03

Flashback

Lusa adalah hari kelulusan mereka. Hari ini, Minho dan Aeri yang kerap disapa sebagai MinRi couple itu berkencan di sebuah kedai es krim langganan mereka di siang hari yang cerah.

Kencan sebagai perayaan sebelum mereka dinyatakan lulus, begitu isi pesan Minho saat mengajaknya berkencan kemarin malam.

Aeri memesan es krim kebanggaannya yang tak pernah berubah sejak ia memesannya di hari pertama berkunjung di kedai ini, chocolate berry.

Sementara Minho dengan es krim yang juga tak pernah berubah dipesannya, chocolate mint.

Sambil menghabiskan waktu dan memakan es krim yang menjadi hobi mereka selama menjalin hubungan setahun, mereka bersenda gurau dan seperti biasanya mengambil potret bersama demi sebuah kenangan.

Ya begitulah... tempat kencan mereka selama setahun berpacaran 90% nya ada di kedai ini. Bahkan ketika menjadi cibiran pasangan lainnya karena tak pernah berganti spot kencan, mereka tak peduli. Di kedai es krim itu, perjalanan cinta mereka bermula, juga menjadi latar berjalannya kisah mereka.

Minho tidak tahu, momen manis di kedai es krim hari itu akan menjadi momen terakhir dalam hubungan mereka.

Aeri meringis. Dalam hati ia mengumpat dan mengutuk dirinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya nanti saat memutuskan untuk berpisah dengannya?

Atau yang lebih tidak bisa ia bayangkan... bagaimana jadinya kalau ia melihat wajah kecewa Minho nantinya?

***

Hari kelulusan tiba. Beberapa hari lalu, Minho berhasil menggemparkan sekolah mereka dengan berita bahwa ia menjadi seorang trainee di sebuah agensi ternama. Aeri yang sudah memantapkan hatinya untuk memutuskan hubungan mereka menjadi sedikit tenang, karena ada alasan kuat yang bisa membuat mereka berpisah tanpa ia harus mengarang alasan lain demi menutupi rahasianya.

Setelah acara wisuda selesai, dengan gembira Minho memeluk Aeri dan memberinya ucapan selamat. Ia juga menyerahkan sebuah bucket bunga yang sengaja ia pesan jauh-jauh hari untuk diberikan pada Aeri, di hari kelulusan ini.

Mata Aeri berkaca-kaca saat menerimanya. Hatinya serasa diiris-iris, apalagi saat ia melihat senyum bahagia Minho. Semakin pedih rasanya. Bahkan nyaris saja ia membatalkan rencana yang sudah ia susun dengan begitu matang, meski ia harus mengorbankan perasaannya, juga perasaan Minho.

Dengan tangan bergetar, Aeri menarik Minho menuju taman belakang sekolah. Minho yang suasana hatinya sedang di atas awan itu tidak mengira bahwa ada hal buruk yang akan menimpa mereka.

Yang terpikirkan olehnya saat itu hanyalah, Aeri sedang membuat kejutan untuknya, seperti ia memberi kejutan sebuah bucket bunga yang dirangkai indah khusus untuk Aeri.

Langkah mereka berhenti saat Aeri melepas genggaman tangannya pada pergelangan tangan Minho.

Aeri menaruh bucket bunganya di bangku taman dan segera menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggungnya. Wajahnya tertunduk dan ia tak henti-hentinya meniup poni depannya dengan gelisah. Membuat Minho menatapnya penuh tanda tanya. Alih-alih terlihat gelisah, Aeri, di mata Minho ia tampak seperti gadis manis yang sedang malu-malu, saat ingin mengungkapkan sesuatu.

Siapa pun yang melihat aksinya ini juga akan mengira bahwa ia sedang ingin menyatakan perasaannya pada orang yang ia suka. Walaupun dugaan ini pasti salah, karena status mereka sudah jelas. Tapi siapa tahu, kan? Ada hal yang lebih dari itu?

Memikirkannya, membuat pipi dan telinga Minho bersemu merah, meski tertutup oleh senyumnya yang lebar. Ia masih sabar menunggu aksi dari gadis pemalunya itu.

"Ada yang ingin kau katakan, Aeri?" tanyanya dengan senyum yang masih merekah.

Dengan mata berkaca-kaca Aeri mendongak dan memberanikan diri menatap Minho.

Senyumnya perlahan menghilang. Ia pikir, air mata yang tergenang di sana merupakan air mata haru. Namun saat saling menatap, Minho tahu kalau itu bukanlah sebuah air mata kebahagiaan.

"Aeri, kau kenapa? Ada yang membuatmu sedih?"

"Minho--" ia tersekat.

