01

"Ayang lo dateng tuh, Rin," bisik Shella sembari mengerling nakal.

Dengan gerakan spontan Airin pun mengangkat dagu dan menatap ke depan. Benar saja, sosok Arka tampak sedang berjalan ke arah mereka dengan menggendong tas ransel hitam kesayangannya. Cowok berambut ikal dan berkulit sawo matang itu terlihat melenggang dengan santainya dengan sesekali menyapa ke kanan kiri. Sikapnya yang sok akrab memang membuat Arka gampang dikenali di kampus.

"Hai, Rin."

Begitu tiba di depan Airin, Arka segera menyapa gadis pujaannya.

"Hai, Ka." Alih-alih Airin yang membalas, justru Shella menyahut lebih dulu. "Udah kelar kuliahnya?"

"Udah, dong."

"Terus, lo jauh-jauh dateng kemari mau ngapain?" cecar Shella berperan sebagai wakil Airin.

Gedung fakultas teknik memang lumayan jauh dari gedung Sastra. Sudah cukup untuk menguras keringat bagi mahasiswa yang jarang berolahraga. Tapi, tidak bagi Arka. Selama itu untuk Airin, apapun akan dilakoninya.

"Gue ada perlu," ucap Arka seraya melirik ke arah Airin yang telah kembali menyibukkan diri dengan bukunya sejak Arka dan Shella sibuk ngobrol.

Shella tahu, tapi ia sengaja mengulur waktu tadi. Tanpa diminta pun ia bangkit dari tempat duduknya.

"Gue cabut duluan ya, Rin. Ntar gue telepon," pamit Shella buru-buru. Padahal tadi rencananya mereka akan pergi ke mal untuk mencari beberapa buah buku kemudian minum es boba. Tapi, agaknya kedatangan Arka membuat Shella membatalkan rencana itu sepihak.

"Shel!"

Terlambat. Shella telah berjalan menjauh dan enggan menoleh ke belakang bahkan ketika Airin memanggilnya. Sepertinya Shella sengaja ingin memberi kesempatan pada Airin dan Arka untuk berbincang berdua.  

Setelah Shella pergi, Arka mengambil tempat duduk di dekat Airin. Tapi, cowok itu sengaja memberi jarak sedikit agak jauh.

"Gue ke sini mau ngomong sesuatu," ucap Arka mengawali obrolan. Meski pada kenyataannya selalu Arka yang mendominasi setiap percakapan yang terjadi di antara mereka berdua. "Sebenarnya ini nggak terlalu penting buat lo, sih. Tapi gue merasa lo harus tahu aja."

Airin belum merespon. Gadis itu diam dan masih menatap ke dalam bukunya, tapi kedua telinganya menyimak setiap kata yang meluncur dari bibir Arka.

"Minggu depan gue naik gunung, Rin," beritahu Arka tiba-tiba. Seulas senyum senang tersungging di ujung bibirnya. Sebenarnya ia tadi ingin mengatakannya langsung pada Airin, tapi Arka memilih untuk berbasa-basi lebih dulu.

"Naik gunung?" Airin menegakkan wajah seketika. Sesuatu yang tadi Arka bilang tidak penting itu adalah naik gunung?

"Iya," sahut Arka dengan satu kali anggukan mantap. Nyatanya Airin yang sejak tadi memasang sikap jutek, memberi respon juga. "Anak-anak ngajak gue naik gunung. Palingan cuma tiga hari doang. Tapi, gue merasa harus minta izin sama lo," tandas Arka. 

"Gue nggak tahu kalau lo suka naik gunung," ucap Airin pelan.

Arka melebarkan tawa.

"Sejak dulu gue suka mendaki, tapi begitu masuk universitas, gue nggak aktif lagi. Tapi, kemarin gue ketemu anak-anak Pala waktu SMA dan gue diajakin naik gunung. Kebetulan Minggu depan gue senggang, jadi gue bilang bisa," oceh Arka tampak antusias. Namun, tak begitu dengan wajah Airin yang berubah tegang.

Arka tercekat karena tiba-tiba saja Airin bangun dari tempat duduknya.

"Lo kenapa, Rin?" Arka ikut-ikutan berdiri dan mendapati ekspresi wajah Airin yang terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres pada gadis itu.

"Gue harus pergi," ucap Airin.

"Tapi kita belum selesai ngobrol." Arka berusaha menebak-nebak apa yang membuat gadis pujaannya berubah dalam sekejap. "Apa ada sesuatu yang terjadi?" desak Arka ingin penjelasan dari Airin.

"Apa bisa lo nggak pergi Minggu depan?"

Arka langsung paham. Ternyata perubahan sikap Airin yang tiba-tiba dipicu oleh keputusan Arka untuk pergi naik gunung Minggu depan.

Arka menarik napas dalam-dalam. Untuk sebagian orang, pergi mendaki gunung merupakan sesuatu yang berbahaya. Sebisa mungkin mereka memilih untuk tidak melakukannya karena risikonya terlalu tinggi. Dulu orang tua Arka juga seperti itu, tapi Arka berusaha meyakinkan mereka. Dan sekarang pun mereka terbiasa melepas Arka pergi mendaki gunung.

"Maaf, Rin. Tapi, gue udah terlanjur janji sama temen-temen. Lagian ini bukan pertama kalinya gue naik gunung. Dan gue nggak sendiri. Ada banyak temen gue di sana nanti. Jadi, lo nggak perlu khawatir," tandas Arka berusaha meyakinkan Airin.

"Lo kan bisa minta maaf sama mereka dan bilang nggak bisa pergi. Apa susahnya?" Airin mencoba untuk membujuk Arka.

"Nggak sesederhana itu, Rin. Lagian gue juga pingin banget ikut pendakian ini. Udah lama gue nggak naik gunung dan gue kangen banget suasana pendakian. Please, lo ngertiin gue," pinta Arka memohon pengertian Airin. "Gue janji akan jaga diri baik-baik dan gue akan pulang dengan selamat."

"Bahkan diri lo sendiri nggak bisa menjamin lo akan pulang dengan selamat, Ka. Jadi jangan menjanjikan apa-apa sama gue," tukas Airin terkesan tidak suka dengan janji yang diucapkan Arka barusan. Membuat cowok itu bergeming bingung.

"Lo kenapa sih, Rin?" gumam Arka tak mengerti. Tak biasanya Airin bersikap aneh seperti ini. Memang benar jika Airin terkadang jutek dan dingin, tapi ini benar-benar kelewatan.

"Kalau gue bilang gue nggak suka lo pergi mendaki, apa lo mau batalin rencana lo?"

Arka jelas tak bisa memberi jawaban. Di satu sisi ia sangat ingin ikut pendakian Minggu depan, tapi di sisi lain sikap Airin terkesan menakutkan.  Inilah alasan kenapa dulu Arka memilih jomblo selama bertahun-tahun lamanya dan menikmati hobinya mendaki tanpa perlu terbebani oleh gadis manapun.

"Lo nggak bisa, kan?" cecar Airin menyentak lamunan Arka. Dan gadis itu telah bersiap untuk mengambil langkah pergi dari hadapan Arka.

"Tapi, Rin." Arka berusaha menahan langkah Airin, tapi gagal. Gadis itu telah lebih dulu menepis tangan Arka.

"Gue harus pergi sekarang, Ka."

"Biar gue anter."

"Nggak perlu," tolak Airin membuat Arka harus menerima penolakan mentah-mentah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top