19

"Saat itu gue berjalan di barisan paling belakang," Arka mulai bertutur sesuai permintaan Shella. Sedang gadis itu telah menyiapkan kedua telinganya untuk menyimak penuturan Arka baik-baik tanpa ada satu hal pun yang ingin ia lewatkan. "Sebelumnya gue ngobrol sama Dito, tapi habis gitu kami nggak melanjutkan obrolan," lanjut Arka tanpa menyebutkan jika Yopi yang memintanya untuk berjalan di barisan paling belakang. Arka tak ingin orang-orang menyalahkan Yopi atas kejadian yang menimpanya.

"Terus?" Shella ingin tahu kelanjutannya.

"Setelah beberapa menit nggak ada obrolan, tiba-tiba saja pundak gue ditepuk dari belakang. Spontan gue noleh, dong."

"Emang siapa yang nepuk pundak lo?" tukas Shella penasaran.

"Seorang kakek-kakek. Umurnya mungkin diatas 60, nggak terlalu tinggi, badannya kurus, dan rambutnya panjang sebahu tapi tipis. Jenggotnya juga berwarna putih. Dia memakai pakaian serba hitam dan dia juga memakai ikat kepala. Oh ya, tubuhnya kelihatan sehat, tapi dia membawa sebuah tongkat kayu," papar Arka sembari mengingat-ingat kembali peristiwa yang dialaminya beberapa waktu lalu.

"Emang mau ngapain kakek itu?"

"Dia nyuruh gue supaya ikut dia."

"Dan lo ikut gitu aja?" timpal Shella cepat.

Arka langsung mengangguk.

"Ya, gue ikut kakek-kakek itu."

"Kok lo mau sih, Ka? Lo kan nggak kenal sama kakek itu?" tanya Shella setengah protes. Di antara sekian banyak orang yang mewawancarai Arka, Shella adalah satu-satunya orang paling cerewet yang Arka temui. Gadis itu banyak bertanya, padahal tanpa ditanya pun, Arka akan menjelaskan semuanya pada Shella.

"Itulah anehnya, Shel. Tiba-tiba saja gue linglung. Gue nggak inget kalau gue harus berjalan menyusul temen-temen gue ke bawah. Karena kami nggak boleh kemalaman."

"Oh?" Shella hanya takjub.

"Gue berjalan mengikuti kakek itu," ujar Arka meneruskan ceritanya. "Gunung yang tadinya hanya ada semak belukar dan pepohonan, tiba-tiba saja semuanya berubah. Gue dan kakek itu memasuki sebuah perkampungan. Ya, seperti perkampungan biasa, tapi di sana sepi. Nggak ada orang. Kakek itu berhenti di depan sebuah rumah. Dia bertanya sama gue, apa gue mau tinggal di sana."

"Terus lo jawab apa?"

"Belum sempat gue jawab, Shel. Karena tiba-tiba ada orang yang datang ke tempat itu."

"Siapa emangnya?"

"Orang itu seumuran kita kayaknya."

"Cowok?"

"Iya, cowok. Orangnya tinggi, kira-kira hampir sama dengan gue. Badannya berisi dan kulitnya sawo matang. Dia memakai kemeja kotak-kotak dan celana jins. Gue nggak tahu dari mana dia datang, tiba-tiba aja dia udah ada di tempat itu."

Shella terdiam dan menyimak penuturan Arka.

"Cowok itu nanya sama kakek tadi, siapa dia? Maksudnya gue. Kakek itu bilang, itu bukan urusan si cowok itu tadi. Kakek itu terlihat marah dan di situ gue ketakutan banget. Gue penasaran apa yang sedang terjadi di sana. Tapi, gue nggak berani nanya."

"Terus?"

"Cowok itu nyuruh si kakek supaya nggak ganggu gue dan memohon agar gue dibiarin pergi."

"Terus, apa si kakek mau nurutin permintaan cowok itu?"

"Awalnya nggak. Tapi, si cowok ngajak kakek itu pergi menjauh dan mereka ngobrol. Gue nggak tahu apa yang mereka obrolkan. Setelah ngobrol, cowok itu mendekati gue dan ngajak gue pergi."

"Gitu doang?"

