20
Akhirnya hari itu tiba. Hari di mana Arka sudah diperbolehkan untuk pulang, begitu pun dengan Airin. Entah kebetulan atau bukan, keduanya keluar dari rumah sakit di hari yang sama.
Arka tak ingin menunggu hingga esok hari. Siang itu juga Arka segera meluncur ke rumah Airin dengan mengendarai motor matik kesayangannya meski mamanya sempat melarang. Namun, Arka berusaha untuk meyakinkan mamanya bahwa ia baik-baik saja dan akan segera pulang setelah urusannya selesai. Bagi Arka meminta maaf Airin adalah prioritas utamanya saat ini.
Begitu tiba di rumah Airin, Arka disambut hangat dan ramah oleh kedua orang tua Airin. Mereka tampak senang karena Arka sudah kembali dalam kondisi selamat. Karena Arka merupakan obat penyembuh untuk luka hati Airin.
"Masuk, Nak Arka," suruh Santi, mama Airin usai membuka pintu.
Meski merasa agak geli dipanggil dengan sebutan 'Nak Arka' cowok itu menuruti perintah mama Airin. Arka masuk ke dalam ruang tamu, sementara Papa Airin telah duduk di sana menunggunya.
"Apa kabar, Arka?" sambut Nugroho seraya menyalami Arka.
"Baik, Om."
"Silakan duduk, Arka. Kita ngobrol sebentar," suruh papa Airin sengaja menahan Arka di ruangan itu sebelum bertemu dengan Airin.
Arka duduk di atas sofa tak jauh dari tubuh papa Airin.
"Om sangat bersyukur kamu bisa pulang kembali, Arka." Nugroho mengungkapkan kegembiraan atas kembalinya Arka sebelum bicara lebih jauh. "Oh ya, sebenarnya apa yang terjadi sama kamu, Arka? Kok kamu bisa hilang lama banget?"
"Saya tersesat, Om. Katanya sih, saya masuk ke dunia gaib," ujar Arka sembari tersenyum tipis.
"Masa sih?"
Mama Airin yang tadi langsung menuju ke dapur, tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah nampan.
"Ini minumnya, Nak Arka," ucap Mama Airin sembari meletakkan sebuah gelas bening berisi jus jeruk yang diberi sedikit es batu.
"Makasih, Tante."
"Kenapa malah diajak ngobrol sih, Pa? Biar Nak Arka ketemu dulu sama Airin, baru diajak ngobrol," seloroh Mama Airin setengah mendelik ke arah suaminya.
"Nggak pa pa, Ma. Kan cuma sebentar," elak Nugroho.
Santi hanya mencibir, lalu mengambil tempat duduk di dekat suaminya.
"Terus bagaimana ceritanya kamu bisa kembali, Arka?" Nugroho kembali fokus menanyai Arka.
"Saya ditolong seseorang, Om. Dia nganterin saya ke jalur pendakian kembali dan akhirnya saya ketemu sama orang-orang yang mencari saya," tutur Arka tak ingin menjelaskan terlalu detail.
"Tapi kamu sudah hilang seminggu lho. Emang kamu makan apa di sana?"
"Saya di sana cuma beberapa jam saja, Om. Jadi saya nggak makan apa-apa. Mungkin karena dimensi waktu dunia manusia dan dunia gaib berbeda. Tapi, setelah kembali saya merasa lemes, Om," ulas Arka.
"Ya sudah, nanti dilanjutin ngobrolnya. Sekarang biar Nak Arka ketemu sama Airin dulu," potong mama Airin menengahi pembicaraan itu. Kasihan Airin yang pasti sudah menunggu kedatangan Arka.
"Saya ke dalam dulu, Om," pamit Arka dengan sopan.
"Ya, ya."
Santi bergegas mengantar Arka menuju ke kamar Airin sejurus kemudian.
Ketika Arka masuk ke dalam kamar Airin, cowok itu melihat Airin sedang duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya mengarah ke jendela yang berada di sudut ruangan. Dari jendela yang terbuka tampak pemandangan sebuah taman kecil yang terletak di samping rumah. Tak banyak tumbuhan yang ada di sana. Hanya beberapa, tapi cukup teduh.
Awalnya Airin tak menyadari jika Arka datang, tapi setelah Arka memanggil namanya, barulah Airin menoleh.
"Airin."
Arka masih berdiri kaku di depan pintu dan belum melangkahkan kakinya masuk. Pasalnya ia ingat telah berbohong pada Airin dan karena dirinya lah gadis itu jatuh sakit.
