10

"Sorry, Rin. Tadi antre banget waktu masuk parkiran." Begitu sampai di hadapan Airin, Shella langsung meminta maaf karena telah membuat sahabatnya menunggu cukup lama.

Akhir pekan seperti ini mal tak pernah sepi. Bahkan sebelum pintu masuk mal dibuka, sudah ada beberapa orang yang datang.

Siang ini Airin dan Shella janjian ketemu di pintu masuk mal tepat jam dua siang. Airin tiba di sana beberapa menit lebih dulu ketimbang Shella. Pasalnya Shella harus antre masuk ke dalam parkiran sepeda motor, sementara Airin lebih memilih menggunakan jasa ojek online. Naik angkot juga melelahkan karena harus ngetem dulu. Lebih praktis naik ojek, pikir Airin.

"Kita nyari buku dulu atau minum dulu?" tawar Airin tak mempermasalahkan keterlambatan Shella. Mereka berjalan masuk ke dalam mal beriringan.

"Gimana kalau nyari minum dulu?" usul Shella. Kerongkongannya sedikit kering akibat cuaca yang tidak bersahabat di luar sana. Memang, begitu masuk ke dalam mal, gerah yang ia rasakan seketika hilang. Tapi, tidak dengan kerongkongannya yang masih terasa kering meskipun Shella berada di dalam mal yang berpenyejuk udara.

"Ya, udah."

Airin dan Shella langsung menuju ke arah eskalator. Food court ada di lantai tiga. Mereka sengaja tidak menggunakan lift karena fasilitas itu selalu penuh saat akhir pekan seperti ini. Shella dan Airin tak suka jika harus berdesakan di dalam kotak besi itu.

"Oh ya, Rin. Gimana Arka?" Sewaktu keduanya menaiki eskalator, mendadak Shella teringat pada Arka. Kemungkinan besar hari ini merupakan keberangkatan rombongan Arka naik gunung. Atau besok?

"Arka? Dia nggak jadi pergi, Shel," beritahu Airin. Senyum senang terkulum di bibirnya yang terpoles lipstik merah muda.

Shella terbelalak mendengar pengakuan sahabatnya.

"Yang bener, Rin?" tanya Shella tak percaya. Dan sekali anggukan Airin seketika membuatnya percaya. "Syukur, deh. Arka nggak jadi pergi," decaknya turut merasa bahagia. Itu artinya Arka mendengarkan ucapan Shella. Tidak rugi Shella jauh-jauh jalan kaki ke warung kopi Mas Jo hanya untuk menemui Arka.

"Gue udah bicara sama Arka beberapa hari yang lalu," ungkap Airin jujur.

"Dan lo baru ngasih tahu gue sekarang? Jahat banget sih lo, Rin," maki Shella seraya menepuk punggung Airin karena kesal.

Airin meringis kesakitan. Shella menepuk pundaknya tanpa ampun.

"Kemarin-kemarin kan kita nggak ada kelas. Kita ketemunya kan baru sekarang," ucap Airin membela diri.

"Tapi kan lo bisa ngasih tahu gue lewat telepon. Atau ngechat gue. Apa susahnya sih, Rin?" protes Shella masih tak terima dengan sikap Airin.

"Emang itu penting buat lo?"

"Ya nggak penting-penting amat, sih. Tapi, minimal gue tahu perkembangan hubungan lo sama Arka, Rin."

Kalau boleh jujur, sebenarnya keputusan Arka sangat ingin diketahui Shella. Pasalnya ia turut membujuk Arka kala itu. Jika Arka berubah pikiran, mungkin saja itu karena ucapan Shella.

Airin tak menyambung percakapan karena mereka sudah menginjakkan kaki di lantai tiga. Keduanya langsung menuju ke stan yang menjual es teh. Di sana tak seramai stan yang menjual es boba dan Shella tak ingin menunggu terlalu lama untuk bisa menikmati segelas minuman.

Gelas plastik berisi es teh telah ada dalam genggaman masing-masing beberapa menit berselang. Airin dan Shella mencari tempat duduk kosong yang tersedia di lantai itu demi sejenak melepaskan lelah. Mungkin nanti mereka akan pergi ke food court itu lagi usai mencari buku.

"Sekarang lo sadar kan, kalau lo beneran suka sama Arka?"

Obrolan mereka diawali oleh Shella yang langsung menohok Airin. Pasalnya Airin pernah berkata bisa melepaskan Arka kapan saja, tapi tidak dengan Azzam. Semoga Airin masih mengingat ucapannya kala itu, harap Shella.

Airin tak langsung menjawab. Gadis itu menyeruput es teh dalam gelas plastik sembari berpikir.

"Sekarang lo kelihatan bahagia setelah tahu Arka nggak jadi pergi. Gue ikut seneng kok, Rin. Gue juga berharap lo bahagia," sambung Shella tulus.

"Ya, gue sadar kalau pada prinsipnya gue takut kehilangan Arka. Tapi gue nggak yakin kalau gue bener-bener sayang sama dia," tandas Airin membuat Shella bingung setengah mati.

"Lho, kok gitu? Maksudnya gimana, Rin?"

"Gue udah kehilangan Azzam, Shel. Mungkin yang gue rasain adalah ketakutan kalau orang yang selalu ada buat gue menghilang, seperti Azzam. Gue cuma bayangin kalau tiba-tiba Arka nggak ada. Gue pasti akan sangat kehilangan dia, Shel."

"Tetep aja itu namanya lo beneran sayang sama Arka, Rin. Rasa takut itu muncul karena lo sayang sama dia. Coba lo pikir, kalau salah satu temen sekelas kita tiba-tiba pergi. Pindah ke luar negeri misalnya. Yang lo rasain pasti beda dengan yang lo rasain sama Arka. Sekarang gini aja, misalkan lo nggak ketemu Arka seminggu. Gimana perasaan lo? Lo kangen dia nggak?"

Airin merenung sesaat.

"Ya, gue kangen lah."

"Nah," Tiba-tiba saja Shella menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Airin. "itu yang namanya cinta, Rin."

"Tapi yang gue rasain sama Azzam beda, Shel."

"Beda gimana?"

"Gue masih nggak rela untuk melepaskan kenangan tentang Azzam, Shel."

"Meskipun lo tahu kalau ada Arka di sisi lo?"

Kepala Airin langsung memberi anggukan.

"Itu namanya lo masih belum bisa move on dari Azzam. Lo nggak usah berusaha keras melupakan Azzam. Lo jalani aja hidup lo seperti biasa, tapi intensitas ketemuan lo sama Arka kalau bisa ditambah lagi. Nggak pa pa sesekali lo mengingat Azzam. Nggak bisa dipungkiri juga kalau dia pernah ada di hidup lo," ujar Shella panjang lebar sekadar memberi motivasi seperti yang biasa ia lakukan dulu. Dan kata-kata yang diberikan Shella jauh lebih mengena ke dalam hati Airin ketimbang kata-kata ibu Azzam.

"Ya, gue akan inget kata-kata lo."

"Inget ya, Rin. Gue adalah orang yang paling ingin melihat lo bahagia, okay?"

Airin mengangguk sembari merekahkan senyum manis.

"Gimana kalau sekarang kita nyari buku dulu? Terus kita nonton live music di atrium utama, habis itu kita nyari makan?" usul Shella usai meneguk habis minumannya.

"Okay. Gue setuju."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top