1. Focus

IF WE START AGAIN
Bab 1: Focus (Runa's POV)

***

Di luar sana, siswa-siswi kelas lain sudah bertebaran, tepat saat bel istirahat berdentang. Sementara di kelas sebelas IPA tiga, semua masih manut di tempat duduk masing-masing karena Miss Mala yang baru saja selesai mengajar belum juga keluar. Hal yang jarang sekali terjadi mengingat betapa efektif dan disiplinnya guru itu jika sudah bersangkutan dengan yang namanya waktu.

"Runa Alyssa, ikut ke ruangan saya sekarang." Setelah mengucapkan kalimat pendek itu, barulah Miss Mala mengangguk kecil dan berlalu dengan langkah tegap.

Semua menghela napas lega, balik menatap Runa yang cengo di tempat. Aduh! Mati gue! Runa langsung panas dingin.

Cepat-cepat cewek dengan rambut sepunggung itu membereskan buku-buku yang masih bertebaran di meja, memasukkannya ke dalam tas. Runa menarik napas, berdiri dengan setengah hati. Cewek itu menoleh, melemparkan tatapan nelangsa pada seisi kelas. Semuanya mengacungkan jempol, berkata good luck untuk Runa.

Fenomena Miss Mala memanggil siswa ke ruangannya untuk berbicara empat mata itu termasuk hal langka. Sama halnya dengan gosip kalau hanya mereka yang memiliki catatan di note pribadi Miss Mala, entah itu baik atau buruk, yang diingat nama lengkapnya oleh guru itu.

Semoga saja bukan hal buruk.

Runa memejamkan mata, takut-takut ketika sudah sampai di depan ruangan Miss Mala. Perlahan, Runa mengetuk pintu kaca yang di dalamnya dipasang gorden tersebut. Suara Miss Mala mempersilakan masuk terdengar dari dalam. Dengan mengucap bismilah, Runa menggeser pintu ke kanan, menampilkan Miss Mala yang tengah duduk tegak di kursi kerja. Guru dengan kulit sehalus porselen itu berdeham, memberi isyarat agar Runa segera masuk dan menutup pintu.

Ruangan tersebut memang tidak terlalu besar, tapi memberikan kesan berkelas dan estetik bagi Runa. Dalam sekali pandang, ia bisa menebak Miss Mala tipe orang yang minimalis. Semua benda yang ada memiliki kegunaan yang dimaksimalkan penggunaannya. Persis seperti Miss Mala sendiri. Simpel demi efisiensi. Tiga AC yang bertengger manis di dinding menguarkan hawa dingin ketika Runa menarik kursi, duduk berhadapan dengan Miss Mala yang memegang sebuah amplop cokelat di tangan kanan.

"Langsung saja ke intinya," ucap Miss Mala tanpa banyak basa-basi. Guru yang konon memiliki posisi paling penting di SMA Nusa Garuda itu menyerahkan amplop di tangan.

Hal yang membuat Runa mengerjap bingung. Kendati demikian, cewek itu tetap menerima amplop dengan stempel resmi SMA Nusa Garuda itu dengan perasaan yang tiba-tiba saja tidak enak.

"Saya tahu kamu murid yang cerdas, Runa. Saya bisa lihat semangat belajar kamu dan usaha mempertahankan beasiswa yang sudah berjalan selama kelas sepuluh." Miss Mala mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Namun, tim penyeleksi beasiswa merasa performa kamu untuk memenuhi standar kelayakan masih kurang stabil." Guru cantik itu menarik salah satu map di tumpukan dekat lengan kanan, membuka, dan menyodorkan apa yang tertera pada Runa. "Lihat ini." Miss Mala menunjuk salah satu kolom.

Ragu, Runa menjulurkan leher, mengikuti arah telunjuk Miss Mala. Di sana, terdapat lembar penilaian kelayakan beasiswa atas nama dirinya: Runa Alyssa. Lengkap dengan double S yang biasanya keliru cuma ditulis satu.

