11

"Airin!"

Shella yang tadinya berdiri tak jauh dari pintu kelas, mendadak berlari menghampiri Airin begitu mengetahui sahabatnya itu datang. Wajahnya terlihat tidak santai seperti biasa.

Spontan Airin kaget dan memelankan langkah. Rasa-rasanya sambutan Shella berlebihan pagi ini.

"Kenapa lo baru dateng sih? Gue udah nungguin lo dari tadi, Rin," cecar Shella cepat.

"Lho, emangnya kenapa? Gue belum telat, kan?" Airin bingung dengan perlakuan sahabatnya. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri. Beberapa mahasiswa yang kebetulan sekelas dengannya masih ada di luar ruangan. Berarti Airin belum terlambat, bukan? Tapi, kenapa sikap Shella aneh begitu?

"Lo lihat Facebook nggak?" cecar Shella sengaja tak menggubris pertanyaan Airin.

Airin bertambah bingung karena ditanya soal Facebook.

"Nggak," jawab Airin pelan. Ia bukan tipe orang yang suka memelototi media sosial Facebook. Paling-paling Airin memeriksa grup WhatsApp kalau-kalau ada tugas dari dosen yang mesti mereka kerjakan. "Emang ada apa sih, Shel?" Airin bisa mengendus sesuatu ketidakberesan di sini. Wajah Shella juga tampak tegang.

"Lo yakin kalau Arka nggak ikut pendakian itu?"

Kening Airin mengerut mendapat pertanyaan tentang Arka.

"Ya. Arka sendiri yang bilang sama gue kalau dia nggak ikut pendakian itu. Emang kenapa, Shel? Kok tiba-tiba lo nanyain soal Arka?"

Shella tidak langsung menjawab pertanyaan Airin. Ia justru mengambil ponselnya dari dalam saku celana panjangnya, lalu menunjukkan layar ponsel itu ke hadapan Airin. Sebuah foto telah diposting di laman Facebook. Beberapa cowok sedang berpose dengan latar belakang alam terbuka dan salah seorang di antara mereka ada seraut wajah yang tampak akrab di mata Airin.

"Apa ini, Shel?" tanya Airin masih belum bisa mengartikan maksud Shella yang sebenarnya. Padahal foto yang di-posting di Facebook itu sudah menjelaskan segalanya.

"Ini adalah foto cowok-cowok yang ikut pendakian. Foto itu diambil sebelum mereka berangkat mendaki kemarin. Dan lo lihat, ada Arka di sana. Itu artinya Arka juga ikut pendakian, Rin," ujar Shella menjelaskan pada Airin. 

Tubuh dan pikiran Airin seperti membeku tiga detik lamanya. Hatinya dan gambar yang terpajang di layar ponsel milik Shella seolah sedang berdebat. Airin memercayai ucapan Arka beberapa waktu lalu, bahwa ia tidak akan pergi. Akan tetapi, foto di Facebook itu menjelaskan sebaliknya.

"Nggak, Shel. Arka bilang dia nggak akan ikut pendakian itu," sangkal Airin dengan perasaan gamang. Hatinya tak ingin memercayai apa yang baru saja dilihatnya. "Bisa saja itu foto lama, kan?"

"Nggak, Rin. Foto ini diposting kemarin. Emang bukan Arka yang mengunggah foto itu, tapi itu beneran diambil kemarin," jelas Shella ingin membuat Airin percaya dengan kenyataan yang ada.

"Tapi Arka udah janji sama gue nggak akan ikut pendakian itu, Shel," ucap Airin dengan nada bergetar. Segenap ketakutan dan kekhawatiran yang semula telah menghilang, tiba-tiba saja menyergap perasaan gadis itu.

Jadi, Arka berbohong?

"Arka ikut pendakian itu, Rin," tandas Shella masih bersikukuh untuk meyakinkan Airin. Ia sendiri juga sedih dan marah saat melihat foto itu. Rasanya Shella ingin memaki Arka habis-habisan karena telah membohongi dia dan Airin. "Dia udah membohongi kita semua," lanjut Shella kembali.

