9 | peony, gardenia, rose, and aster
DI hari pertama, kegiatan kencan mereka tak bisa dikatakan berjalan sesuai harapan. Baik Bigel ataupun Ales sama-sama sulit mengerti isi pikiran pasangan masing-masing. Keduanya terlalu bertolak belakang. Ales yang selalu ingin hubungannya memiliki rasa seperti gulali, dan Bigel yang enggan memberikan gula sama sekali.
"Gue harus nambahin aturan. Rules number four, don't call me Baby."
"Huh? Kenapa?" Ales tampak sedikit kecewa.
"Cause I'm not your Baby, Ales."
"Terus apa dong? Mommy?"
Bigel melotot. Plak!
"Aw!!"
Habis sudah kesabaran Bigel hari ini. Seikat mawar pun digunakannya untuk mementung kepala Ales. Entah dapat ide dan inspirasi dari mana, ia bisa-bisanya menyebut Bigel 'Mommy'. Detik itu juga, rasa hati ingin sekali Bigel memaki kekasih palsunya ini. Amat sangat ingin, kalau saja ia tak mendengar suara bel berdenting tepat setelah Ales mengaduh kesakitan.
Sontak, Bigel menoleh dan langsung menjaga jarak dari Ales.
"Halo, welcome to Fleur Teapot!" sapa Bigel dengan sejuta keramah tamahan yang tak pernah Ales dengar. Baru kali ini, dan itu pun bukan ditujukan kepadanya, tapi kepada wanita dewasa yang baru saja datang. Ales lantas berdecih, tak disangkanya bahwa Bigel masih memiliki sepercik sopan santun kepada orang lain.
Bahkan, Bigel tampak melayani pelanggannya dengan sangat baik. Jauh berbeda dengan bagaimana Bigel menyikapi kekasih—palsu—nya.
"Cari bunga apa, Kak?" tanya Bigel, tepat setelah menghampiri sang pelanggan.
"Ah, saya bukan mau cari bunga."
"Oh?" Bigel cukup terkejut mendengarnya. Sejauh ini, tak pernah ada pelanggan yang datang mencari barang lain selain bunga.
Tak ada angin tak ada hujan, Ales tiba-tiba menyambar. "Ah! Kakaknya pasti mau minum teh! Kalau gitu, bisa geser ke kafe aja langsung, Kak! Yuk, duduk dulu aja, nanti saya yang bawain menunya ke meja, ya!"
Bigel mengerjap tak percaya, otaknya berpikir dengan heran—peran apa lagi yang kini Ales mainkan? Karena sungguh, kalau sampai Ales berbuat onar, Bigel tak segan-segan memutusnya dari kontrak sebagai pacar sewaan.
"E-eh, enggak-enggak. Saya bukan mau minum teh juga, sih ...."
Lantas, kini Ales mengernyit dan sama bingungnya seperti Bigel. Namun, ia masih memaksa otaknya berpikir cepat untuk menerka keinginan pelanggan. Kalau bukan bunga dan teh, ya ... apa lagi yang mau dicari di sini?
"Oh ... bukan mau cari bunga, bukan mau ngeteh juga, pasti Kakak mau ngopi, ya?" Ales menebak sepengalamannya. "Duh, maaf banget, Kak. Emang sih dine-in area toko kami mirip banget sama coffee shop, tapi kami enggak jual kopi, Kak. Cuma teh aja, hehe. Beberapa orang yang baru pertama ke sini emang kebanyakan gitu kok, Kak. Kiranya kami jual kopi padahal enggak," sahut Ales dengan segala ke-sok-tahuannya, membuat Bigel semakin bergeleng kepala melihat pria itu.
Padahal, selama Bigel bekerja di sini pun tak ada pelanggan yang ingin ke kedai kopi tapi malah tersasar ke kafe teh Fleur Teapot. Hanya Ales yang datang-datang meminta kopi kepada Elio.
"Ah, maaf-maaf. Saya bukan mau minum kopi juga. Saya ke sini mau ketemu sama owner toko bunganya, ada?" tanya pelanggan itu.
