The Truth

Seperti dugaan Ivony, hari Senin, restoran ramai pada selepas jam lima sore. Pengunjung datang dan pergi silih berganti. Bahkan ada yang sudah mereservasi tempat. Dengan pegawai yang lumayan jumlahnya harusnya sudah cukup. Tapi kata cukup tak pernah sepadan di restoran pada awal bulan.

Restoran Jingga Malam menyajikan makanan khas Jawa. Gudeg, nasi kuning langgi, ayam penyet, ayam goreng kalasan, nasi bakar dibungkus daun pisang, rawon, tempe mendoan, dendeng gepuk dan sebagainya. Bahkan pada kulkas yang terletak di sisi pojok ruangan ada jamu-jamu yang dikemas dengan botol ukuran 150mL. Ivony tidak suka jamu jadi ia tidak pernah mencobanya. Meski penasaran dengan jenisnya yang beragam. Jamu pegal linu, kunyit asam dan lainnya.

Pelayanan yang lamban lebih disebabkan pada keinginan konsumen melenceng dari daftar menu. Seperti gudeg dengan sedikit cabai, jus jeruk dengan gula seujung mulut sendok atau lain-lainnya yang terdengar absurd sekaligus melelahkan. Tapi demi kepuasan pelanggan mau tak mau harus dilakukan. Penyebab lainnya ada dua pegawai yang izin tidak masuk. Satu pegawai magang sedang konsultasi skripsi dengan dosen dan satu pegawai tetap lagi sakit, Rita.

Ivony tidak ingat kapan tepatnya seluruh kegiatan cleaningnya beralih menjadi waitress saat awal bulan. Semua pegawai harus bisa semua posisi, begitu kata Rita. Ivony menurut saja. Meski hari ini Rita tidak masuk, ia tetap melakukan pekerjaan ekstra itu. Bukan. Bukan karena khawatir kena omelan nantinya, tapi entah kenapa Ivony merasa berempati melihat hilir mudik pegawai.

Cleaning memang penting. Tapi waitress lebih prioritas di situasi kini. Menjadi waitress tidak semudah pemikiran orang-orang, termasuk Ivony saat kali pertama. Bukan hanya sekadar membawakan baki makanan ke konsumen. Tapi juga mempersiapkan meja dan membersihkannya. Serta menggulang pesanan dengan membacakan lagi untuk memastikan. Lalu, menawarkan menu baru. Atau menghadapi konflik tak terduga. Ivony pernah melayani pembeli kurang ajar. Orang itu membeli ayam penyet dua porsi. Tapi begitu disajikan di meja, orang tersebut mengaku memesan satu porsi ayam penyet. Mau tak mau, Ivony harus membayar satu porsi ayam penyet yang sudah dimasak.

Cara itu memang membuatnya rugi. Tapi lebih baik dibanding mendapat komplain konsumen dan teguran atasan. Dan kejadian menjengkelkan lainnya. Sering kali teratasi dengan ada tip. Lumayan untuk pemasukan tak terduga.

Ketika tiba waktunya untuk membersihkan ruang bagian belakang, Ivony segera bergegas mengambil sapu, pengki, pel dan semprotan berisi cairan hijau di janitor. Sesuai namanya tadi, ruang itu berada di bagian belakang dapur.

Ruangan tersebut luasnya memanjang. Ada loker untuk menyimpan tas pegawai di sisi kanan. Bangku dan meja yang penuh tumpukan kertas, amplop, surat dan koran. Rak besi yang memajang perlengkapan sekunder seperti tisu, tusuk gigi dan sejenisnya. Chiller berisi frozen food dan daging.

Show case yang kadang bagian bawahnya berfungsi untuk menyimpan es batu yang dibungkus plastik besar. Kata Kak Poppy ini melanggar SOP restoran walau ia membiarkannya juga. Pernah Ivony sesekali membuka kulkas itu untuk mendinginkan tubuh. Ivony pikir, ia juga melanggar aturan meski tetap melakukannya.

