70 | The Last Hug
Jika saja ia bisa memutarbalikkan waktu, ia sungguh ingin merubah jalan yang ia pilih. Seharusnya, sejak awal tidak perlu ia setuju untuk menggunakan jasa sewa pacar yang konyol itu. Tidak perlu ia bertemu dengan seorang pria menyenangkan bernama Alessandro Tedja. Tak perlu ia merasakan sedikit bahagia yang sudah lama ia lupa seperti apa rasanya. Sehingga, tak perlu jua ia merasakan sakit sedemikian hingga ketika pada akhirnya ia tak bisa mempertahankan sedikit kebahagiaannya.
Hari yang ditetapkan itu sudah tiba, dan ia sudah memantapkan hati untuk menerima segala penolakan yang ada. Apa pun itu, ia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan menutup pertemuan ini dengan senyum terbaiknya. Ia tak mau meninggalkan kesan perpisahan yang kelam, sebagaimana ia ditinggalkan oleh pria yang pernah ia cinta bertahun lamanya.
Hari ini, hari di mana ia dan Ales akan bertemu untuk mengutarakan apa yang ia inginkan. Entah ini akan menjadi pertemuan yang terakhir kali, atau justru akan menjadi awal yang baru. Ia tak tahu, tapi satu yang sudah pasti, Ales tidak menyambutnya dengan gembira ketika ia datang bertamu di rumah tempat Ales singgah untuk empat tahun lamanya. Rumah milik seorang sahabat baik, Roynaldo Malik.
"Welcome, Bigel."
Canggung-canggung Bigel tersenyum dan melangkah ragu setelah Ales mempersilakannya masuk. Rumah sederhana, minimalis, tapi bersih dan terawat dengan baik, ini pertama kalinya Bigel bertamu di rumah sesederhana itu. Dan entah kenapa juga, Haga menyampaikan kepadanya bahwa Ales meminta untuk bertemu di rumah. Apa tujuannya, Bigel tak paham, ketika ia bisa saja mengajak Ales untuk pergi ke tempat yang lebih mewah dan nyaman untuk bicara berdua.
"Duduk dulu, ya. Biar gue ambilin minum. Oh iya, kita nggak punya wine buat nemenin ngobrol, cuma ada bir kaleng murahan kalau lo mau."
"Nggak masalah, Les."
Ales tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah ke dapur yang tak jauh dari ruang tamu. Roy berada di sana, sedang menyiapkan dua gelas jus yang baru ia tuang dari botolnya. Kehadiran Ales sontak membuat Roy melirik sekilas, mempertanyakan keberadaan Ales di dapur.
"Udah gue siapin jamuannya, lo tunggu di depan aja."
"Gue nyari bir," sahut Ales sambil membuka kulkas dan mencari-cari bir yang ia maksud. "Lo liat nggak, Roy?"
"Bir kaleng?"
"Iya."
"Bukannya baru habis kemarin? Lo 'kan yang ngabisin."
Ales seketika berhenti mencari, dan mengingat-ingat kapan ia menghabiskan bir kaleng yang ia stok di kulkas. Sedetik, dua detik, ah, ia ingat. Itu waktu malam di mana ia bertemu Bigel, dan pulang dengan suasana hati yang tak enak. Lalu ia melepaskan kegelisahannya dengan berkaleng-kaleng bir, minum sendirian, sampai-sampai lupa bahwa ia pun tidur di dapur.
"Minum jus aja, jangan kasih Bigel bir kalengan, Les. Nih, mau lo yang bawa ke depan atau gue?"
Ketika Ales menoleh, Roy sudah siap dengan dua gelas jus di tangannya. Tak peduli dengan nampan, ia bawa keduanya hanya dengan tangan. Ales yang merasa tak enak jika Roy tampak seperti pelayan di rumahnya sendiri, lantas mengambil dua gelas itu dan mengucap terima kasih kepada Roy.
"Gue di belakang. Nggak akan gue ganggu obrolan lo sama Bigel. Apa pun keputusan lo, gue dukung. Inget, nggak perlu mikirin gue."
