Dua - [New Neighbor]
Anak itu memang nggak punya tanggung jawab. Dia pergi saat gue lagi butuh-butuhnya.
-
Aku sampai di rumah sekitar pukul enam sore. Bunda merangkul tiba-tiba begitu aku melewati pintu, kemudian menangis. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Hanya isakan tangis tanpa kata yang membuatku merasa sedikit bingung harus bagaimana menanggapinya.
Di saat yang sama, aku teringat kalau hari ini adalah hari ulang tahun Jeff yang ke-20. Pantas saja Bunda seperti ini lagi.
Sebelum kejadian itu, keluarga kami memiliki sebuah tradisi perayaan ulang tahun. Yaitu menghabiskan waktu bersama. Semua anggota keluarga harus mengosongkan jadwal setelah bekerja atau bersekolah. Bunda menyiapkan sebuah kamera untuk merekam setiap momen di hari itu. Saat semua anggota keluarga telah berkumpul, kami akan mulai pesta perayaan. Jeff mengundang teman-temannya dan konser mini dimulai.
Jeff yang memiliki suara paling merdu, selalu bernyanyi meramaikan suasana. Tak jarang Bunda dan Ayah juga ikut bernyanyi, padahal mereka memiliki suara yang bisa dibilang sumbang. Namun, bukan itu intinya. Hal yang paling penting adalah kebersamaan yang kami lewati bersama. Sampai sekarang, aku memiliki setiap file video ulang tahun Jeff. Totalnya ada sembilan belas. Dan tidak akan pernah bertambah lagi. Sama sepertiku. Karena sejak dia pergi, kami tak lagi bisa menciptakan momen itu. Tradisi itu sudah hilang bersama dengan kepergiannya.
"Harusnya dia sekarang udah dua puluh tahun, La. Kuliah di jurusan seni musik dan albumnya terjual laris," ujarnya di pundakku.
Aku menepuk pelan punggungnya. Berusaha tegar agar bunda tidak pernah melihat sisi lainku yang sama rapuhnya dengannya. Aku harus terlihat kuat dan pulih dari luka itu, lebih dari siapapun.
"Udah setahun. Jeff udah tenang di sana, Bun. Jadi, Bunda harus ikhlasin, ya?" ujarku masih dalam pelukannya. "Nggak perlu dilupain, anggap aja kalau dia lagi ke luar negeri. Karena terlalu betah, dia nggak pulang. Bunda juga masih bisa komunikasi sama dia lewat doa."
Bunda tidak memberikan respon berarti kecuali anggukan. Sesaat setelahnya, dia melepaskan pelukannya dariku. Wajahnya yang tirus dengan tulang pipi menonjol tampak lelah. Lingkaran di sekitar matanya juga terlihat jelas. Aku lupa kapan terakhir kali bunda merawat diri dan merias wajah.
Kuhapus air mata yang mengalir di pipinya. Tersenyum kecil, kemudian berkata, "Bunda masih punya aku. Dan aku janji nggak akan pernah ninggalin Bunda."
Dia mengangguk dan perlahan menyunggingkan senyuman kecil. Menggenggam kedua tanganku dengan erat. Senyuman bunda tampak dipaksakan, tapi bukan masalah. Setidaknya, dia setuju dengan ucapanku.
"Kamu beli payung?" tanya Bunda menyadarkanku kalau sejak tadi, aku masih menggenggam payung hitam pemberian cowok itu.
"Uh ... ini. Ini punya ...." Aku berpikir cepat untuk mencari jawaban lain. Bunda akan berpikir aneh kalau aku bilang payung ini pemberian cowok nggak dikenal. "Punya Fira. Tadi tante Mila jemput, dan Fira ngasih payung ini ke aku."
"Hitam? Bukannya anak itu nggak suka warna hitam?" Kenapa, sih ... bunda inget soal ini?