Airin pun menoleh. Wajah gadis itu sudah tidak sepucat sebelumnya. Hanya saja pipinya masih tirus karena Airin kehilangan beberapa kilo berat badannya selama sakit. Butuh beberapa bulan untuk menormalkan kembali bobot tubuhnya.
Sepasang mata Airin melebar begitu ia menemukan sosok Arka sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Perlahan gadis itu bangun dari tempat duduknya, lalu berjalan ke arah Arka.
"Azzam?"
Arka tercekat begitu mendengar Airin menyebutkan sebuah nama. Gadis itu memang berjalan ke arahnya, tapi bukan nama Arka yang dipanggilnya. Melainkan nama seseorang. Dan telinga Arka menangkap sebuah nama dengan jelas. Azzam.
Langkah Airin seketika membeku tepat tiga langkah di hadapan Arka. Gadis itu baru menyadari jika ia telah salah menyebutkan nama. Ekspresi bersalah menghias wajah gadis itu.
Arka bingung. Akan tetapi, ia mulai menghubungkan cerita Shella beberapa hari yang lalu dengan apa yang baru saja didengarnya dari bibir Airin. Apakah kekasih Airin yang meninggal itu bernama Azzam? Tapi kenapa Airin bisa salah menyebut nama?
"Azzam?" Di tengah situasi mencekam itu, Arka mengulang kembali nama yang baru saja disebut Airin. "Siapa Azzam?"
Airin tampak kebingungan dan salah tingkah. Seharusnya ia tidak melakukan kesalahan itu di depan Arka.
"Airin, jawab gue," paksa Arka, tapi dengan nada kalem.
Airin tak punya pilihan. Ia terjebak karena keceplosan menyebut nama Azzam di depan Arka.
"Maafin gue, Ka," ucap Airin dengan wajah menghadap ke lantai. Rasa bersalah membuatnya tak berani menatap sepasang mata Arka.
Semestinya Arka yang minta maaf, tapi justru keadaan berbalik 180 derajat. Airin yang jadi minta maaf pada Arka.
"Lo nggak ingin cerita sama gue tentang Azzam?"
Airin terdiam beberapa saat.
"Dulu Azzam adalah cowok gue dan dia udah nggak ada di dunia ini," ujar Airin singkat dan tidak sedetail yang Arka harapkan. Padahal Arka berharap akan mendengarkan cerita tentang Azzam dalam versi lengkap. Minimal seperti yang diceritakan Shella padanya saat di rumah sakit.
Arka menghela napas panjang.
"Dan lo baru saja mikirin dia, kan?"
Pertanyaan Arka spontan memaksa Airin mengangkat wajah.
"Ka!" seru Airin tak terima dituduh memikirkan Azzam hanya karena dia salah menyebut nama.
"Itu fakta, Rin. Kalau lo mikirin gue, otomatis nama gue ada di benak lo. Dan apa yang lo lakuin tadi, membuktikan kalau gue nggak ada di dalam benak lo," ucap Arka menusuk. Ia pun sendiri merasa kecewa dengan kesimpulannya sendiri.
"Arka. Kok, lo ngomong gitu, sih?"
"Belakangan ini gue yakin, kalau gue ada di dalam hati lo. Tapi, nyatanya gue salah. Lo masih menyimpan dia di hati lo. Dan gue baru tahu kalau gue nggak lebih layak menggantikan posisi dia di dalam hati lo," tandas Arka dengan menahan emosinya.
Arka hendak membalik tubuh, tapi tangan kurus milik Airin telah lebih dulu menahan lengan cowok itu.
"Jangan pergi, Ka," pinta Airin hampir menangis. Ia pernah kehilangan Arka selama tujuh hari dan Airin tak ingin kehilangan Arka selamanya. "Gue sayang lo."
Arka menyunggingkan senyum getir di balik pandangan Airin.
"Tapi lo masih lebih sayang dia, Rin. Gue nggak cemburu. Gue cuma merasa nggak pantas aja ada di samping lo. Karena kenyataannya gue nggak bisa menggantikan dia di dalam hati lo," tandas Arka dengan perlahan-lahan melepaskan tangan Airin dari lengan jaket kulitnya.
Airin tak bisa mencegah kepergian Arka. Hanya air matanya yang tiba-tiba merembes keluar dan menjadi saksi kepergian Arka siang itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top