Benar. Ada beberapa kolom yang tidak dicentang. Boro-boro tanda centang, justru terdapat catatan di sana. Dengan membacanya saja, Runa merasa jantungnya perlahan berdegup tidak karuan, mulai dilanda rasa cemas. Cewek dengan kulit seputih susu segar di pagi hari itu menggigit bibir bagian bawah, menyandarkan punggung dengan lemas.

"Bukan bermaksud mengada-ada atau memanipulasi kelayakan. Sejak awal, sekolah kita sudah menetapkan penilaian dan seleksi ketat bagi siapa saja yang mengajukan beasiswa. Terlebih, ini dibiayai sekolah langsung, bukan dari pihak ketiga," kata Miss Mala lagi seraya menutup map di hadapan. Guru yang mengajar mata pelajaran fisika sekaligus pembimbing senior konseling itu menumpukan kedua belah siku di meja. "Seperti yang kamu lihat barusan, poin kelayakanmu masih belum stabil. Terutama di bidang non akademik.

"Kami akui, kamu hebat dalam bidang akademik. Prestasimu luar biasa. Kamu bersinar. Tapi, jika bicara soal non akademik-" Miss Mala menggeleng pelan. "-bisa dibilang nol besar.

"Apalagi kamu tidak mengikuti satu pun ekskul di sekolah kita. Padahal, itu penilaian yang mencakup banyak poin seperti kreatifitas dan inovasi." Miss Mala menatap Runa lekat-kekat, mengatakan hal yang membuat Runa seperti mati rasa di tempat seketika. "Kemungkinan besar, beasiswamu terancam. Mengingat ada banyak sekali poin yang tidak memenuhi standar kelayakan dalam satu tahun terakhir."

"Saya akan coba untuk meningkatkan keaktifan saya, Miss." Cepat-cepat Runa menyela. "Saya akan mendaftar beberapa ekskul sekaligus, mencoba memperbaiki poin saya," katanya lagi meski Runa tidak tahu apa ia bisa melakukannya jika sampai Miss Mala setuju.

Duh! Runa merutuki mulutnya yang mencerocos tanpa berpikir dua kali. Apa daya? Dirinya sedang terancam. Persis seperti di perbatasan surga dan neraka. Tidak terbayang bagaimana jika sampai beasiswanya dicabut pihak sekolah. Bayar pakai apa Runa nanti jika sudah memasuki masa tagihan SPP yang terkenal menjulang tanpa ampun. Jual ginjal? Duh, jangan sampai!

Miss Mala menghela napas. "Sudah terlambat, Runa. Tim sudah melakukan evaluasi tahunan, dan hasilnya, posisimu bisa dibilang cukup kritis." Ada jeda ketika Miss Mala menarik napas sejenak. "Namun, atas beberapa pertimbangan, dan sedikit usaha saya meyakinkan, tim bersedia menyetujui opsi yang saya tawarkan untuk melihat apa kamu masih layak atau tidak." Tatapannya tertuju pada amplop yang tergeletak di meja dekat Runa. "Ada di amplop tersebut. Silakan dibaca baik-baik. Jika ada pertanyaan, sebisa mungkin saya jawab."

Runa menenggak ludah, melirik sekilas amplop di dekat lengan. Diliriknya Miss Mala, yang mana guru cantik itu mengangguk, memberi isyarat agar Runa membukanya sekarang. Ragu, cewek dengan perawakan langsing itu meraih amplop yang diberikan Miss Mala di awal pertemuan.

Entah karena suhu dingin tiga AC yang diset rendah, atau karena perasaan Runa yang tiba-tiba saja bergejolak, amplop tersebut rasanya sulit sekali dirobek ujungnya. Tangan Runa sedikit bergetar setelah berhasil melakukannya dan mengeluarkan secarik kertas. Perlahan, Runa membuka kertas yang dilipat rapi tersebut. Tertegun lama ketika membaca kata demi kata di sana.

