05
"Thanks udah nganterin, Ga," ucap Airin setelah berhasil turun dari atas boncengan motor milik Angga, adik Azzam. Mereka telah sampai di depan pintu gerbang rumah Airin.
"Sama-sama. Kak Airin baik-baik aja sekarang, kan?" Angga menerima angsuran helm dari tangan Airin.
Airin tersenyum.
"Ya, gue baik-baik aja. Lo baliknya hati-hati ya, Ga. Jangan ngebut," pesan Airin.
"Siap, Kak." Angga memberi isyarat hormat pada Airin seraya mengembangkan tawa lebar. Semenjak Azzam tidak ada, ibunya selalu mewanti-wanti Angga untuk berhati-hati. Angga juga tahu diri. Karena ia satu-satunya harapan kedua orang tuanya. "Gue balik dulu, Kak!"
Airin balas melambaikan tangan ke arah Angga yang mulai melajukan motornya kembali ke jalan raya.
Namun, begitu Airin membalik tubuh dan tangannya hendak menjangkau pegangan besi, Arka tiba-tiba muncul dan meneriakkan nama gadis itu.
"Airin!"
Spontan saja Airin batal menjangkau pegangan pintu gerbang rumahnya yang terbuat dari bahan besi anti karat. Ia menoleh ke arah datangnya sumber suara dan menemukan Arka sedang berjalan mendekati Airin. Sementara motor matic miliknya tampak ditinggal di seberang jalan. Agaknya sejak tadi Arka menunggu di sana dan begitu melihat Airin datang, ia segera bereaksi.
Airin terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu sama sekali tidak menduga Arka akan memergokinya seperti ini. Kemungkinan besar Arka juga melihat Angga, duga Airin. Ada secercah rasa khawatir bersembunyi dalam benak Airin. Bagaimana jika Arka salah paham tentang Angga?
"Gue nungguin lo dari tadi," beritahu Arka begitu langkah kakinya hampir tiba di depan tubuh Airin. Satu jarinya menunjuk ke arah motor matic yang terparkir di seberang jalan. "Lo dari mana?" cecar Arka akhirnya. Namun, ia masih memakai nada kalem.
"Gue dari rumah seseorang," jawab Airin tak ingin menyebut nama Azzam.
"Cowok itu tadi?"
Airin mengangguk.
"Tapi gue ke sana bukan mau nemuin dia, tapi ibunya," ungkap Airin berusaha tak membuat Arka salah paham.
Arka mengangguk pelan. Berusaha mengerti dengan penjelasan Airin.
"Sebenarnya gue tadi nemuin lo di kampus, tapi Shella bilang lo udah pulang," ujar Arka memancing ke arah topik yang sesungguhnya ingin ia bahas dengan Airin. Rasanya tak perlu cemburu dengan cowok berseragam abu-abu putih tadi, pikir Arka. Toh, Airin sudah menjelaskan permasalahannya meski tidak segamblang itu.
Airin menghela napas lelah. Ia tahu ke mana arah pembicaraan itu dan Airin terlalu capek untuk membahasnya sekarang.
"Gue mau naik gunung Minggu depan, Rin. Apa lo masih nggak ngizinin gue untuk pergi?" tanya Arka ingin pembicaraan mereka tuntas secepatnya. Pada dasarnya permasalahan ini hanya tentang Airin memberi izin atau tidak. Itu saja.
"Nggak," jawab Airin tegas dan masih teguh pada pendiriannya.
"Alasannya?" Arka mencoba untuk tetap berkepala dingin. Ia pernah membujuk kedua orangtuanya sebelum melakukan pendakian pertama kali. Memang agak alot pada awalnya, tapi lama kelamaan Arka berhasil meyakinkan kedua orangtuanya. Arka yakin bisa membujuk Airin kali ini dengan metode yang sama.
Airin terdiam sejenak. Ia tak bisa mengatakan alasan yang sesungguhnya pada Arka karena itu berarti akan menyakiti perasaannya sendiri. Luka lama yang susah payah ia coba obati, akan muncul kembali ke permukaan. Dan Arka juga akan terluka ketika mengetahui kenyataan yang sesungguhnya tentang Azzam.
"Gue tahu mendaki gunung itu cukup berbahaya," ujar Arka kemudian. "Semua pecinta alam tahu itu. Tapi, kami berusaha melakukan prosedur pendakian yang aman dan nyaman. Kami tahu apa yang harus kami lakukan dalam menghadapi segala kondisi. Kami saling menjaga satu sama lain dan ... "
"Cukup, Ka," potong Airin saat Arka ingin menjabarkan segala hal tentang ilmu pendakian yang diketahuinya. "Kalau gue bilang, gue cuma takut lo nggak kembali lagi, apa alasan itu cukup bisa lo terima?"
