24
Arka pasti sudah tidak waras, batin Shella ketika ia sampai di lokasi yang tadi sempat dibagikan Arka ke ponselnya.
Tempat bilyard itu jauh dari dugaan Shella. Pantas saja ia tidak bisa menemukan keberadaan Arka. Pasalnya tempat bilyard yang Arka dan teman-temannya kunjungi berada di teras persis di sebelah sebuah warung kopi. Letaknya pun bukan di tepi jalan besar, tapi sedikit masuk gang.
Begitu melihat kedatangan Shella, Arka menghentikan kegiatannya menyodok bola. Gadis itu benar-benar datang, pikir Arka.
"Siapa, Ka?"
Galang yang juga tengah memerhatikan Shella, menghampiri tempat Arka berdiri lalu menyikut lengan cowok itu.
"Temen Airin."
"Lo pacaran sama temen Airin?"
"Nggak."
Shella memasang wajah galak saat berjalan ke arah meja bilyard, begitu juga dengan Galang, Dito, dan Rangga yang ikut-ikutan mengarahkan perhatian pada gadis itu.
"Gue harus bicara sama lo, Ka," ucap Shella tanpa basa basi.
Arka menoleh sejenak ke arah teman-temannya.
"Kalian terusin mainnya. Gue ada perlu sebentar," ucap Arka sembari menyerahkan stik bilyard miliknya kepada Galang.
Ketiga teman Arka serempak mengangguk.
"Kita ngobrol di mana?" tawar Arka pada Shella.
Shella mengarahkan pandangan ke sekeliling.
"Kita ke kafe aja. Lo tahu kafe di dekat sini nggak?"
"Ya, gue tahu."
Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke kafe yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat bilyard itu. Arka mengendarai motornya sendiri karena tak mau berboncengan dengan Shella.
Untuk mencapai kafe itu, mereka hanya butuh waktu tak kurang dari tiga menit. Letak kafe itu berada di tepi jalan besar, yang artinya mereka harus keluar gang.
Kafe itu tergolong sederhana. Didominasi dengan perabotan berbahan kayu dengan hiasan tanaman sulur yang merambat di atap teras depan kafe. Di dalam ruangan sengaja ditaruh pot-pot tanaman untuk mempercantik kafe.
Shella yang memesan minuman kali ini dan tanpa meminta persetujuan dari Arka, gadis itu memesan dua cangkir esspresso.
Sesudah minuman mereka disajikan, percakapan pun dimulailah.
"Airin udah cerita sama gue tentang kejadian itu," ujar Shella mengawali perbincangan.
Arka tak heran lagi jika Airin mengatakan semua hal yang terjadi di antara mereka berdua pada Shella. Konon seorang wanita lebih suka menceritakan permasalahan pribadinya pada sahabat yang ia percayai. Dan itu akan membuatnya merasa lega meski pada dasarnya tidak menyelesaikan masalah. Namun sebaliknya laki-laki cenderung akan memendam sendiri permasalahan pribadinya ketimbang bercerita pada orang terdekatnya sekalipun.
"Airin bilang saat dia pertama kali melihat lo, dia melihat Azzam pada diri lo. Makanya tanpa sadar dia salah manggil nama lo," jelas Shella.
"Apa itu masuk akal?"
"Kenapa nggak? Gue sama Airin sahabat dekat, Ka. Nggak ada kebohongan di antara kami. Gue yakin seratus persen sama Airin." Dengan percaya diri Shella membanggakan persahabatannya dengan Airin di depan Arka.
"Ya, ya." Kepala Arka manggut-manggut. "Mungkin Airin nggak bohong. Tapi, gimana kalau dia berhalusinasi karena sebelumnya dia selalu mikirin Azzam?"
Shella menyesap esspresso miliknya sedikit.
