Satu - [Raindrops]

12 Juli, Jeff lahir ke dunia ini. Mimpi untuk menjadi anak pertama di keluarga langsung pupus.

-

Hari ini langit Jakarta lebih gelap dari biasanya. Bukan karena polusi, tapi awan yang membawa air hujan lah yang membuat langit menjadi gelap. Padahal masih jam dua siang, dan biasanya langit sedang cerah-cerahnya. Aku duduk di tepian atap gedung. Kaki menjuntai ke bawah, dengan kepala mendongak memandang langit.

Di bawah sana, tepat di lapangan sepak bola, beberapa murid masih terlihat asik memainkan si kulit bundar. Berlarian ke sana ke mari memperebutkan bola. Salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Menyipitkan mata kemudian menunjuk ke arahku.

Buru-buru aku berdiri dari posisiku duduk, tapi bukannya diam dan menungguku menjauh dari tepin, mereka malah membuat keributan. Aku langsung melompat ke lantai beton sebelum keributan semakin membesar, berjalan mendekati pintu kemudian turun melalui tangga.

"Mereka benar-benar mengganggu kesenanganku," tukasku kesal sambil menuruni satu persatu anak tangga. Suara bel jam terakhir berbunyi nyaring ketika aku melewati kelas sebelas IPA dua. Ada gerombolan anak perempuan di depan sana, mereka terlihat tengah asyik mengobrol sambil membawa cermin dan ponsel di tangan.

"Ganteng banget!!" ujar salah seorang gadis berambut ikal. Tubuhnya bergerak-gerak aneh.

"Kulitnya itu, lho ... putih kaya salju. Matanya juga kaya orang Korea. Atau jangan-jangan?" Salah satu di antara gadis itu menyahut.

"Denger-denger dia emang blasteran. Tapi bukan korea. Dia Cindo."

'Mereka ngomongin apaan, sih? Bukannya masuk kelas malah ngerumpi,' pikirku sambil berlalu melewati mereka.

Tepat ketika hendak membuka pintu, suara riuh terdengar dari sebelah kiri. Dua orang pemuda tengah berjalan penuh percaya diri diikuti oleh beberapa anak perempuan yang tampak kegirangan memandangi keduanya.

"Arzen!! Arzen!!" teriak salah satu gadis itu. Tanpa mempedulikan kegiatan aneh mereka, aku langsung masuk ke dalam kelas.

Kelas sebelas IPS 1 berisi dua puluh delapan murid. Aku duduk di kursi urutan nomor tiga dari depan bersama Fira, wakil letua kelas yang isi kepalanya penuh dengan teori konspirasi. Aku belum pernah benar-benar bertemu dengan seorang penganut teori konspirasi garis keras sebelum bertemu dengannya. Tapi, untungnya dia adalah seorang teman yang asyik. Meskipun aneh dan kadang suka nyleneh, aku merasa nyaman berteman dengannya.

"Dari mana aja?" tanya Fera begitu aku duduk di sampingnya.

"Biasa."

"Atap?"

Aku mengangguk. "Dan gara-gara anak-anak yang lagi main bola mulai merhatiin, gue langsung cabut."

"Lama-lama lo bakal dikira penunggu atap," ujarnya.

"Bodo," balasku.

"Oh ya, udah denger belom ada anak baru yang bikin heboh seluruh isi sekolah?"

"Oh, jadi dua anak itu?"

"Dua? Satu doang, La ...."

"Gue tadi liat ada dua orang cowok yang tampangnya lumayan lagi jalan sambil diikutin sama cewek-cewek centil yang heboh kayak lagi njejar idol."

"Oh, itu Deris. Anak kelas IPA 3 emang lo belum pernah ketemu dia?"

Aku mengidikkan bahu. Sebagian besar waktuku di sekolah dihabiskan di atap gedung. Mengamati langit dan juga manusia-manusia yang tengah beraktifitas di bawah. Aku tidak pernah memiliki waktu untuk mengamati satu-persatu murid lebih dekat dari jarak antara atap ke lapangan sepak bola atau ke halaman sekolah.

"Anak baru yang gue maksud itu yang jalan sama Deris, namanya Arzen." Aku langsung mengangguk paham, karena teringat nama itu digaungkan beberapa gadis beberapa saat yang lalu. "Dia gap year dan mulai sekolah lagi tahun ini. Buat alasannya, gue nggak terlalu paham."

"Jadi dia setahun lebih tua dari kita?"

"Yep. Liat, lo mulai tertarik sama topik ini."

"Nggak!" tegasku.

Saat Fera hendak bercerita lagi, pintu masuk terbuka. Bu Chitra melenggang masuk dengan membawa setumpuk buku di tangan kirinya.

...

Hujan turun dengan sangat deras disertai suara petir yang menyambar begitu Bu Chitra selesai menjelaskan tugas kelompok. Ketika kami hendak berkumpul berdasarkan nama anggota kelompok, listrik tiba-tiba padam dan suara petir yang menyambar begitu nyaring terdengar. Beberapa siswi menjerit ketakutan di tengah kegelapan. Sementara aku, hanya mengamati jendela yang saat ini dipenuhi oleh air hujan. Langit di luar sana sangat gelap. Aku yakin, kalau hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Dan insiden mati lampu ini, kemungkinan adalah imbas dari petir dan juga angin yang mengiringi hujan deras.