Es batu yang diplastik besar biasanya dibanting di lantai agar esnya lebih remuk. Hal itu yang membuat lantai ruangan ini sering basah. Tidak cukup hanya menutupi dengan kardus. Sering kali kardus yang disusun itu terkoyak-koyak karena basah. Ivony sudah memasukkan ke dalam plastik bagian itu.

Sesaat mengepel, Ivony melihat Poppy masuk ruangan. Ia langsung menyapa riang. Serta berbasa-basi.

"Bagaimana kabarmu di sekolah?" tanya Poppy.

"Baik, Kak," jawab Ivony langsung. Ia merasa tak perlu menjelaskan hal-hal detail tentang betapa mengantuk, lelah dan pegal di sekolah jika weekday—meski di lubuk hatinya ingin sekali saja berkeluh kesah ke seseorang.

"Meski kamu menyambi bekerja, jangan lupakan tugasmu sebagai pelajar," kata Poppy sambil menyeka kedua tangan di bagian belakang celana bahan hitamnya. Lalu, tangannya sibuk menelisik kertas-kertas yang bertumpuk di meja.

Ivony menyematkan rambut di belakang telinga. "Iya. Tentu saja, Kak."

Saat pertama kali bertemu, Ivony berpikir Poppy itu galak. Ekspresi wajahnya datar, bermata sipit, dan rambutnya selalu disanggul. Dengan tinggi dan bertubuh besar bahkan cendrung kekar untuk seusianya. Mengintimidasi. Ivony memang tak pernah tahu usia seniornya itu, tapi ia taksir sekitar empat puluh tahunan.

Namun seiring berjalannya waktu, Poppy tak seperti yang Ivony pikirkan. Perempuan itu welas asih. Tidak pernah menggurui atau berlaku senioritas pada siapa pun. Dengan kebaikan hati dan perangainya, Ivony tak heran jika semua orang menyukai perempuan tersebut. Dibanding, Rita yang sok berkuasa.

"Vony, maafkan sikap Rita ke kamu, ya?" kata Poppy sambil menarik map kuning tebal. "Ia baik. Hanya caranya keliru. Sungguh ia tidak bermaksud begitu ke kamu."

Ivony menggaruk belakang telinganya. Tidak memahami. Sudah jelas begitu maksud Rita. Tidak ada bagian baik seperti yang dikatakan Poppy.

"Coba lihat ke sini," ujar Poppy sambil mengibaskan tangan. Begitu Ivony mendekat, Poppy menunjuk foto di halaman akhir map kuning. Foto yang dicetak sepia tapi memperlihatkan secara jelas wajah-wajah di sana. Pegawai restoran ini. Ivony tahu itu. "Ini acara gethring beberapa tahun silam. Pegawai boleh mengajak anggota keluarga. Yang pakai baju kuning penuh kembang ini namanya Laras. Adik Rita. Jika ia masih ada, mungkin sudah kuliah semester tiga."

Ivony belum mengerti, tapi ia tak bicara. Mungkin lebih baik tidak mengatakan apa-apa jika hanya menambah duka di situasi penuh kepedihan. Ia selalu tak siap mengetahui luka seseorang. Hal itu mengingat pada dirinya sendiri, bahwa ia tak ingin seseorang mengetahui duka-dukanya.

"Laras memiliki semangat sepertimu. Ia juga sempat bekerja di restoran. Tapi bukan di sini. Wilayah lain. Saat itu Rita sudah menentang Laras. Rita hanya ingin adiknya fokus kuliah. Tapi Laras membangkang. Dua bulan kemudian, terjadi kecelakaan." Poppy menghela napas berat. "Laras menjadi korban tabrak lari. Rita luluh lantak kala itu."

Foto, Laras, Rita, restoran dan kecelakaan. Ivony mencoba menyambungkan lima poin itu di benaknya. Sayangnya, ia masih kebingungan dengan pokok pembahasan yang tiba-tiba tersebut.

"Rita selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Laras. Menurutnya, Laras tidak hati-hati saat pulang karena terlalu lelah bekerja. Tapi Tuhan sudah mentakdirkan hidup dan mati seseorang. Tak ada yang bisa menentangnya." Poppy berhenti sejenak. "Dan saat Rita melihat semangat bekerjamu, ia merasa harus menghentikanmu. Ia tak ingin melakukan kesalahan yang sama. Ia tak ingin membiarkan kamu terlalu larut bekerja di restoran seperti Laras. Sikap menyebalkannya itu agar kamu beranjak pergi."

