02

"Airin? Kok lo ada di sini, sih?" Begitu membuka pintu kamar kost nya, kedua mata Shella langsung terbeliak mendapati sahabatnya, Airin telah berdiri di depannya. Gadis itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia pakai saat kuliah tadi, tas dan buku-buku yang dipegangnya juga masih utuh. "Lo dari kampus langsung ke sini? Arka mana? Bukannya tadi lo mau pergi sama Arka?" cerocos Shella antara bingung dan menebak. Di belakang tubuh Airin juga tidak ada siapa-siapa.

Airin tak menjawab. Masih belum. Gadis itu justru menerobos masuk ke dalam kamar Shella, lantas menjatuhkan tubuh di atas kasur milik Shella usai melempar buku-bukunya ke atas lantai.

Shella bengong melihat kelakuan Airin, tapi akhirnya ikut-ikutan duduk di dekat tubuh Airin. Pasti ada masalah, tebaknya dalam hati.

"Ada apa, Rin?" tanya Shella hati-hati. Kali ini ia lebih memelankan suara.

Wajah Airin terlihat kusut ditekuk.

"Lo nggak tahu kan kalau Arka juga hobi mendaki?" cecar Airin tanpa berbasa basi. Memaksa kening Shella mengerut tajam.

Memang, selama ini Shella yang getol mengompori Airin agar menerima cinta Arka. Pasalnya Arka sangat gigih berjuang untuk mendapatkan perhatian Airin dan itu membuat Shella merasa kasihan. Tapi, bukan berarti Shella tahu seluk beluk kehidupan Arka. Ia pun baru mengenal Arka saat mereka sama-sama masuk universitas. Pembawaan Arka yang gampang akrab dengan siapa saja, dirasa cocok untuk Airin yang cenderung pendiam. Sekaligus sebagai obat yang ampuh untuk menambal luka hati Airin.

"Mendaki? Arka hobi mendaki?" Saking tak percayanya, Shella harus mengulangi ucapan Airin.

"Ya. Lo tahu, dia tadi dateng nemuin gue untuk bilang kalau dia mau mendaki Minggu depan," ujar Airin dengan tatapan entah ke mana. Suaranya terdengar goyah.

Shella mengambil napas sejenak. Ia sangat paham ke mana arah pembicaraan ini bermuara.

"Lo baik-baik saja, kan?" Shella menepuk pundak sahabatnya pelan.

Tak ada jawaban. Punggung milik Airin masih setengah terbungkuk.

"Kalau gue tahu Arka juga suka mendaki, gue nggak akan pernah nerima dia, Shel," ucap Airin tiba-tiba. Ia mengarahkan tatapan redupnya ke wajah Shella. Sepasang mata Airin berkaca-kaca.

Shella terdiam. Ia turut merasa bersalah karena Shella lah yang mendukung Airin agar menerima cinta Arka. Shella pikir dengan kehadiran Arka bisa menutup lubang di hati Airin yang pernah ditinggalkan Azzam tiga tahun lalu.

"Maafin gue, Rin. Gue nggak tahu ... "

"Bukan salah lo, Shel," timpal Airin. Toh, ia benar. Bukan salah Shella kalau pada akhirnya Airin tahu jika Arka suka mendaki. Shella pun tak tahu hal itu.

"Terus gimana, Rin?" tanya Shella ingin tahu kelanjutan hubungan Airin dan Arka.

"Gue nggak bisa menjalin hubungan dengan seorang pendaki, Shel. Lo sangat tahu gimana traumanya gue, kan?"

"Itu artinya? Lo mau mutusin Arka?"

Kepala Airin mengangguk.

"Gue nggak punya pilihan, Shel. Kalau dia nggak mau membatalkan pendakian itu, gue akan putusin dia."

"Apa nggak bisa dibicarakan baik-baik, Rin? Kalau lo ngobrolin masalah ini sama Arka, gue yakin dia mau mengerti, kok." Sejujurnya Shella menyayangkan keputusan Airin. Tapi apa boleh buat. Trauma akan kehilangan Azzam saat pendakian tiga tahun lalu menyisakan kepedihan yang teramat dalam untuk Airin. Mana mungkin ia bisa menjalin hubungan dengan seorang pendaki setelah semua yang terjadi?

"Gue nggak yakin dia bisa mengerti. Gue udah coba bicara sama dia tadi, tapi yang ada kami malah berantem," jelas Airin.

"Gimana kalau gue yang bicara sama Arka?" usul Shella kemudian. "Gue juga kan yang dulu ngomporin lo supaya nerima cinta Arka."

"Nggak, Shel. Gue nggak mau dia tahu masa lalu gue. Lagian nggak akan ada pengaruhnya juga kalau Arka tahu tentang Azzam," tandas Airin.

"Tapi putus juga bukan jalan yang terbaik, Rin."

"Gue tahu. Tapi gue harus melakukannya sebelum gue terlanjur sayang banget sama dia, Shel."

Shella terpekur. Ia tak berani mengeluarkan komentar karena suasana hati Airin tampak sangat buruk saat ini.

"Gue cuma ingin menjalin hubungan dengan orang biasa-biasa aja, Shel. Tapi kenapa gue justru ketemu dengan orang yang hobi mendaki lagi? Gue takut kejadian itu akan terulang lagi, Shel," ucap Airin dengan ujung mata yang basah.

Shella segera menarik tubuh Airin masuk ke dalam pelukannya dan berusaha menenangkan gadis itu.

Kematian Azzam tiga tahun lalu merupakan sebuah pukulan berat bagi Airin. Azzam jatuh ke jurang ketika mendaki dan meninggal. Butuh waktu berbulan-bulan lamanya bagi Airin untuk bisa menerima kenyataan. Gadis itu mengalami depresi yang cukup parah dan sering berhalusinasi. Orang-orang berpikir Airin sudah tidak waras kala itu karena sering memanggil-manggil nama Azzam.

Shella lah yang paling tahu kondisi Airin saat itu. Ia tidak berpikir Airin gila seperti yang orang lain pikirkan. Shella tak pernah berputus asa memberi Airin semangat dan dukungan hingga akhirnya gadis itu bangkit dari keterpurukan. Perlahan tapi pasti, Airin mulai menjalani kehidupannya kembali.

Lalu, pada suatu ketika, Airin bertemu dengan Arka. Tidak ada yang istimewa dari Arka di mata Airin. Akan tetapi Arka justru menunjukkan ketertarikannya pada Airin. Dan di sinilah peran Shella dibutuhkan. Ia memberi dukungan pada Airin dan Arka agar lebih dekat. Hingga pada akhirnya Airin mau memberi kesempatan bagi Arka. Meski saat itu Airin belum benar-benar menjatuhkan hatinya untuk Arka. Airin melakukan semua itu demi Shella.

Namun, ketika Airin mulai menumbuhkan tunas-tunas cinta di hatinya untuk Arka, justru masalah lain datang menerpa keduanya. Kenyataan bahwa Arka juga suka mendaki merupakan sebuah guncangan untuk batin Airin. Ingatan dan nostalgianya tentang Azzam seolah kembali muncul ke permukaan. Ketakutan tentang kejadian yang sama akan terulang lagi membuat Airin harus berpikir dua kali untuk mempertahankan hubungan dengan Arka.

Jika berpisah adalah jalan yang membebaskan segenap kekhawatiran tentang trauma masa lalu, kenapa tidak?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top