"Gue takut, La," ujar Fera menggenggam lenganku.

"Nggak bakal ada apa-apa. Cuman hujan doang."

"Perhatian ... perhatian ... tolong fokus ke arah saya!" ujar Bu Chitra setelah menyalakan flashlight dari ponselnya. "Sepuluh menit lagi jam pelajaran berakhir dan ... meskipun begitu, saya harap kalian masih tetap di tempatnya sampai hujan berhenti atau lampu kembali menyala."

"Kenapa, Bu?"

"Kalau kalian langsung keluar, akan ada kemungkinan penumpukan dan kalian bakal berdesak-desakan di tangga. Lagi pula, memangnya kalian mau langsung pulang di tengah hujan kayak gini?"

Semua murid menggeleng.

"Nah, jadi lebih baik tetap di tempat sampai situasi kondusif!"

"Baik, Bu." Jawab Rendi, sang ketua kelas.

"Layla ... lo tahu nggak, kalau kejadian ini mirip sama yang ada di film Zero to Hero. Fenomena ini terjadi sehari sebelum dunia mengalami apocalypse."

"Terus lo mikir kalau setelah ini, dunia mau kiamat, gitu?"

"Nggak gitu. Gue cuma ... tiba-tiba inget aja sama film itu. Dan, amit-amit deh. Jangan sampai kiamat dulu. Gue belum nikah, gue bahkan belum ketemu sama pangeran berkuda putih gue."

"Kuda poni!"

"Dih, Layla syirik aja."

"Ya lagian, elo. Yang lain pada fokus dengerin omongan Bu Chitra lo malah ngehalu."

Aku tidak menduga kalau hujan akan turun jauh lebih lama dari dugaan. Jarum jam sudah mulai bergerak ke arah angka lima. Tapi hujan masih saja deras. Meskipun lampu sudah hidup, tapi suara petir yang menggelegar masih saja terdengar.

Bu Chitra sudah meninggalkan ruangan setengah jam yang lalu. Sementara aku dan Fira memilih bertahan karena enggan untuk bersentuhan dengan hujan di luar sana. Ralat, lebih tepatnya aku. Fira tidak memiliki masalah apapun dengan hujan. Hanya aku saja yang memiliki sedikit masalah dengan hujan.

"Lo mau nunggu sampai benar-benar reda, La?"

"Gue nggak bawa payung, La. Dan ... lo tahu sendiri kalau gue benci banget sama hujan."

"Oke. Gue temenin sampai reda. Tapi, daripada di sini, lebih baik kita turun, yuk! Gue mau beli minuman juga di vending mechine."

Aku mengangguk, mengiyakan keinginannya.

Meskipun di luar sana masih hujan, tapi sekolah sudah mulai sepi. Banyak dari para murid sudah meninggalkan sekolah ini dengan membiarkan tubuh mereka diguyur hujan.

"Lo mau?" tanya Fera menyodorkan sekaleng soda ke arahku.

Aku menerima pemberiannya. Membuka, kemudian menenggak isinya. Hawa dingin langsung menyeruak di tenggorokanku. "Makasih, Fir."

Sebuah suara dering ponsel terdengar nyaring. Fira merogoh ponsel di dalam totebagnya kemudian mengangkat panggilan yang masuk.

"Iya, Ma ...." Dia terlihat mendengarkan dengan seksama. "Tapi Fira lagi sama Layla." Dia melirik ke arahku. "Iya ... iya. Ya udah." Kemudian dia mematikan sambungan telepon.

"Kenapa, Fir?"

"Mama udah di depan."

"Ya udah, sana. Lo pergi duluan aja."

"Nggak bisa. Lo ntar sendirian di sini."

"Gue bukan bocah, Fira ... Lo pulang aja duluan!"

“Serius, nih?” Aku mengangguk agar dia cepat pergi.

Saat hujan sudah mulai reda sekitar dua puluh menit sejak Fira pergi, aku melangkah meninggalkan lobi. Tapi baru melangkah sekitar delapan meter, hujan kembali mengguyur. Membasahi tubuhku dan langsung membuatku terdiam tanpa bisa melangkah sedikit pun. Ingatan masa lalu mengenai Jeff tiba-tiba kembali muncul, membuatku tak bisa menggerakan tubuh saat hujan mulai membasahi.

“Lo nggak papa?” suara seseorang tiba-tiba terdengar di telingaku. Guyuran hujan di sekitarku juga langsung terhenti. “Hey?” Suara itu spontan membuatku menoleh ke kanan, dan mendapati seorang cowok sipit dengan wajah yang tidak asing kulihat. Tatapan mata kami bertemu, dan saat kesadaranku kembali, aku melihatnya menaikkan alis.

“Maaf.”

“Lo nggak papa?”

“Nggak. Gue nggak papa. Lo bisa pergi,” ujarku padanya.

“Oke. Tapi bawa payung ini!”

“Nggak!” Aku langsung menolaknya mentah-mentah.

Bukannya pergi dan mendengarkan ucapanku, dia malah meraih tanganku kemudian membuatku memegang payungnya, lalu berlari tanpa pamit menerobos guyuran hujan. Saat hendak memanggilnya, dia sudah terlalu jauh pergi.

“Gue benci hutang budi.”

_________________

-To be continue-

_________________


Terima kasih sudah membaca.
Jangan lupa tinggalkan jejak, agar author semangat untuk upload rutin.

Love you all💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top