Sebulir air mata meluncur, disusul dengan bulir-bulir lainnya.

"Hei... tidak apa-apa."

Minho kembali memeluk Aeri dan menepuk-nepuk puncak kepala Aeri, bermaksud untuk menenangkannya.

"Minho..." isaknya semakin keras.

"Ada yang harus kukatakan," lanjutnya dengan terbata.

"Katakan saja, Aeri. Selama itu membuatmu merasa lega, katakan saja."

Aeri melepas pelukannya dan kembali menatap Minho dengan mata memerah.

"Terima kasih untuk selama ini."

Perasaan Minho mendadak menjadi tidak enak. Ia memiliki firasat yang buruk, namun ia tetap tersenyum. Senyum yang tujuannya untuk menghibur Aeri. Salah besar ia berpikiran jauh jika Aeri ingin menyatakan perasaan padanya, atau bilang i love you dan memeluknya penuh haru, karena gadis pemalu itu belum pernah sekalipun menyatakan pernyataan cinta itu.

"Tak perlu berterima kasih, Aeri."

"Minho, sepertinya... kita harus berpisah."

Aeri menunduk. Kini ia kembali terisak, tak mampu melihat reaksi yang diberikan Minho atas pernyataannya barusan.

"Maaf Minho. Tapi ini demi kebaikan kita bersama."

Aeri tak kuasa untuk melihat reaksi Minho, sehingga ia buru-buru membalikkan tubuhnya hendak berlari menjauhinya. Rencananya sudah gagal, meski sebagiannya terlaksana. Sebagian hatinya merutuki dirinya sendiri mengapa ia malah menangis di hadapan Minho, padahal seharusnya ia memasang raut wajah datar dan pergi meninggalkan Minho begitu saja.

Minho menarik lengannya dan membawanya ke dalam pelukannya, sekali lagi. Minho tak dapat menahan tangisnya. Ia tak mampu berkata, walau hanya untuk menanyakan alasan Aeri yang ingin berpisah dengannya. Namun sepertinya ia tahu, apa alasan Aeri ingin berpisah dengannya.

Mereka berdua hanya bisa menangis dalam diam. Mereka tahu perpisahan itu bukan karena perasaan mereka yang tidak ingin bersama, tetapi karena keadaan mereka.

"Maaf," ucap Aeri dengan suara gemetar.

"Tak perlu minta maaf, Aeri. Seharusnya aku yang minta maaf." Minho membalasnya dengan suara yang tak kalah bergetar.

***

Hari itu, adalah hari kelulusan sekaligus hari perpisahan mereka. Aeri sudah membulatkan tekad untuk tak lagi muncul di hadapan Minho. Lagi pula, Minho juga sudah menjadi seorang trainee. Ia pasti menjadi lebih sibuk dan tak mudah untuk berkeliaran di tempat umum karena jadwal latihannya yang padat.

Minho pasti berpikiran seperti itu. Itulah kenapa ia tak menanyakan alasannya padanya, pikir Aeri saat ia berada di dalam mobil yang dikendarai sahabatnya, Seo Yerim.

Di sisi lain, Minho juga memikirkan hal yang sama. Ia tak bisa menyesali keputusannya menjadi seorang trainee di sebuah agensi ternama. Aeri bahkan tahu pasti kalau ia bercita-cita menjadi seorang idol. Sebenarnya ia sudah mengira suatu saat perpisahan mereka akan segera terjadi, tapi tidak pernah ada dalam bayangannya bahwa perpisahan itu terjadi secepat ini.

Sudahlah, hiburnya pada diri sendiri. Lagi pula, saat menjadi trainee bahkan sewaktu ia berhasil debut pun Minho tidak tahu apakah ia masih bisa menjaga hubungannya dengan Aeri. Sepertinya, Aeri tahu akan kondisinya dan itu sebabnya ia tak bisa mengelak pernyataan Aeri.

Minho tersenyum pahit. Semoga ia tak pernah menyesal dengan ini.

Andai saja ia tahu, kalau sebenarnya alasan Aeri memintanya untuk berpisah bukan karena itu.

Sambil mengetuk pelan meja kayu tempatnya merenung, Minho tak dapat menahan tangisnya. Kejutan yang diberikan Aeri di hari kelulusan itu, tak pernah sekalipun detilnya terlewatkan, di memori kelam seorang idol yang digemari banyak perempuan itu, Lee Minho.

************************************

Published : 2 mei 2020

Ternyata aku ga bisa nahan untuk pub yang ini nanti sore. Okelah, part sisanya akan up nanti sore atau malem.

DAN PART INI CRINGE GA SI

ah sudahlah bodo amat.

See you~.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top