"Wah berat juga, kalau itu saya kurang ta—"
"Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu, Kak?"
Ales sontak menoleh ke arah Bigel yang barusan mengatakannya. Ia pikir, Bigel benar-benar seorang gadis gila yang bahkan toko orang lain pun diakui olehnya.
"Bigel cantik, customer ini cari pemilik tokonya, bukan cari kasir atau floristnya. Duh, jangan bilang lo enggak ngerti bahasa Inggris?!" tuduh Ales.
Mendengar ocehan pria sok tahu itu, membuat Bigel akhirnya memaksakan senyum canggung dan menahan malu di hadapan pelanggan. Entah wajahnya harus disembunyikan di mana sekarang. Tuduhan Ales terlalu memalukan!
"Maaf ya, Kak. Bigel ini lagi PMS, jadi asal gitu ngomongnya." Ales sok tahu untuk yang kesekian kali. Sekadar informasi, hari itu bukanlah waktu tamu bulanannya Bigel datang. Ales mengarang seada-adanya saja. "Oh ya Kak, kalau mau ketemu owner, boleh duduk dulu aja, ya. Nanti biar kami call dulu. By the way, sebelumnya udah buat janji, Kak?"
Sungguh Bigel tak tahu lagi, sekeras apa benturan yang pernah diterima kepala Ales, hingga ia memiliki keberanian untuk mengatakan Bigel sedang PMS di depan pelanggan yang bahkan tak mereka kenal. Pula, ada satu hal yang membuat Bigel makin tak mengerti keadaan saat ini. Pelanggannya itu justru tampak percaya kepada Ales yang tak tahu apa-apa, alih-alih kepada dirinya yang lebih waras.
"Oh begitu ... iya enggak apa-apa kok, saya ngerti. Kalau soal janji, belum sih. Tapi saya dihubungi sama klien saya untuk langsung ke sini aja dan ketemu sama owner-nya di sini. Kalau enggak salah, namanya ... Abigail Ananta."
Akhirnya, Bigel dapat menghela napas lega. Ucapan pelanggannya barusan, berhasil membungkam Ales yang kini membeku di tempat berdirinya dan menganga tak percaya. Lantas, Bigel melihat Ales dan tersenyum puas, karena akhirnya pria itu tak lagi banyak bicara. Pula, Bigel kembali mendapatkan kepercayaan diri untuk bicara kepada wanita di hadapannya.
"Saya Abigail, Kak. Kalau boleh tau, Kakak dari mana dan ada keperluan apa?" tanya Bigel dengan senyum terbaiknya.
Namun, siapa sangka bahwa jawaban wanita yang menghadapnya mampu meruntuhkan senyuman Bigel seketika. Dalam hitungan detik, lengkungan di bibir sang pemilik toko hilang begitu saja.
"Saya Mega, dari WO yang disewa atas nama Bara Tanuwidjaja."
♡
Dari meja bar tempat teko-teko teh itu berjajar, Ales memperhatikan Bigel yang duduk bersama seorang wanita bernama Mega—pelanggan yang mengaku bahwa dirinya adalah bagian dari tim wedding organizer atas nama pria yang tak Ales kenal.
Sembari menyeduh teh kamomil sesuai permintaan Bigel, Ales berpikir sendirian. Kepalanya masih sulit menerima fakta bahwa gadis yang menyewanya adalah seorang pemilik toko bunga, bukan sekadar pekerja biasa.
"Pantes bisa bayar dua kali lipat! Lima juta mah gampang kali ya buat dia? Orang punya toko bunga segede gini!
Lah gue? Jual diri dulu anjir baru dapat lima juta. Emang dasar nasib suka bercanda ya. Duh, nasib ... nasib ... dosa apa lo di kehidupan sebelumnya, Les ...."
Ales bergeleng kepala, mengasihani hidup dan nasibnya sendiri.