***

"Astaga! Why, motor? Why!" Runa mengacak rambut kasar, tidak peduli meski itu membuat tampilan menjadi awut-awutan. Rasanya ingin mengamuk saja, kalau bisa.

Sudah lima belas menit Runa berdiri di sini. Di parkiran motor. Di depannya, motor matic butut miliknya mengambek. Tidak mau menyala. Sudah segala cara Runa coba lakukan sebisanya. Nihil. Tidak ada hasil. Justru lelah yang ia dapat.

Selama ini, Runa kira motor mogok atau tidak mau menyala karena kehabisan bensin. Atau akinya runtuh. Selain itu, Runa buta dengan tetek bengek permasalahan motor.

Yah, apa mau dikata? Motor tua. Tampilannya saja sudah buluk, persis seperti ekspresi pemiliknya yang sama sekali tidak enak dipandang saat ini. Baru kali ini motornya benar-benar merajuk. Runa sudah berjuang keras menghidupkan dengan cara manual sampai kaki pegal. Hasilnya sama saja, meh! Mana parkiran motor sepi lagi.

Runa berjongkok pasrah, menatap motor dengan tatapan nelangsa. Kedua belah tangannya menopang dagu, sambil sesekali mengusap peluh di dahi. Apa minta bantuan satpam saja, ya?

Runa celangak-celinguk, menatap sekeliling. Hanya ada beberapa motor di parkiran, termasuk miliknya. Ini sudah hampir sejam sejak bel pulang berdentang. Wajar jika sudah sepi.

Iya, sih, tapi masa Runa harus pulang jalan kaki? Cewek itu mendesah berat, hampir putus asa. Membayangkannya saja sudah sangat melelahkan. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia sendiri sudah lelah jiwa dan raga. Ditambah ujian kesabaran seperti ini.

Bismilah sajalah, pikirnya. Dengan hati setengah yakin, Runa berdiri. Dicengkeramnya kedua belah stang motor, siap mendorong mencari bantuan satpam di luar sana. Kalau tidak bisa juga, ya, dorong sampai ke kos. Apa mau dikata. Runa cuma mau pulang, lalu beristirahat. Itu saja.

"Hei."

Baru Runa ingin mendorong motor, di depannya, berdiri cowok dengan jersey basket dan celana pendek selutut. Runa mengangkat wajah, bisa melihat dengan jelas cowok itu tersenyum ketika menyapa. Runa tahu siapa dia. Hanya sebatas tahu.

Argario Andana.

Kelas sebelas IPA satu. Salah satu anggota basket SMA Nusa Garuda, juga vokalis utama band SMA Nusa Garuda yang Runa lupa-lupa ingat apa nama band-nya. Pokoknya banyak digandrungi para cewek NuGa-singkatan nama sekolah mereka. Runa hanya tahu nama. Tidak kenal secara pribadi. Secara, cowok itu cukup populer. Seingatnya, sih, Arga itu salah satu most wanted SMA Nusa Garuda. Namanya cukup sering Runa dengar. Ia juga sempat menyaksikan Arga unjuk kemampuan melakukan lemparan jarak jauh dan mencapai nada tinggi beberapa kali.

"Oh, hai." Runa balas menyapa, menurunkan kembali standar motor. Cewek itu mengusap leher belakang, agak canggung karena ini pertama kalinya mereka berbicara langsung.

Hanya berdua.

"Motor lo kenapa?" tanya Arga seraya menyentuh bagian depan motor Runa yang tampak lusuh. Sesekali, cowok itu memperbaiki posisi tas di pundak kiri. "Mogok?" tebaknya.

"Nggak mau nyala, tepatnya," ralat Runa.

Arga manggut-manggut. "Sudah cek bensin?"

