE START AGAIN
Bab 13: Stress (Runa's POV)

***

Bisa dibilang, ini Senin terburuk yang pernah Runa alami. Sudut matanya melirik sekitar. Bisa Runa lihat beberapa siswa menatapnya sebelum berbisik-bisik berisik.

"Aneh nggak, sih, Runa tiba-tiba jadi ketua OSIS?"

"Bukannya itu nggak adil, ya? Kalau pun emang sistem baru mau dicoba, harusnya yang jadi ketua OSIS kedua, ya, si peringkat dua pas pemilihan kemarin. Duh, lupa lagi siapa namanya."

"Mungkin karena dia pinter? Dia emang cerdas banget, sih."

"Terus, mentang-mentang pinter, bisa dapet privilage segitunya? Bisa gue tebak para kandidat terluka harga dirinya. Pegang kata-kata gue."

Dan, itu baru sebagian kecil. Sepanjang Runa berjalan menuju kelas, bisik-bisik itu terus terdengar. Bukan hanya itu. Runa, yang biasanya banyak mendapat sapaan hangat ketika berpapasan, kali ini harus rela merasakan hal yang berbeda. Sapaan hangat berganti menjadi sorot sinis. Hal yang membuat Runa kian canggung. Tidak nyaman.

Andai dia punya pilihan lain, Runa juga tidak ingin seperti ini. Cewek itu menghela napas. Diperbaikinya posisi ransel seraya masuk ke kelas.

Begitu Runa menapakkan kaki, suasana kelas yang semula riuh rendah karena berbagai percakapan menjadi sepi. Meskipun hanya untuk beberapa saat, Runa bisa merasakan atmosfir sekitarnya turut berubah. Semua orang menatapnya. Sekilas. Lalu, kembali ke percakapan masing-masing.

Tidak ada yang menyapa seperti biasa.

Runa menggigit bibir. Ah, paling pengaruh karena tamu bulanan yang datang. Mood-nya awut-awutan. Ya, pasti karena itu, pikir Runa.

"Beib?"

Runa menoleh, mendapati Tata berdiri di belakangnya. Bisa dia lihat dengan jelas wajah Tata menunjukkan ekspresi bingung.

"Ngapain bengong di situ?" tanya Tata lagi. Sebelah tangannya menarik lengan Runa menuju kursi mereka. "Nggak kesambet, 'kan?"

Runa mengerjap. Lalu, dia merengut. "Sembarangan. Ya, enggaklah."

"Habisnya ...," seloroh Tata. "Eh, by the way, kantin kelas sepuluh ada menu baru, lho, katanya. Nyusup, yuk, ntar? Gue ngebet—"

Bukannya Runa tidak mendengarkan, tetapi, dia sedikit heran. Tata ... bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Berbeda dengan reaksi yang lain ketika melihat Runa datang.

"Beib?" panggil Tata. Sebelah tangannya melambai kecil di depan wajah Runa. "Walah. Ngelamun, ternyata."

Runa menggeleng kecil. "Maaf, Ta."

Ada jeda beberapa saat sebelum Runa mendengar Tata mendebas. Dirasakannya tangan Tata mendarat di kedua belah bahunya.

"Na," panggil Tata. "Gue emang nggak tau apa alasan kenapa ini bisa terjadi. Tapi, gue tau, lo pasti punya alasan kuat." Tata tersenyum. "Nggak perlu dengerin gosip orang-orang. Trust me, dalam beberapa hari, omongan usil itu bakal ilang."

Bibir Runa terbuka, terpana. Ditatapnya Tata sejenak. Bisa dia rasakan sudut matanya menghangat. Ada bulir bening yang tertahan di sana. Kendati demikian, Runa tetap mengangguk. "Makasih, Ta."

"Oh, c'mon!" Tata langsung memeluknya dengan tawa kecil mengalun. "Kalau perlu teman curhat, feel free buat ngehubungin gue."

***

Meskipun Tata sudah mewanti-wanti agar Runa tidak usah memedulikan omongan dan gosip yang beredar, tetap saja. Runa punya dua telinga dan keduanya masih berfungsi dengan baik. Sulit untuk menghindari bisik-bisik sinis itu.

Ditambah, dia identik dengan yang namanya feeling guilty. Lengkap sudah badai yang menerjang hati Runa.

"Runa?"

Runa refleks tergelagap, baru sadar kalau dia melamun. Cewek itu mengerjap. Di depannya, teman-teman sekelas menatap dengan tatapan tak terdefinisi. Rumit untuk bisa mengartikannya.

Bagus sekali, Runa! Melamun di saat presentasi tengah berjalan.