Tak mau pusing, ia pun mengembalikan fokus kepada dua cangkir teh kamomil yang sedang ia seduh. Ales tak mau membuat Bigel lama menunggu. Begitu semuanya sudah siap, Ales meletakkan dua cangkir teh kamomil itu di atas nampan, dan segera dibawanya kepada Bigel.
Dengan senyum yang merekah, Ales meletakkan dua cangkir teh kamomil di atas meja yang membatasi Bigel dan wanita yang sedang bersamanya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari Bigel saat Ales datang, gadis itu tampak serius menyimak segala penuturan dari wanita di hadapannya.
Ales yang mengerti bahwa mereka sedang tak bisa diganggu, lantas segera kembali ke meja bar tempat teko -teko teh itu berjajar. Ia memberikan ruang pribadi untuk Bigel dan tamunya yang datang. Ales tak mau mengganggu. Ia tahu waktu.
♡
"Jadi, klien saya ini ada acara lamaran tanggal sepuluh Oktober nanti. Baru jam makan siang tadi saya ketemuan sama dia, dan bahas soal dekorasi. Pas ngobrolin soal bunga, dia request untuk bunga-bunga yang dibutuhkan dipesan di Fleur Teapot saja. Karena katanya, dia udah percaya banget nih sama owner toko ini untuk urusan bunga," jelas Mega setelah Bigel bertanya maksud dan tujuannya datang menemuinya.
Setelah mendengar penuturan Mega, Bigel hanya bisa tersenyum tipis. Menahan sakitnya hati yang teriris. Karena bahkan setelah hubungannya sudah berakhir, Bara masih sempat-sempatnya menyeret Bigel ke dalam urusan lamarannya.
Tak tahu diri, tak mau mengerti, Bigel nyaris tak bisa membedakan cinta dan benci untuk Bara yang menguar setengah mati.
"Makanya, saya langsung aja ke sini buat ketemu sama kamu dan bahas soal dekorasi bunga acara lamaran Pak Bara."
Sekarang Bigel tak tahu, apakah ia harus tetap bersikap profesional di tengah perihnya mengurus bunga untuk acara lamaran orang yang ia cinta? Atau menolak pemaksaan ini mentah-mentah demi kedamaian hatinya?
"Saya sih mau dekor pakai peony, gardenia, rose, sama aster. Menurut kamu gimana? Atau kamu ada saran? Berhubung kamu florist yang dipercaya Pak Bara, saya yakin kamu udah kenal betul nih sama klien saya. Pasti tau dong seleranya kayak apa."
Sudah kenal betul, katanya. Sesak dada Bigel kala mendengar kalimat itu. Andai saja ia bisa mengatakan kepada wanita di hadapannya, bahwa ia tak sekadar mengenal Bara. Namun, ia pernah menjadi bagian dari hidup pria yang menjadi kliennya. Ia pernah berbagi oksigen di satu ruang dan ranjang yang sama. Bahkan, ia tahu sehangat apa deru napas Bara saat mereka berbaring dan terlelap bersama.
"Kak Abigail? Gimana, ada saran lain?" tanya Mega saat menyadari fokus Bigel tak hanya tertuju padanya.
"Eh? I-iya, itu udah oke kok menurut saya."
"Ah, oke deh. Kita kayaknya satu selera, ya! Hehe, enak nih kalau dapat partner sefrekuensi gini! Emang enggak salah Pak Bara minta saya temui kamu."
Bigel membalasnya hanya dengan tersenyum tipis.
"By the way, berarti bisa 'kan ya taking order untuk tanggal sepuluh Oktober nanti? Saya butuh lumayan banyak nih, buat backdrop sama standing flower."
Rasanya, kalau boleh jujur, Bigel mungkin tak akan sanggup untuk mengurus semua ini. "Hmm, Kak Mega, untuk itu saya belum ...."
Kringgg! Kringgg!
Bigel tersentak, ponsel dalam saku celananya berdering kencang. Segera, ia mengeluarkannya dan meminta maaf dengan canggung kepada Mega karena dering panggilan yang mengganggu.
Ayah
incoming calls ...