"Pagi tadi sebelum berangkat udah gue isi full." Runa menggaruk tengkuk, bingung sendiri. "Motor tua, sih, ya. Nggak heran kalau ngambek kek gini." Cewek itu meringis pelan.

"Oh, oke." Arga mengangguk-angguk mengerti. Cowok itu mengusap dagu, tampak berpikir beberapa saat. "Pernah kejadian kek gini?" tanyanya lagi.

Runa mengingat-ingat. "Kalau mogok, sih, sering. Tapi masih bisa hidup kalau diusahain." Cewek itu menghela napas panjang. "Kalau mati total kayak gini, baru sekali ini."

"I see." Arga mengangguk. Cowok itu tampak menimbang-nimbang sebelum menurunkan tas dari pundak, menyerahkannya pada Runa. "Bisa bantu pegangin?" Arga tersenyum, berterima kasih setelah Runa menerima tas yang ia ulurkan. "Tunggu di sini," katanya lagi.

Tanpa banyak bicara, Arga berbalik dan berlari kecil menuju area utama sekolah, meninggalkan Runa yang cengo di tempat.

"Mau ke mana?" Runa berseru agak keras, sadar kalau Arga pergi tanpa memberi petunjuk apa yang cowok itu akan lakukan.

Terlambat. Arga sudah masuk ke area utama sekolah, entah hendak melakukan apa. Meninggalkan Runa yang berdiri di samping motor dengan tas Arga di dekapan.

Lima menit kemudian, Arga kembali dengan kotak peralatan di tangan. Cowok itu tersenyum saat menghampiri Runa. "Boleh mundur sedikit? Gue coba liat apa masalahnya." Cowok itu berjongkok di samping motor Runa seraya membuka kotak peralatan di dekat kaki. Entah dari mana dia mendapatkannya. Runa manut saja. "Nggak masalah, kan, kalau gue bongkar pasang?" Arga memastikan.

Runa mengangguk. "It's okay."

"Sip!" Arga mengacungkan jempol, mulai bekerja.

Gerakannya luwes ketika membongkar bagian-bagian motor, memeriksa dengan teliti sambil sesekali manggut-manggut. Arga dengan lihai memilah peralatan yang diperlukan-Runa sering melihat tukang bengkel menggunakannya, tapi lupa apa namanya.

Sepuluh menit berlalu, dan Arga masih berkutat dengan motor Runa yang tampaknya enggan berkompromi. Sesekali cowok itu mengembuskan napas panjang. Tak lupa menggaruk kepala, membuat rambut hitam legamnya awut-awutan, luruh menutupi dahi. Bulir keringat di dahinya yang putih perlahan meleleh melewati pipi, jatuh ke tanah. Arga mengusap peluh dengan lengan, tampak berhati-hati karena tangannya sudah kotor.

"Nih." Runa mengulurkan sekotak tisu dari dalam tas. Cewek itu ikut berjongkok, melihat sekilas bagian-bagian motor yang asing di mata.

"Ah, trims." Arga mencomot beberapa lembar sekaligus, mengusapkan ke wajah bersamaan. Diremasnya tisu di tangan sebelum diletakkan di dekat kaki. "Ah, ini dia!" Cowok itu bertepuk tangan satu kali ketika menemukan sumber masalah. Cepat-cepat ia mengambil alat yang diperlukan, mempreteli dengan gerak efisien.

Runa menelengkan kepala, bingung sendiri. Ia asing dengan mesin seperti ini. Biasanya kalau ada masalah, ia akan langsung lari ke bengkel tanpa pikir panjang.

Runa mengalihkan perhatian, menangkap ekspresi serius terpancar dari wajah Arga yang berjongkok di sebelahnya. Bibir cowok itu membentuk garis lurus. Sepasang iris sekelam malam itu fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Yah, tidak heran kalau cowok di sebelahnya ini cukup digandrungi. Relief wajahnya benar-benar bagus, memberikan kesan memesona.