Ivony terkesiap sesaat menangkap benang merah ceritanya. Jika dipikir secara mendalam, Rita memang paling bersikap otoriter kepadanya. Ivony pikir itu karena kepribadiannya begitu. Ia tak sangka ada luka-luka dibalik setiap tindak.

"Alasannya tidak pernah menggunakan jatah libur karena Rita ingin menyibukkan diri. Sebab setiap kali ia sendiri atau sampai di rumah, justru mengingatkannya pada mendiang adiknya."

"Tapi jalur kehidupan seseorang dengan orang lainnya berbeda meski mengambil keputusan yang sama," seru Ivony. Ia mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan.

Poppy mengangguk. "Aku sudah mengatakan itu ke Rita. Sayangnya, ia tak mau mendengarkan. Tapi bukan itu yang mau aku bahas. Aku tak ingin kamu mendendam padanya."

"Tidak. Justru aku sekarang paham, Kak." Ivony tersenyum tulus. "Omong-omong, Kak Rita sakit apa, Kak?"

"Tipes. Aku berencana menjenguknya besok."

Ivony menggangguk, tidak tahu harus menjawab. Lalu Poppy mengambil selembar kertas dari map kuning itu. Karena Rita sakit, harus ada penggantinya sementara waktu. Perubahan jadwal untuk beberapa hari kedepan, katanya sambil meletakan map ke tempat semula. Ivony mengangguk. Setelah Poppy pergi, Ivony melanjutnya membersihkan ruang masih dengan pikiran tentang Rita dan Laras.

Ketika selesai, Ivony mengembalikan peralatan di janitor. Ia segera beranjak ke dapur sebelum pikirannya semakin melantur. Untung saja Poppy langsung menyuruh membawa baki makanan ke meja nomor sembilan belas. Ivony segera melaksanakannya.

Cewek itu sama sekali tak bisa melihat wajah konsumen karena orang itu sedang membentang koran tepat di hidung. Ivony membiarkan saja, menyebutkan pesanan dan menyajikan makanan minuman di meja. Sesaat hendak berbalik, konsumen itu memanggil namanya.

Ivony pikir akan ada komplain. Wajar saja konsumen bisa mengetahui namanya karena ada name tag di saku seragam sebelah kanan. Tapi betapa kagetnya ia begitu melihat ke konsumen yang tak lagi membentangkan koran di depan wajah.

"Apa kabar, Ivony?" sapanya hangat.

Ivony ingat persis struktur wajah orang itu. Oval dengan rambut yang selalu acak-acakan. Bahkan beberapa tahun berlalu tak mengubah hal tersebut. Ditambah sorot mata teduh yang terbingkai kacamata. Tapi Ivony tetap butuh beberapa detik sebelum akhirnya bereaksi.

"Kak Bagas?"

Orang yang disebut namanya mengangguk semangat. "Kamu masih sama seperti dulu. Selalu mengingatku."

Perkataan itu menyentak Ivony ke kenyataan. Menyadarkannya. Tidak untuk kedua kali, pikirnya berusaha tegar. Ia langsung beranjak pergi meski Bagas memanggil-manggil namanya. Beberapa pegawai menoleh dan bertanya kepadanya. Ivony hanya menjawab, salah mengenali orang saja.

Di jam istirahat, Ivony tak berselera keluar atau sekadar jajan. Khawatir masih ada Bagas di meja tadi. Sebab hanya terpaut beda satu jam dari percangkapan singkat itu. Ia memutuskan mengerjakan tugas bahasa Indonesianya saja. Membuat cerpen. Ivony sudah mengeluhkan sejak awal PR diberikan. Tapi Mia bilang tulis yang dibisa. Gurunya berkata akan dibimbing saat jam pelajaran nanti. Maka Ivony menceritakan tentang kegiatan pramuka saja di SMP.