Tapi Airin masih belum mau percaya. Gadis itu buru-buru merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Sejurus kemudian Airin mencoba untuk menghubungi nomor kontak Arka. Namun, ia gagal. Nomor ponsel Arka tidak aktif.

Tangan dan tubuh Airin lemas seketika. Ia tak mencoba menelepon Arka untuk yang kedua kali. Sudah jelas jika Arka tidak bisa dihubungi. Dicoba seribu kali pun, tetap tidak akan berhasil. Sinyal telepon di pegunungan sangat buruk, bahkan di titik-titik tertentu tidak ada sinyal sama sekali.

"Rin." Melihat sahabatnya terdiam cukup lama, membuat Shella merasa khawatir. Ia menyentuh lengan Airin demi menyadarkan gadis itu. "Lo nggak pa pa, kan?"

Kepala Airin menggeleng pelan.

"Sekarang gue bener-bener merasa takut, Shel," ucap gadis itu dengan suara lirih. "Dari awal gue seperti mendapatkan firasat buruk. Tapi gue merasa lega karena Arka bilang nggak jadi ikut pendakian itu. Tapi sekarang, firasat buruk itu kembali muncul. Gue merasa sesuatu yang buruk akan menimpa Arka," ucap Airin terbata. Pandangannya nanar ke depan.

Dasar Arka, umpat Shella dalam hati. Ia merasa kesal bukan main pada cowok itu. Kalau Arka benar-benar kembali, Shella berjanji akan memaki cowok itu habis-habisan. Kalau perlu, Shella akan memukul wajah tampan milik Arka biar cowok itu kapok berbohong.

"Lo berdoa aja, Rin. Semoga nggak terjadi apa-apa sama Arka," saran Shella. Di situasi seperti ini, Shella tak mungkin memaki-maki Arka di depan Airin yang sedang gelisah tak keruan.

"Kapan mereka akan kembali?"

"Kemungkinan besok."

Airin menahan napas. Sampai mereka kembali, tidak ada yang bisa Airin dan Shella lakukan, kecuali berdoa untuk keselamatan Arka dan teman-teman mendakinya.

"Yuk, masuk," ajak Shella sesaat kemudian. Sebentar lagi kelas mereka akan dimulai.

Airin bergeming. Kakinya enggan untuk melangkah masuk ke dalam kelas. Pikirannya juga dipenuhi dengan rasa cemas dan ketakutan. Bayangan buruk seolah-olah berada di depan mata Airin. Bagaimana jika Arka tidak kembali? Bagaimana jika Arka bernasib sama dengan Azzam?

Airin tidak pernah mengira jika ketakutan ini begitu menyesakkan dada. Ia pikir bisa dengan mudah melepaskan Arka karena kenangan Azzam lebih berharga untuknya. Airin pikir bisa hidup hanya dengan mengenang Azzam, tapi nyatanya ia salah besar. Rasa takut akan kehilangan Arka tak bisa ia bendung.

"Gue pergi dulu, Shel."

"Lo mau ke mana, Rin?!" teriak Shella saat Airin telah memacu langkahnya  berlalu dari hadapan gadis itu.

Airin tak menjawab. Dengan setengah berlari Airin menuju ke arah gedung fakultas teknik. Ia akan mencari Arka.  Seharusnya Arka masuk karena ia ada mata kuliah pagi ini.

Namun, begitu tiba di gedung fakultas teknik, Airin tak bisa menemukan sosok Arka. Ia bertanya ke sana kemari, tapi tidak ada yang bisa menunjukkan keberadaan Arka. Hingga salah seorang mahasiswa mengatakan pada Airin jika Arka pergi mendaki.

Arka memang benar-benar pergi. Cowok itu telah mengingkari janjinya pada Airin.

"Kenapa berbohong, Ka? Lo nggak tahu kan, kalau gue takut banget kehilangan lo?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top