"Na!"

Runa menoleh, mendapati Tata berdiri tak jauh darinya dan Arga. "Ya?"

"Motor lo kenapa?" Tata mendekat, ikut berjongkok di dekat Runa. "Mogok lagi?"

"Nggak bisa nyala." Runa mengedikkan bahu. "Biasalah. Namanya juga motor tua."

"Ah, I see." Tata mengangguk-angguk. Cewek itu melirik jam di pergelangan tangan, mengernyit sebelum menatap Runa heran. "Lo bukannya kudu ngajar sebentar lagi, Beib?" tanya Tata memastikan.

Refleks, Runa meraih ponsel dari saku seragam. Cewek itu terbelalak, panik. "Lah, iya! Duh, mati gue!" Runa menepuk dahi. "Alamat potong gaji ini, mah!"

"Masih kekejar, kok." Tata meyakinkan. "Setengah jam lagi, 'kan? Bisa. Tapi lo kudu buru-buru. Kejar waktu."

"Mana bisa?" Runa berujar nelangsa. "Lo liat sendiri, kan, motor gue gimana sekarang? Kos jauh. Rumah murid yang di-private apalagi. Nggak akan sempat." Cewek itu mengembuskan napas panjang, pasrah. "Ya udahlah."

Tata berpikir beberapa saat. "Gojek? Grab?"

Runa menggeleng. "Nggak ada duit. Bulan ini gue udah digempur sama peralatan praktik. Sisanya, ya, buat bertahan hidup biar mag nggak kambuh." Cewek itu melirik Arga yang tampak tak terganggu. Cowok itu tetap bekerja, entah apa dan bagaimana. "Lagian, gue nggak enak sekonyong-konyong pergi gitu aja."

"Nggak apa-apa." Tiba-tiba, Arga ikut bersuara. Cowok itu menoleh, tersenyum lembut. "Pergi aja. Ini biar gue yang urus. Dikit lagi selesai, kok."

"Nggak apa-apa. Gue di sini aja." Runa bersikeras, meyakinkan. "Justru karena tinggal dikit, mending gue tunggu."

Tata dan Arga saling pandang untuk beberapa saat, seperti bicara lewat tatapan mata kayaknya kita punya pikiran yang sama.

Tata mengangguk, mengalihkan tatapan pada Runa. "Gini, deh. Lo nebeng gue, trus gue anterin lagi ke sekolah buat ngambil motor. Abis itu silakan langsung cus ngajar. Gimana?" Tata menghela napas saat dilihatnya Runa tampak ragu mengiakan. "Itu lebih efektif, Say. Kejar waktu."

Ragu, Runa menatap Arga yang masih tersenyum padanya. Cowok itu mengangguk, menyetujui rencana Tata. "Pas lo balik ke sini, gue pastiin motor lo udah beres." Arga ikut meyakinkan.

Setelah berpikir beberapa saat, Runa mengangguk, menyetujui usulan Tata. "Okelah kalau kalian nggak keberatan."

Tunggu di sini. Gue ambil mobil dulu." Setelahnya, Tata berbalik, berlari kecil menuju parkiran mobil yang letaknya agak jauh dari parkiran motor. Masih satu arah untungnya.

"Nge-private anak umur berapa?" Arga yang lanjut mempreteli motor Runa tiba-tiba bersuara, bertanya tanpa mengalihkan fokus dari apa yang dikerjakan.

"Kelas lima. Umur sepuluh tahun kalau nggak salah ingat," sahut Runa singkat.

"I see." Arga mengangguk. "Kalau misalnya ada yang nawarin nge-private anak SMA-seumuran kayak gue atau lo, misalnya, mau atau nggak?"