Arka paham. Hati seorang wanita terkadang memang selembut itu. Airin juga sama. Gadis itu juga takut kehilangan dirinya.
"Gue akan balik lagi, Rin," tandas Arka berusaha meyakinkan gadis pujaannya. Cowok itu mencekal kedua pundak Airin. "Pendakian ini nggak terlalu berbahaya, Rin. Gue udah naik ke sana tiga kali, jadi gue tahu medannya."
"Tetep saja gue nggak suka, Ka. Apapun alasannya, gue tetep nggak ngizinin lo pergi. Kalau lo masih ingin pergi, silakan. Gue nggak bisa melarang. Tapi, hubungan kita cukup sampai di sini aja," tandas Airin setengah mengancam. Ia melakukan hal itu untuk mencegah Arka pergi.
"Airin!" Arka kaget mendengar keputusan Airin. "Masa hanya karena masalah sepele seperti ini lo mau putus?"
"Sepele lo bilang?" Airin sampai mengerutkan kening ketika mengulangi kata 'sepele' yang tadi sempat lolos dari bibir Arka. "Buat gue ini bukan masalah sepele, Ka. Kalau gue ngizinin lo pergi kali ini, pasti lo akan pergi lain kali. Dan siapa yang bisa menjamin lo akan balik pada pendakian-pendakian berikutnya?"
Arka tercekat mendengar pengakuan Airin yang disertai nada tinggi penuh emosional. Sungguh, ia tak menduga Airin bisa berpikir sedemikian jauhnya. Padahal Arka sendiri bahkan tidak memikirkan hal-hal terburuk sekalipun.
Jika saja saat itu Arka sudah bersama Airin, Arka yakin tidak akan pernah bisa berangkat mendaki seumur hidupnya.
"Gue ngerti," ucap Arka lirih. Perasaan yang dirasakan Airin susah payah coba Arka selami dengan baik. Itu hanyalah ungkapan cinta Airin padanya, batin Arka. Dan ternyata selama ini Arka telah salah menilai Airin. Diam-diam tanpa gadis itu sadari, meski terkadang ia bersikap cuek dan jutek, nyatanya Airin menyimpan perasaan sayang pada Arka. "Tapi, sekali ini saja, gue boleh kan ikut mendaki? Untuk yang terakhir kalinya, Rin. Setelah ini gue janji nggak akan pergi mendaki lagi."
Kepala Airin menggeleng penuh keyakinan. Terakhir kali Azzam pergi mendaki, situasinya juga sama seperti sekarang ini. Azzam meminta izin Airin dan ia bilang akan berhenti mendaki. Dan benar saja, itu merupakan pendakiannya yang terakhir. Karena Azzam pergi untuk selamanya. Jika Arka nekat pergi mendaki Minggu depan, Airin tidak yakin cowok itu akan pulang dengan selamat.
"Kalau lo mau pergi silakan. Tapi hubungan kita berakhir sampai di sini. Gue nggak bisa menjalin hubungan dengan orang egois seperti itu," tandas Airin bersiap untuk kembali menjangkau pegangan pintu gerbang.
"Bukannya lo yang egois?"
Tangan Airin sontak membeku. Egois dia bilang? Gadis itu sampai memicing kala menatap Arka.
"Gue cuma minta satu kesempatan, Rin. Setelah ini gue janji nggak akan naik gunung lagi," ucap Arka lagi-lagi berusaha meminta perhatian Airin.
"Bukannya gue sudah bilang nggak suka kalau lo mendaki? Mau seribu kali pun, gue nggak akan ngasih izin, Ka. Lo mau bilang gue egois, itu terserah lo. Pilihan ada di tangan lo."
Arka bergeming saat melihat tubuh Airin bergerak masuk ke dalam pintu gerbang rumahnya. Ia tak pernah melihat Airin semarah ini sebelumnya. Mereka juga tidak pernah bertengkar sebelumnya, meskipun sikap Airin terkadang jutek pada Arka.
Arka sempat mengira jika Airin hanya memberikan harapan palsu untuknya. Namun, hari ini Arka tahu, dibalik sikap dinginnya, Airin memiliki secuil kasih sayang untuknya. Airin hanya tidak bisa menunjukkannya secara langsung di depan Arka. Itu saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top