21
Shella langsung mengembangkan seulas senyum bahagia saat ia melihat sosok Airin berjalan dari kejauhan. Dengan setengah berlari Shella bergerak menjemput kedatangan sahabatnya. Mereka telah berjanji untuk bertemu satu jam sebelum mata kuliah pertama dimulai hari ini.
"Gue seneng akhirnya lo masuk kuliah lagi, Rin," sambut Shella mengekspresikan kebahagiaannya. Namun, bukan ekspresi yang sama terlukis di wajah Airin. Gadis itu cenderung terlihat murung.
"Bisa kita ngobrol sambil duduk?" pinta Airin dengan mengedarkan pandangan ke segenap penjuru taman kecil yang berada tak jauh dari gedung Sastra.
Di salah satu titik ada sebuah bangku kayu yang kosong tak berpenghuni. Area kampus masih lumayan sepi pagi ini.
"Boleh," sahut Shella. Tadi pagi Airin sengaja menelepon Shella dan meminta untuk bertemu sebelum jam kuliah dimulai. Jadi, Shella langsung menyetujui saat Airin mengajaknya untuk mencari tempat duduk.
Tak sampai satu menit untuk tiba di bangku kayu yang dimaksud Airin.
"Ada apa, Rin?" tanya Shella memulai percakapan setelah mereka berdua mengambil tempat duduk di atas bangku kayu.
Raut wajah Airin hanya menjelaskan jika ia sedang punya masalah. Dan Shella tak bisa menebak-nebak, pasalnya Arka telah kembali dengan selamat. Seharusnya semua masalah tentang Arka terselesaikan, bukan?
Airin tampak ragu untuk mengungkapkan persoalan yang kini mendera perasaannya.
"Apa ini tentang Arka?" Sebenarnya Shella agak ragu juga untuk menebak. Tapi, siapa sangka kepala Airin justru mengangguk. "Lho, emang kenapa? Bukannya Arka udah kembali? Apa dia nggak mau minta maaf karena udah bohongin lo?"
"Bukan itu, Shel." Airin dengan cepat menukas ucapan sahabatnya.
"Lalu apa dong?" Penasaran juga Shella dibuatnya.
Airin membuang napas dengan gelisah.
"Gue bahagia Arka kembali, Shel. Tapi, gue udah melakukan kesalahan besar," ujar Airin dengan suara pelan.
"Kesalahan besar apa maksud lo, Rin?"
"Waktu Arka ke rumah gue, gue salah panggil namanya, Shel. Tanpa sadar gue panggil dia Azzam," ungkap Airin.
Shella kaget.
"Kok bisa?" Shella nyaris menjerit. "Gimana bisa lo panggil dia Azzam?"
"Saat pertama kali gue melihat ke arah Arka, yang gue lihat Azzam, Shel. Dan gue spontan manggil nama Azzam."
"Astaga," desis Shella yang dengan cepat segera menutup mulut menggunakan telapak tangan kanannya. "Lo pasti berhalusinasi, Rin."
"Gue nggak tahu, Shel," keluh Airin terlihat stres. Entah bagaimana ia akan memperbaiki hubungannya dengan Arka nanti setelah kejadian kemarin. Arka pasti kecewa berat.
"Terus gimana reaksi Arka?"
"Dia nanya sama gue siapa Azzam. Dan gue terpaksa cerita kalau Azzam dulu adalah cowok gue yang udah meninggal. Arka marah sama gue, Shel. Dia bilang yang ada di hati gue bukan dia, tapi Azzam. Karena gue salah manggil namanya. Arka juga bilang kalau dia nggak pantas menggantikan posisi Azzam di hati gue. Dan kayaknya dia mundur dari hubungan kami, Shel."
"Kalian putus?"
"Dia nggak ngomong, sih. Tapi, sikapnya menjurus ke arah situ."
"Ya, ampun." Shella merasa bingung juga memikirkan masalah Airin. Kalau saja Airin tidak salah ucap, semua ini tidak akan terjadi. Tapi, Arka juga tidak bisa lepas dari kesalahan. Bukankah semua ini berawal dari kengototannya pergi mendaki gunung?
"Gue udah kehilangan Azzam, Shel. Dan gue juga pernah kehilangan Arka selama seminggu. Lo tahu sendiri gimana kondisi gue saat itu. Gue nggak bisa bayangin gimana hidup gue kalau kejadian itu terulang lagi. Gue mesti terpuruk lagi, gue harus berusaha bangkit dan menerima kenyataan lagi. Gue nggak sekuat itu, Shel," curhat Airin dengan nada pilu. Gadis itu nyaris menitikkan air mata.
Shella mendesah panjang. Hari-harinya juga akan menjadi buruk seandainya Airin kembali mengalami depresi seperti tiga tahun lalu. Pada akhirnya Shella juga yang repot untuk membantu Airin mengatasi keterpurukannya. Shella juga tidak mau itu terulang lagi.
"Lo coba minta maaf aja sama Arka, Rin," ucap Shella seusai merenung cukup lama. Harus ada solusi yang tepat untuk menyatukan Airin dan Arka. "Lo cinta sama Arka, kan?"
Airin mengangguk.
"Ya."
"Gue juga yakin kalau Arka sayang banget sama lo. Dia pasti akan merasa sedih kalau kehilangan lo. Oh ya, Arka kan juga punya salah sama lo. Dia udah bohongin lo soal pendakian itu. Lo masih inget, kan? Mestinya dia minta maaf sama lo karena dia udah bohong. Kalau dipikir-pikir kalian sama-sama punya salah, Rin."
Airin tahu soal itu, tapi Arka sudah terlanjur kecewa. Hatinya pasti terluka. Apa mungkin Arka akan memaafkannya?
"Gimana kalau Arka nggak bisa maafin gue?"
"Lo kan belum mencoba, Rin. Mana tahu hasilnya?"
"Gue nggak yakin, Shel. Arka sangat marah kemarin."
"Lo bujuk aja dia, Rin. Gue juga akan bantu lo, kok. Lo tenang aja," ujar Shella sembari menepuk-nepuk pundak Airin.
Sebenarnya Airin tidak yakin bisa merebut kembali hati Arka. Tapi, seperti kata Shella, ia kan belum mencoba. Bagaimana bisa tahu hasilnya?
Azzam memang masih menghuni hati Airin, tapi Arka juga ada disana. Azzam hanyalah nostalgia terindah di masa lalu dan akan selamanya menempati sebuah ruang di dalam hati Airin. Sementara Arka telah menempati ruang yang lain dan cowok itu telah berhasil menguasai hati Airin. Arka akan menjadi masa depan yang indah bagi Airin. Dengan catatan jika hubungan mereka baik-baik saja.
"Lo mau ke kantin nggak, Rin?" Tak ingin membiarkan Airin larut dalam kesedihan terus menerus, Shella berinisiatif untuk mengajak sahabatnya itu pergi ke kantin. Minum atau makan sesuatu mungkin bisa memperbaiki suasana hati Airin, pikir Shella.
"Gue ... "
"Ayolah. Gue laper banget, nih. Gue nggak sempat sarapan tadi dan lo mesti tanggung jawab. Beliin gue soto ya?"
Sebenarnya Airin malas untuk bangun dari bangku kayu, tapi Shella terus memaksa.
"Iya, iya," sahut Airin yang tangannya sudah ditarik paksa oleh Shella.
"Lo yang traktir, ya?"
"Iya."
Nanti atau besok, kalau ada waktu, Shella berencana akan menemui Arka untuk bicara tentang masalah Airin. Ada hal yang perlu diluruskan di sini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top