Jujur, Runa tidak pernah terpikir mengajar private orang yang sebaya dengannya, atau Arga. Lagi pula, sampai detik ini, tidak pernah ada tawaran seperti itu. Jangankan tawaran, mendengar saja rasanya hampir mustahil. Toh, anak-anak SMA lebih suka les di tempat yang terpercaya atau bimbel online. Lebih praktis.

Dengan nada bercanda, Runa menceletuk, "Kalau cocok, sih, bisa aja." Cewek itu tertawa pelan.

"Bener juga." Arga ikut terkekeh. "Tapi nggak semua orang cocok sama tempat les atau bimbel online. Kayaknya seru, ya, dimentor sama orang yang sebaya."

"Mungkin."

Runa tidak tahu harus merespons apa. Cewek itu hampir ingin menanyakan sesuatu ketika suara klakson tiba-tiba saja terdengar dari arah belakang, membuatnya dan Arga terlonjak kecil.

Runa menoleh, melihat Tata menjulurkan leher seraya melambaikan tangan. Runa merengut. "Kaget, tau."

"Ya, maaf." Tata menyengir. "Masuk, gih! Kudu buru-buru, kan?"

Runa mengangguk. Cewek dengan iris sekelam jelaga itu menoleh, mendapati Arga yang juga menatapnya plus senyum di wajah. Runa berdeham kecil, mengangkat tas Arga yang ada di pelukannya. "Mau ditaruh di mana, nih?"

"Taruh aja sini." Arga menepuk halaman parkir di dekat kakinya.

Runa mengangguk, meletakkan tas tersebut di sebelah Arga. Cewek itu lantas membungkukkan badan sedikit, hal yang membuat Arga sedikit heran. "Makasih banyak bantuannya. Maaf kalau ngerepotin. Sekali lagi, thank you."

Arga terkekeh, mengibaskan tangan seolah itu bukan big deal. "It's okay." Cowok itu mengembuskan napas pendek, memberi isyarat dengan dagu agar Runa segera pergi. "Ditungguin, tuh."

Runa mengangguk. "Gue duluan, ya."

Arga mengangguk, balas melambaikan tangan saat Runa menuju mobil. Cewek itu dengan cepat menarik pintu depan, duduk di samping Tata yang mulai melajukan mobil keluar dari area parkir. Runa menurunkan kaca mobil di sampingnya, lamat-lamat memerhatikan Arga yang kembali bekerja ketika mobil Tata akan berbelok, keluar dari area parkir SMA Nusa Garuda.

Samar, Runa bisa melihat kalau cowok itu tersenyum lebar meski ada beberapa noda hitam bekas oli di wajahnya yang putih. Hal yang mau tidak mau turut membuat Runa tersenyum, merasakan desir menyenangkan di dada.

"Kenapa, Sis?" Tata menyenggol rusuk Runa yang sedari tadi senyam-senyum tidak jelas sejak mereka meninggalkan SMA Nusa Garuda.

"Ah, nggak apa-apa." Runa menggeleng meski senyum itu belum lekang dari wajah. "Trims sudah mau repot-repot nganterin gue," kata Runa lagi setelah berdeham kecil, mengatur detak jantung yang entah kenapa berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.

"Ah, it's okay. Santai aja." Tata menyetir dengan santai. Cewek itu lantas menyengir jail. "Ganteng, ye, Na," kata Tata seraya menaikturunkan alis, menggoda sohib kentalnya tersebut.

"Ha? Apanya?"

"Arga." Tata terkikik geli. "Mana gentle gitu lagi. Mantap, Sobat! Lanjutkan!" Setelahnya, Tata terkekeh pelan, mengedipkan sebelah mata.

"Hei!" Runa berseru tidak terima.

"Bercanda." Tata menyengir, mengangkat jari telunjuk dan tengah, membentuk tanda damai. "Oh, iya. Lo nggak diapa-apain, 'kan, sama Miss Mala? Everything is okay?"

Tanpa bisa dicegah, senyum Runa langsung pudar begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top