16
Pencarian hari ke-tujuh.
Di rumah Airin papa dan mamanya sedang berbincang tentang putri tunggal mereka. Pasalnya kondisi Airin kian memburuk. Susah sekali untuk membujuk gadis itu agar mau makan. Paling tidak Airin makan sesuatu, kue atau buah agar ia tak jatuh sakit.
"Apa Airin mau makan, Ma?"
Nugroho, papa Airin menegur istrinya ketika wanita itu keluar dari kamar putri mereka. Tadi ia sempat melihat Santi, istrinya, membawakan irisan buah apel ke dalam kamar Airin.
Namun, Santi hanya menggeleng pelan.
"Nggak, Pa. Mama sudah membujuknya, tapi Airin nggak mau makan. Jadi makanannya mama tinggal di sana. Mama takut Airin sakit, Pa," jelas Santi mengutarakan kekhawatirannya akan kondisi Airin yang memprihatinkan.
Papa Airin menghela napas panjang. Ia lantas mengajak istrinya untuk berbicara diruang tamu agar Airin tak bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Mama takut Airin akan mengalami hal yang sama seperti tiga tahun lalu, Pa," ucap Santi meneruskan perbincangan mereka yang sempat terjeda beberapa saat.
Nugroho pun bisa membaca situasi.
"Kondisi Airin memang mengarah ke sana, Ma." Mereka tak bisa memungkiri kenyataan kalau kondisi Airin mulai memburuk.
"Apa nggak sebaiknya kita membawa Airin ke rumah sakit, Pa? Minimal dokter bisa memberinya infus, kan?" usul Santi yang tak ingin keadaan Airin bertambah buruk.
Nugroho tak langsung memutuskan.
Tiga tahun yang lalu Airin juga mengalami hal yang sama dengan yang ia alami sekarang. Melamun, susah makan, dan tidak melakukan aktivitas apapun. Tubuhnya kurus dan ia tampak menyedihkan. Pikiran Airin mulai linglung dan ia kerap memanggil-manggil nama Azzam. Namun, Nugroho dan Santi tidak tinggal diam. Mereka berusaha mencari seorang psikiater untuk membantu menangani kondisi Airin. Ada Shella juga yang mendukung kesembuhan Airin kala itu. Peran Shella merupakan hal yang paling penting dalam kesembuhan Airin.
"Bagaimana kalau kita panggil Shella saja?" Nugroho justru mengusulkan sesuatu yang lain.
"Apa kita nggak merepotkan Shella? Dulu dia sudah banyak membantu Airin, Pa. Mama takut mengganggu jadwal kuliah Shella. Kalau dulu mereka kan masih SMA. Tugas dari sekolah juga nggak sebanyak saat kuliah," ujar Santi usai merenung sejenak.
"Habisnya bagaimana lagi, Ma? Kalau Shella bisa membantu Airin untuk mengatasi masalahnya, kenapa nggak? Shella juga sudah kita anggap keluarga sendiri."
Santi terdiam.
Shella memang menjadi tumpuan hidup Airin saat ia terpuruk. Akan tetapi, Santi merasa tidak enak jika harus meminta bantuan Shella. Ia tak ingin membebani siapapun.
"Apa sudah ada kabar tentang Arka, Ma?" Nugroho beralih topik. Karena sejak tadi istrinya tampak diam. Ia berpikir cukup lama.
"Belum, Pa."
"Ini sudah hari ke berapa, Ma?"
"Tujuh."
"Masa sampai hari ke-tujuh mereka belum bisa menemukan Arka?" gumam Nugroho setengah mengomel.
"Mama nggak tahu, Pa. Arka seperti menghilang di telan bumi."
Di dalam benak Nugroho tersimpan sebuah kekhawatiran. Begitu juga dengan Santi. Namun, mereka tidak mampu untuk mengungkapkan bentuk kekhawatiran itu karena mereka terlalu takut jika kemungkinan terburuk itu benar-benar menjadi nyata.
Bagaimana nasib Airin jika Arka meninggal?