Ayah? Bigel membatin, tumben sekali ayahnya menghubungi di jam kerja begini.
"Sebentar ya, Kak Mega."
"Oh iya, Kak. Silakan," sahut Mega dengan penuh pengertian.
Setelahnya, Bigel langsung mengangkat panggilan yang masuk dari sang ayah.
"Halo?"
"Bigel, kamu di toko 'kan?"
"Iya, Ayah. Kenapa?"
"Itu nanti ada tamu dari WO-nya Bara. Tolong diurus ya bunga pesanannya. Tadi Bara minta tolong Ayah buat hubungi kamu, kamu nih kenapa enggak bisa dihubungi Bara sih? Ngerepotin Ayah aja!"
Ya Tuhan, apa lagi ini? Hatinya menjerit. Kalau begini caranya, mana mungkin ia bisa menolak permintaan Mega dengan ribuan alasan.
Lantaran, sang ayah ternyata sudah mengetahui bahwa Bara ingin memesan bunga dari tokonya. Sebuah tanda tanya besar akan muncul di kepala Adam, jika Bigel tak mau mengurus bunga untuk acara lamaran Bara. Hal itu tak boleh terjadi. Secinta apa pun ia kepada Bara, ayah tetap tak boleh tau kalau ia pernah menjalin hubungan dengan kakak tirinya itu. Kecuali, ia memang mau mengundang murka.
"Dicatat betul-betul itu pesanan WO-nya Bara apa aja. Jangan sampai salah. Gitu aja, Ayah cuma mau sampaikan pesan dari Bara. Kamu jangan lupa makan, nanti pulang jangan larut malam."
Panggilan pun berakhir setelah Bigel mengiyakan segala ucapan ayahnya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan emosi sekarang. Tak disangkanya, Bara sejahat itu menyeret ia ke dalam acara yang bahkan berat untuk Bigel hadiri sebagai keluarga.
"Kak Mega," Bigel mengembalikan atensi kepada wanita di hadapannya.
"Ya, Kak Bigel. Gimana?"
"Tadi pesanan bunganya apa aja? Mau delivery di hari-H atau sehari sebelumnya?"
Akhirnya, Bigel terpaksa. Ia terpaksa melapangkan hati untuk menerima pesanan ini. Ia terpaksa membunuh rasa sakit dalam dada, demi tak menimbulkan kecurigaan di kepala ayahanda. Ia terpaksa melengkungkan senyuman, meski rasanya begitu menyesakkan.
Karena mau bagaimana lagi, Bara membuatnya mutlak tak bisa menolak. Ia terlalu licik menggunakan ayahnya sebagai perantara.
"Peony, gardenia, rose, dan aster, Kak. Mungkin, baiknya delivery sehari sebelumnya aja kali, ya? Biar enggak dadakan banget, dan masih punya waktu untuk cross-check kalau-kalau ada bunga yang kurang atau cacat, yang penting fresh aja sih bunganya."
Bigel pun mengangguk sembari mencatat semua pesanannya di ponsel. "Ada lagi? Mau tambah wisteria enggak? Belakangan ini banyak yang pakai wisteria juga." Bigel menawarkan, ia masih berusaha profesional. Ia memperlakukan semua pelanggannya dengan keramahan dan pelayanan yang sama.
"Ah iya, boleh-boleh!"
"Ada tambahan lagi, Kak?" tanya Bigel setelah menambahkan wisteria ke dalam catatannya.
Setelah itu, Mega mulai menjelaskan segala hal yang ia perlukan untuk menunjang acara lamaran kliennya. Bigel menyimak dan mencacat semua dengan baik, meski hatinya ingin menjerit setiap kali membayangkan bagaimana terlukanya menyiapkan semua bunga untuk Bara.
Namun, masih dengan senyum yang terulas, Bigel melayani Mega sepenuh hati. Meski isi kepalanya masih tak bisa mengerti, mengapa pria yang ia cinta bisa sekejam ini. Menusuk, merobek, dan mengoyak luka untuk kesekian kali.
•
♡
•
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top