"Dulu, setelah Azzam meninggal, Airin mengalami depresi berkepanjangan, Ka. Setelah beberapa bulan terpuruk dia berhasil bangkit dan menata kembali hidupnya. Lalu dia kenal sama lo. Mungkin pada awalnya dia terpaksa nerima lo karena gue terus mendesak dia supaya mau jadi pacar lo. Maksud gue baik, gue cuma ingin Airin melupakan masa lalunya dan memulai lagi kehidupan barunya. Gue akui, kalian berhasil jadian karena ada campur tangan gue," ujar Shella blak-blakan. Bukan berarti pengakuan ini tak berisiko. Shella tahu, mungkin setelah mengetahui segalanya Arka akan melepaskan Airin dan pergi sejauh-jauhnya. Tapi, Arka perlu tahu hal yang sebenarnya.
Arka agak melongo usai mendengar kenyataan yang baru saja dibeberkan Shella. Pantas saja dulu ia tak perlu berjuang keras untuk mendapatkan Airin. Jalan untuk mendekati Airin begitu mudah dan lancar. Tapi, nyatanya ada sebuah keterpaksaan di sana. Dan firasat Arka memang benar.
Shella pun melanjutkan penuturannya,
"Mungkin awalnya Airin nggak ada ketertarikan sama lo. Karena pada prinsipnya lo berbeda dari Azzam. Artinya lo bukan tipe Airin."
Arka terenyak. Shella terlalu jujur dan terkadang kejujuran itu menyakitkan. Tapi, Arka masih menunggu kelanjutan kalimat Shella. Ia bahkan hanya menyimak penuturan Shella tanpa menyela sedikit pun. Ia akan menjadi pendengar yang baik.
"Tapi, akhir-akhir ini gue merasa Airin mulai punya perasaan sama lo. Dia sayang sama lo, Ka. Cuma Airin nggak menyadari hal itu. Buktinya saat lo hilang, Airin jatuh sakit karena terus mikirin lo."
"Bukannya itu karena dia mikirin Azzam? Airin merasa sedih karena dia harus kehilangan seseorang lagi dengan cara yang sama?" Barulah Arka menyela.
"Udah jelas dia mikirin lo, lah. Dia nggak mau kehilangan lo, Ka. Karena dia sayang banget sama lo. Paham?" cetus Shella berusaha memprovokasi pemikiran Arka.
Tapi, apa yang terjadi? Arka justru mengembangkan tawa, seolah ucapan Shella terdengar menggelikan untuknya.
"Udah, deh. Lo mau meracuni pikiran gue, kan?"
"Lo masih inget, saat lo tersesat di gunung dan lo ketemu seseorang yang menyelamatkan lo?" Shella mengajak Arka kembali ke momen saat cowok itu tersesat di gunung. Karena Arka harus mengingat sesuatu.
"Ya. Gue inget." Arka mengangguk. Kejadian itu seolah baru dialaminya kemarin. Tak mungkin Arka lupa begitu saja.
"Lo inget apa yang diucapkan orang itu? Kalau lo harus menjaga cewek yang ada di deket lo. Gue rasa, cewek yang harus lo jaga itu Airin, Ka."
Arka terdiam. Memang benar si penyelamat itu berpesan agar Arka menjaga gadis yang ada di dekatnya. Tapi, dia tidak menyebutkan secara spesifik nama atau ciri-ciri gadis itu.
"Kenapa lo berpikir kayak gitu?" Arka merasa ragu jika maksud orang itu adalah Airin.
"Karena Airin kan cewek lo, Ka. Emangnya lo punya cewek lagi selain Airin?"
Arka menggeleng.
"Tapi belum pasti yang dimaksud itu Airin, kan?"
"Ya, emang." Sebenarnya itu cuma dugaan Shella saja. Agar Arka bersedia kembali pada Airin dan melupakan kejadian salah panggil itu. "Tapi, pesan itu jelas menjurus ke arah Airin."
Pikiran Arka buntu. Kalau saja orang itu menyebutkan nama Airin, maka semuanya akan jelas. Ia tak perlu menduga-duga seperti ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top