"Apa Runa ingin menambahkan jawaban?" Theresa selaku moderator kelompok mereka mempersilakan.

Sekali lagi, Runa tergagap. Sempat dia menoleh dan mendapati Bu Teno Heika yang menatapnya dengan tatapan bingung. Juga, sedikit ... prihatin.

Fokus, Runa! Runa ingin sekali menjedotkan kepalanya ke meja. Sialan dengan hidupnya! Siapa yang menyangka konsekuensi yang harus Runa terima dari skenario ini sanggup membuatnya stres mendadak?

"Sepertinya, itu saja dari kelompok kami." Theresa dengan cepat menutup presentasi hari ini.

***

Begitu bel pulang berdentang, perasaan Runa, bukannya membaik, malah sebaliknya: kian memburuk.

Langkahnya gontai ketika keluar kelas. Lunglai. Lesu. Tidak bertenaga. Kombinasi yang membuat Runa terlihat seperti orang kurang darah yang siap ambruk kapan saja.

"Hei, lo sakit?" Tata, yang entah sejak kapan berdiri di sebelah Runa, mengulurkan tangan. Punggung tangannya menyentuh dahi Runa. Sedetik kemudian, dia menjengit. "Aish! Panas. Fix demam ini!"

Panas? Runa refleks menyentuh dahinya sendiri. Benar. Terasa agak hangat, tapi masih dalam kadar yang bisa dia tahan.

"Gue nggak apa-apa." Runa meyakinkan.

"Ndasmu!" Tata mengumpat. Sebelah tangannya meraih pergelangan Runa. Diseretnya Runa menuju UKS. "Ayo! Mereka pasti punya obat demam."

Awalnya, Runa ingin menolak, tentu saja. Namun, saat mendapati fakta kalau dia terseret-seret ditarik Tata membuat Runa urung. Dengan hampir tidak ada kekuatan untuk melawan, membuat Runa sadar kalau dia sudah berada di tahap lunglai yang tidak berdaya.

"Masih mikirin soal itu?" Tata bertanya ketika mereka sudah sampai di UKS.

Runa mengembuskan napas. "Sedikit."

Tata hanya terdiam. Tangannya bergerak menyerahkan obat penurun demam yang diberikan penjaga. Namun, mulutnya tidak mengatakan apa-apa lagi.

***

"Yakin, nih?"

Runa tergelak. Cewek itu mengangguk, sekali lagi meyakinkan, "Gue nggak apa-apa. Udah. Balik sana. Ditungguin Joe, kan?"

Namun, Tata masih tampak ragu.

Ya, awalnya Tata menawarkan agar Runa ikut bersamanya saja. Tidak masalah motor harus ditinggal. Ada satpam yang akan berjaga. Jauh lebih aman daripada harus memberikan risiko kecelakaan mengintai. Dengan kondisi Runa yang tampak pucat, tentu saja Tata khawatir.

Namun, Runa bersikeras kalau dia tidak apa-apa. Kalau hanya pulang ke kos-kosan, tidak masalah. Runa bisa menjaga diri dan memastikan pulang dengan selamat.

"Hubungi gue kalau ada apa-apa." Tata akhirnya mengalah.

Runa mengangguk, balas melambaikan Tata yang menuju parkiran mobil. Meninggalkan Runa di pakiran motor.

Dengan cepat Runa menaiki motor dan menghidupkannya. Satu tarikan gas dia lakukan untuk bersiap-siap. Bersamaan dengan itu, rasanya jantung Runa berdetak menjadi tidak karuan. Jedag-jedug tidak beraturan. Seolah organ itu akan menyembul keluar dada tidak lama lagi.

Runa mengusap peluh di dahi. Peluh dingin. Dari dalam tubuh, bisa dia rasakan sesuatu yang tidak mengenakkan perlahan menjalar.

Dia benar-benar harus pulang dan beristirahat ... ah, sial! Runa kan harus mengajar.

Runa dengan gesit menarik gas dan melajukan motor keluar dari area parkir. Entah kenapa, rasanya tangannya gemetar. Posisi genggaman pada gas motor tidak mantap. Membuat motor yang Runa kendarai menjadi sedikit oleng.

Ditambah, tiba-tiba saja, dia merasa pusing.

Runa meringis. Matanya sempat terpejam karena sakit kepala yang terasa menyakitkan. Genggamannya menjadi lunglai. Dalam sekejap, Runa kehilangan kendali. Sedetik kemudian, dia sudah menyusruk ke tanah.

Kenapa? Runa mendesah dengan posisi badan menelungkup. Perih. Mungkin ada beberapa gores akibat terjatuh.

Kenapa semuanya jadi begini? []





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top