23
Shella menepikan motor matik yang dikendarainya ke arah penjual es kelapa yang mangkal di pinggir jalan. Cuaca yang panas membuatnya gerah dan kehausan. Apalagi ia baru saja berkeliling dari satu tempat bilyard ke tempat bilyard yang lain hanya demi mencari Arka.
Arka masih belum ia temukan. Shella hanya mengandalkan keberuntungan tadi dan benar saja, nasib baik masih belum berpihak padanya. Pasalnya tidak ada petunjuk sama sekali tentang tempat bilyard yang dikunjungi Arka dan teman-temannya. Shella hanya mendatangi tempat bilyard yang paling dekat dengan kampus, tapi agaknya tempat bilyard yang Arka kunjungi tidak berada di sekitaran kampus.
Kalau saja ponsel Arka tidak mati, Shella tidak akan semenderita ini.
"Es kelapanya satu, Bang," pesan Shella pada penjual es kelapa.
"Dibungkus apa diminum sini?"
"Minum sini."
Shella mengambil tempat duduk di sebuah kursi plastik, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Kali ini ia mencoba untuk menghubungi nomor kontak Arka. Dan tersambung!
Shella nyaris melompat kegirangan saat mengetahui nomor telepon milik Arka aktif.
"Halo?"
Jelas-jelas itu suara Arka meski terdengar malas dan tak bersemangat.
"Halo, Ka. Lo di mana sekarang? Kita bisa ketemu nggak?" Shella memberondong cowok itu dengan pertanyaan.
Tak terdengar jawaban selama beberapa waktu. Arka pasti sedang berpikir.
"Emang ada apaan?"
Arka tidak memberi kejelasan di mana posisinya sekarang atau kepastian untuk bertemu dengan Shella.
"Gue mau ngomong sama lo."
"Soal Airin lagi?" Arka tidak bodoh. Makanya ia bisa masuk fakultas teknik. Cowok itu menebak dengan tepat maksud Shella meneleponnya. Shella seperti perantara Arka dan Airin. Tapi, lama-lama Arka merasa Shella terlalu banyak terlibat dalam hubungan asmaranya dengan Airin. Dan pada akhirnya Arka merasa tidak nyaman.
"Ini Mbak es kelapanya." Suara penjual es kelapa memutus sejenak komunikasi antara Shella dan Arka via telepon. Sebuah gelas berukuran besar berisi es kelapa disodorkan penjual ke hadapan Shella. Gadis itu tidak mungkin menolak karena ia sudah menunggu sejak tadi.
"Makasih, Bang." Shella tak langsung menyeruput es kelapanya karena takut Arka akan memutus sambungan telepon. "Ya, gue mau ngomong sama lo soal Airin. Serius," lanjut Shella. Ia buru-buru menyeruput es kelapanya melalui sedotan plastik.
"Ya udah, ngomong aja," suruh Arka terkesan menanggapi ucapan Shella dengan sikap cuek.
"Nggak bisa di telepon, Ka. Kita harus ngomong empat mata," ucap Shella.
"Emang mau ngomong apaan, sih?"
"Gini aja. Posisi lo di mana sekarang? Biar gue samperin ke sana. Apa lo sama temen-temen lo sekarang?" pancing Shella ingin tahu lokasi keberadaan Arka.
"Emang sepenting apa, sih?"
"Penting pakai banget, Ka. Lo masih sayang sama Airin, kan?"
Tak ada sahutan selama beberapa saat dari pihak Arka.
"Gue rasa, gue dan Airin bisa mengatasi masalah kami. Lo nggak usah repot-repot menjadi Mak comblang kami lagi." Agaknya Arka enggan untuk bertemu dengan Shella.
"Lo mau putus dari Airin?"
"Mau putus atau nggak, nggak ada hubungannya sama lo, Shel." Arka mulai memicu perdebatan di antara mereka.
"Gue nggak bermaksud terlibat lebih jauh, Ka. Tapi gue sahabatnya Airin, jadi gue merasa gue harus membantu Airin menjernihkan masalah di antara kalian."
Tawa terdengar dari seberang sana. Arka menertawakan kalimat Shella. Entah bagian mana yang dirasa lucu olehnya.
"Cewek emang selalu gitu, ya? Ada masalah sedikit aja dengan cowoknya, diceritain sama temen-temennya."
Shella merasa tersindir oleh ucapan Arka.
"Gini aja, deh." Merasa percakapan mereka tak kunjung menemukan titik temu, Shella merencanakan ide lain. "Sekarang lo ada di mana, bilang sama gue. Gue akan ke sana dan kita ngobrol. Banyak yang ingin gue obrolin sama lo."
"Gue lagi sibuk sekarang ... "
"Sibuk main bilyard?" tukas Shella meski tak bisa menangkap suara benturan bola-bola bilyard di belakang Arka.
"Lo kok bisa tahu kalau gue main bilyard?"
"Itu nggak penting sekarang. Yang penting kita ketemu dan ngobrol. Demi masa depan lo sama Airin, Ka. Lo nggak mau mempertahankan Airin?"
"Bukan gue yang nggak mau mempertahankan Airin, tapi dia yang nggak bisa nerima gue sepenuhnya, Shel. Jadi, buat apa gue bertahan? Percuma, kan? Misalkan lo suka sama seseorang, tapi orang itu menyukai orang lain, gimana perasaan lo, hah?" Sebuah perumpamaan meluncur dari bibir Arka untuk Shella. Biar gadis itu bisa memahami perasaan Arka.
"Tapi Azzam udah nggak ada, Ka. Masa lo cemburu sama Azzam, sih? Lo nggak kasihan sama dia?"
Terdengar helaan napas panjang dari ujung telepon.
"Gue mau menjauh sementara dari Airin, Shel. Gue butuh waktu untuk berpikir."
"Tapi, sebelum lo menjauh dari Airin dan berpikir, sebaiknya lo dengerin gue ngomong. Setelah itu lo boleh memutuskan untuk putus atau lanjut, gimana?" tawar Shella.
"Kenapa sih lo mau melakukan semua ini buat Airin? Nggak ada untungnya juga buat lo, kan? Atau lo punya utang budi sama dia?"
"Udah deh, Ka. Lo bilang aja di mana posisi lo sekarang, biar gue samperin ke sana," ucap Shella ngotot ingin bertemu Arka.
"Gue lagi nggak ingin ketemu siapa-siapa sekarang."
"Arka!"
"Apaan sih? Cewek kok teriak-teriak segitu kencangnya," maki Arka kesal. Menurutnya Shella adalah Galang versi perempuan. Tapi, jika dipikir-pikir Galang tidak secerewet itu.
Arka ingin sekali menutup teleponnya secepat mungkin, tapi Shella keburu bicara.
"Share lokasi lo sekarang atau lo nggak akan pernah punya kesempatan buat balikan lagi sama Airin," ancam Shella mengeluarkan jurus pamungkasnya. Sebenarnya ia tak serius ingin memisahkan Airin dan Arka. Itu hanya gertakan belaka.
"Jadi lo maksa gue nih ceritanya?"
"Iya, makanya lo share lokasi lo sekarang. Gue nggak main-main, Ka."
Samar-samar terdengar gumaman tak jelas dari bibir Arka dan sedetik kemudian sambungan komunikasi di antara mereka berdua terputus.
Ajaibnya selang beberapa detik kemudian sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Shella. Dan gadis itu buru-buru menghabiskan es kelapa di dalam gelas, lalu setelah membayar pada penjualnya, Shella langsung meluncur kembali ke jalan raya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top