Nugroho dan Santi tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi. Bagaimana Airin akan menjalani hari-harinya? Bagaimana ia bisa bangkit setelah kejadian serupa menimpa dirinya? Bisakah gadis itu mengulang masa-masa ketika ia bangkit dan menata hidupnya kembali?
"Sebenarnya mama sudah seneng Airin sama Arka," ujar Santi setelah hening sesaat. Wanita itu ingin mencurahkan isi hatinya. "Mama sempat takut Airin menutup hatinya setelah kepergian Azzam. Tapi, setelah kemunculan Arka, mama lega Airin bisa membuka hatinya."
Nugroho hanya terdiam sembari menyimak curhatan istrinya.
"Siapapun yang bersama Airin nanti, Mama pasti akan memberikan restu. Yang penting Airin bahagia," lanjut Santi.
"Airin kan masih kuliah, Ma. Pikiran Mama terlalu jauh," seloroh Nugroho.
"Sebenarnya Airin nggak kuliah juga nggak pa pa. Airin kan putri kita satu-satunya. Yang paling penting Airin menemukan kebahagiaannya," tandas Santi.
Nugroho hanya menyambut ucapan istrinya dengan anggukan ringan.
"Kalau begitu nanti sore Mama akan menelepon Shella. Tapi, Mama nggak mau memaksa dia agar datang kemari terlalu sering. Kasihan dia, Pa," ucap Santi kemudian.
"Terserah Mama saja."
Sementara itu di lokasi pencarian Arka, tim dari kepolisian dan SAR, serta warga sekitar masih terus menyisir rute pendakian yang pernah dilalui Arka dan teman-temannya. Mereka sudah melewati jalur itu beberapa kali dan masih tak menemukan apapun. Jejak Arka juga nihil.
Mereka juga menyisir luar jalur pendakian. Memeriksa jurang dan area berbahaya lainnya, kalau-kalau Arka ada di tempat yang jauh dari jangkauan. Namun, masih belum ada tanda-tanda keberadaan Arka.
"Emangnya di gunung ini pernah ada orang hilang, Pak?" Seseorang dari tim SAR mengajak ngobrol salah satu warga yang dengan sukarela turut serta dalam pencarian itu.
"Tiap tahun pasti ada yang hilang atau meninggal di gunung ini, Mas," balas seorang laki-laki paruh baya bertubuh kurus. Ia memegang sebuah tongkat kayu yang dipergunakan untuk membantu perjalanannya di area-area sulit. Tenaganya tak kalah dari tim SAR atau polisi-polisi yang ikut dalam pencarian itu.
"Oh, ya? Kalau orang yang hilang, apa ditemukan, Pak?"
"Ada yang ketemu, ada yang nggak. Biasanya yang ketemu tiba-tiba muncul sendiri. Tapi, kalau yang hilang, ya hilang aja. Nggak ketemu jasadnya atau bekas-bekasnya."
"Kok bisa seperti itu, Pak? Emang orang yang hilang itu ke mana?"
"Dibawa sama penunggu gunung sini, Mas."
"Oh."
"Gunung ini terkenal angker, Mas. Makanya kalau naik gunung ini mesti banyak-banyak berdoa dan nggak boleh bicara kotor. Harus menjaga sikap juga."
Anggota tim SAR itu hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari salah satu warga sekitar yang ikut serta dalam pencarian itu. Sebenarnya ia tidak memercayai hal-hal mistis semacam itu. Tapi, ia tak ingin mengungkapkannya di depan Bapak paruh baya itu.
"Woi, ada orang di sini!"
Sebuah teriakan yang berjarak lima meter dari tempat itu spontan membuat kedua orang yang baru saja berbincang itu seketika mengalihkan perhatian. Seseorang berteriak memberitahukan kalau ia menemukan sosok tubuh tak jauh dari tempatnya berdiri.
Mungkinkah itu Arka yang mereka cari selama tujuh hari terakhir? Apakah ia ditemukan selamat? Ataukah sudah tidak bernyawa?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top