Namun menceritakan tentang SMP justru mengingatkannya lagi ke Bagas. Ivony segera menggantinya menjadi cerita keseharian bersama dengan Mia dan Niki. Mengingat dua orang itu cukup mampu mengembalikan mood Ivony. Suasana perasaannya itu terus berlanjut hingga ia kembali bekerja hingga pulang.

Ivony beranjak keluar dan mereganggkan tubuhnya. Lagi-lagi seseorang yang tak diharapkan muncul. Ivony mengembuskan napas jengkel.

"Lumayan larut malam juga kamu pulangnya," seru Kak Bagas sambil mendorong kacamatanya ke pangkal hidung.

Kalau saja Ivony punya sedikit kemampuan marmut . Sekarang pastilah ia akan mengorek tanah, membuat lorong dan mencari jalan keluar yang menembus ke lokasi lain. Masa bodo dengan sepeda miliknya yang terparkir.

"Ya, semacam itu."

"Kamu pasti belum makan. Ayo, kita nyari makan," katanya bergairah.

Ivony mengerutkan kening. "Kak Bagas menunggu di sini sejak kapan?"

"Sejak tadi," jawabnya ceria.

"Ada hal penting?"

"Kita bisa bicara itu sambil makan."

"Aku harus pulang."

"Sebentar saja."

Jangan sampai terhanyut dan membuat suasana kembali kacau. Ketika Ivony asyik memikirkan cara untuk menolak. Bagas mengulang ajakannya, dan akhirnya Ivony membuntuti di belakang. Jika tahu keliru seharusnya jangan dilakukan. Itu pemahaman yang benar. Tapi Ivony tetap melakukannya. Karena jika seseorang tabah menunggu berarti kita harus menghargainya.

Cara Ivony menghargainya dengan menerima ajakan makan itu. Meski ia tak yakin caranya tepat atau salah.

Akhirnya Bagas mengajaknya makan ketoprak setelah Ivony mengusulkan sate. Terdengar konyol. Karena, Bagas tidak suka sate kambing, dan hanya itu sisa jenis daging yang dimiliki pedagang sate. Sambil duduk di bangku, diterangi lampu jalanan, Ivony mendapati Bagas sesekali meliriknya. Sebisa mungkin, Ivony berpura-pura tidak tahu dan menganggapnya bukan masalah.

"Kamu sudah lama bekerja di sana?" tanyanya mengambil dua porsi ketoprak yang sudah siap saji.

Ivony tersenyum ketika mengambil sepiring ketoprak dari tangan Bagas. "Belum lama, kok. Ngomong-ngomong, ada keperluan apa sampai kakak nunggu aku pulang?"

Bagas asyik menyendok, mengunyah dan menelan. Ia tak menjawab malah bertanya lagi. "Kesibukanmu apa lagi?"

"Belajar. Kakak sendiri sibuk apa?"

"Kuliah sambil magang di yayasan kesehatan. Oh, ya, kamu setiap hari bekerja dan pulang larut seperti ini?" tanyanya.

"Iya. Begitulah."

"Dulu, di SMP, kamu pernah cerita jadi baby sitter tetangga. Kamu memang senang bekerja keras, ya." Bagas mengatakan itu sambil tertawa.

Bahkan di telinga Ivony, derai tawanya masih sama. Bagai denting dream catcher yang terbuat dari bulu dan manik. Lembut, tulus dan beriak di dada Ivony. Tawa itu membangkitkan kenangan yang tak seharusnya diingat kembali.

"Kakak menunggu aku sampai pulang, ada keperluan apa?" Ivony mengulang pertanyaannya tadi.

"Apa perlu alasan untuk menunggu seseorang? Apalagi orang itu yang pernah mengisi waktu saya," katanya lugas.

Ivony menghela napas. Jujur saja ia senang mendengar hal itu. Manis. Tapi justru hal-hal manis akan membunuhnya secara perlahan. "Kalau kakak menunggu aku hanya untuk membicarakan hal-hal masa lampau, lebih baik aku segera pulang."

Ivony tahu Bagas sama sekali tidak mengerti sindirannya karena cowok itu justru menjawab. "Ayo, biar aku antar pulang."

"Aku bawa sepeda dan aku bisa pulang sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top