"Nggak tahu, Bun. Mungkin punya kakaknya atau ... lagian aku cuma make doang, Bun," ujarku meletakkan payung itu bersama dengan dua payung lainnya, kemudian bergegas masuk kamar.
Kamarku didominasi cat warna putih. Tak ada poster, foto, atau hiasan apapun yang melekat di dinding. Membuatnya terlihat sangat polos dan sederhana. Mejaku juga hanya berisi buku, laptop dan sahabat karibya, serta make up sederhana milikku. Semenjak pindah ke sini, aku kehilangan minat pada hampir semua hal. Bahkan hal yang paling kusukai.
Enggan membiarkan Bunda sendirian lebih lama dan kembali ke situasi tadi, setelah mandi dan berganti pakaian aku duduk di sebelahnya. Menonton tv sambil menyandarkan kepala di bahunya.
"Maaf," ujarnya tiba-tiba.
Aku menegakkan tubuh. "Kenapa?"
"Bunda bahkan nggak tanya keadaan kamu tadi. Kamu sempat kehujanan, kan?" tanya Bunda tiba-tiba.
"Oh ... enggak. Itu cuma ... tadi ada angin gede pas ujan. Jadi, kena ke badan. Lagian, aku nggak papa, kok. Aku udah nggak ada masalah sama hujan. Serius."
"Kamu yakin?" Bunda sepertinya melihat kebohonganku.
"Iya. Oh ya, bunda udah makan?" Dia menggeleng. "Aku mau pesen makanan online. Bunda mau apa?"
"Samain aja sama kamu."
"OK." Aku merespon sambil membuka aplikasi pemesanan makanan.
Belum sampai sepuluh menit memesan, suara bel berbunyi nyaring. "Cepet banget," gumamku sambil beranjak dari sofa. Bergegas ke arah pintu, kemudian membukanya.
Untuk sesaat, aku tidak berkedip. Sama seperti sosok pria jangkung di depanku yang tengah membawa sebuah kotak putih yang mirip dengan kotak nasi. Pakaian cowok itu sangat santai. Hanya kaus putih kedodorah serta celana pendek berwarna coklat muda.
"Kamu?" ujarnya tiba-tiba.
Di saat yang sama, aku mengedipkan mata karena mulai kering. Untuk sesaat, aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Meskipun tetap saja, aku merasa aneh kenapa cowok ini tiba-tiba bisa berada di sini.
"Ada apa?"
Dia menyodorkan sebuah kotak berwarna putih ke arahku. "Kami sekeluarga baru pindah ke sini kemarin. Gue tinggal di lantai bawah."
Oke. Rupanya dia paham dengan pertanyaan di kepalaku.
"Ibu bikin ini buat tetangga sekitar dan karena di lantai bawah, salah satu apartemen hari ini ditinggal penghuninya, jadi dia berinisiatif buat ngasih ini ke tetangga terdekat di lantai atas." Alasan yang lengkap. Padahal aku nggak terlalu peduli.
"Oke. Makasih," ujarku menerima kotak pemberiannya.
"Siapa, La?" tanya Bunda dari dalam.
"Bukan siapa-siapa, Bun. Cuma tetangga baru."
"Tetangga baru?" tanya Bunda yang tiba-tiba saja berada di belakangku sambil melebarkan pintu.
"Sore, Tante ...." Cowok itu menyunggingkan senyuman. Sial ... kenapa dia punya lesung pipi, sih?
"Sore."
"Saya tinggal di lantai bawah. Dan sebagai syukuran pindahan, Ibu saya membuat kue untuk dibagikan ke tetangga terdekat."
"Oh, terima kasih, nak ...."
"Arzen. Saya satu sekolah dengan anak Tante." Eh? Kok tiba-tiba sok kenal? Padahal kenalan saja belum pernah.
"Oh ... kalau gitu, masuk-masuk!"
________________________
-To Be Continue-
________________________
Terima kasih telah membaca.
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk menyemangati author. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top