"Masih ada kelanjutannya," tukas Arka. "Cowok itu nganterin gue balik ke jalur pendakian. Dan kami sempat ngobrol."

"Ngobrol apaan?"

"Dia nyuruh gue cepat-cepat pulang dan melarang gue untuk menengok ke belakang."

"Emang kenapa kalau lo menengok ke belakang?"

"Mungkin gue nggak akan bisa kembali."

"Oh." Shella mengangguk. Ia mulai memahami maksud cerita itu.

"Cowok itu juga berpesan sama gue supaya gue jagain cewek yang deket sama gue."

"Maksudnya Airin?" tebak Shella. Kalau bukan Airin siapa lagi? Ceritanya akan berbeda kalau Arka dekat dengan gadis lain.

"Mungkin. Emang gue punya cewek lain selain Airin?"

"Ya mana gue tahu," maki Shella seraya meninju pundak Arka. "Eh, tapi kok aneh. Ngapain cowok itu nyuruh lo buat jagain Airin? Kan dia nggak kenal Airin. Sebelumnya lo juga belum pernah ketemu dia kan?"

"Nggak. Gue baru pertama ketemu cowok itu."

"Dan lo nggak cerita sama dia tentang Airin, kan?"

Arka melepaskan tawa getir.

"Ya, nggak lah, Shel. Mana mungkin gue cerita-cerita soal cewek gue sama cowok lain. Gue masih waras, kok. Lagian situasi itu sangat membingungkan dan aneh. Gue cuma kepikiran pingin cepet-cepet pulang. Itu doang," ujar Arka.

"Terus, gimana ceritanya sampai lo ditemukan?"

"Cowok itu berjalan di belakang gue waktu nganterin gue kembali ke jalur pendakian. Kami nggak banyak ngobrol, cuma bicara itu doang. Tiba-tiba aja gue ketemu sama tim SAR dan polisi. Waktu gue noleh ke belakang, cowok itu udah nggak ada."

"Lo nyadar kan, kalau lo udah hilang selama seminggu?"

Arka menggeleng.

"Gue diberitahu kalau gue udah hilang selama seminggu. Seingat gue, gue cuma beberapa jam aja di tempat itu."

"Dan lo nyadar sekarang kalau lo ditarik ke dunia lain? Kalau cowok itu nggak nolongin lo, gue nggak yakin lo akan selamat, Ka."

"Ya, pada akhirnya gue sadar kalau gue masuk ke dimensi lain."

"Ka." Shella merasa ini saatnya untuk bicara pada Arka tentang masa lalu Airin. "Gue nggak tahu ini bener atau salah, karena ini rahasia yang gue dan Airin jaga selama ini. Tapi, gue merasa lo harus tahu."

Mendadak Arka mengerutkan kening.

"Ada apa emangnya, Shel?"

"Gini, Ka." Shella menarik napas panjang sebelum mulai bertutur. Ia akan menceritakan masa lalu Airin dengan singkat. "Sebenarnya dulu Airin pernah punya cowok. Dia pendaki juga. Dan dia meninggal jatuh ke jurang. Itulah kenapa Airin nggak suka kalau lo pergi mendaki. Lo paham kan, sekarang?"

Sepasang mata teduh milik Arka terbeliak tak percaya.

"Yang bener, Shel?"

Shella tak bersuara, tapi anggukan kepalanya terkesan mantap.

"Jadi, itu alasannya?" gumam Arka.

"Airin takut terjadi sesuatu sama lo, Ka. Dia kepikiran lo terus sampai dia sakit. Makanya gue minta setelah ini lo jangan pernah pergi mendaki lagi. Dan gue juga minta, lo bersikap seolah-olah lo nggak tahu apa-apa tentang masa lalu Airin. Lo mau janji, kan?"

Arka membisu beberapa lama sebelum akhirnya meluluskan permintaan Shella. Sekarang ia bisa memahami perasaan Airin. Kalau saja Airin bicara sejak awal, Arka pasti akan mempertimbangkan keikutsertaannya dalam pendakian itu.

Arka benar-benar menyesal. Ia hanya ingin segera bertemu dengan Airin dan meminta maaf pada gadis itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top