Ales menguatkan diri, mengeratkan genggamannya pada dua gelas di tangan, setelah mendapat tepukan penuh dukungan di bahunya dari seorang sahabat baik. Tepat setelah itu, Roy pergi ke halaman belakang, tempat ia biasa merokok bersama Ales sambil memandang langit gelap yang kosong tak berbintang. Sementara itu, Ales pun melangkah ke depan, menghampiri Bigel yang menunggunya di ruang tamu.
"Sorry lama, sorry juga ternyata birnya nggak ada."
"Nggak apa-apa, Les."
"Hm."
Lalu ... apa? Setelah ini apa? Bigel tak tahu bagaimana memulainya, dan Ales juga tampak hanya menunggu saja, tak mau memulai apa-apa. Sekali lagi, Bigel memantapkan hati. Mempersiapkan diri untuk bicara sejujur-jujurnya, dan menahan seluruh kemungkinan terburuk yang ada. Pun setelah hening yang tak sebentar, Bigel akhirnya membuka suara.
"Ales."
"Iya."
"Tentang yang mau gue bicarain sama lo ...."
"Gue udah tau." Tak disangkanya, Ales akan menyela. "Haga udah bilang, dan Roy juga udah cerita. Jawabannya, enggak, Bigel. Gue betul-betul minta maaf karena gue nggak bisa. Untuk kali ini, dan kayaknya juga nggak hanya untuk kali ini, gue nggak bisa penuhin apa yang lo mau."
Lantas, sebilah pisau terasa menghunus dadanya dalam seketika. Belum apa-apa, belum ia utarakan apa yang ia inginkan, Ales sudah menyela begitu saja dan menolak mentah-mentah tanpa mau mendengarkan lebih banyak. Baiklah, ia sudah tahu bahwa dirinya akan ditolak, tapi tak pernah ia sangka akan sesakit ini rasanya.
"Bigel ... segala hal nggak selalu berjalan sesuai yang kita mau, 'kan? Kadang-kadang, ada banyak hal yang nggak bisa dapat. Dan ... gue udah belajar banyak tentang itu dari mengenal lo"
Bigel bungkam. Ia sudah berjanji untuk tetap tersenyum apapun yang terjadi. Jadi, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mencoba tersenyum mati-matian ketika bibirnya sungguh ingin menjeritkan tangis.
"Bagi gue, rasanya mustahil untuk bisa mengganti status palsu kita waktu itu jadi nyata senyata-nyatanya. Mustahil. Dan maaf, Bigel, izinkan gue buat jujur di sini.
Untuk waktu yang nggak sebentar, gue akui gue jatuh cinta.
Tapi lama kelamaan, semakin lama gue semakin sadar kalau kita itu sangat amat jauh, Bigel. Setiap kali gue minta Haga kasih gue kabar tentang lo yang lagi kuliah di luar, setiap kali itu juga gue sadar kalau gue bukan apa-apa. Gue bukan siapa-siapa.
Foto lo waktu di Sydney ... cantik, Bigel. Foto lo sama kanguru yang entah di mana itu juga lucu. Tapi ... tau nggak? Liat lo travel alone di luar negeri sana dengan paras secantik itu bikin gue yakin bahwa akan ada banyak laki-laki lain yang ribut cuma karena mau jadi pacar lo. Ah ... kayaknya, hal itu nggak bisa dibilang cuma, sih. Wajar kalau mereka ribut karena mau jadi pacar Princess Abigail, right?"
Terpaksa, Bigel tersenyum karena Ales memujinya. Walau sesungguhnya hati terasa sakit sekali. Pun baru kali ini ia tahu bagaimana rasanya dicabik-cabik dengan pujian.
"Gue ... sangat amat berterima kasih karena ternyata lo milih gue dari sekian banyak laki-laki di luaran sana untuk temani hari-hari lo. Tapi, Bigel, gue nggak sepadan untuk hidup di samping lo. Gue nggak bisa juga terus-terusan 'dihidupi' sama lo di sana. Gue nggak mau adanya gue di sana justru akan jadi beban buat lo, Bigel. Gue nggak mau jadi orang paling bajingan di dunia ini dengan 'numpang hidup' sama perempuan.
Dan iya, gue paham lo butuh ditemani. Tapi, kalau lo mau, cobalah cari yang sepadan, ya? Karena gue nggak sespesial itu untuk dikasih hak kemewahan ini.
Tapi lagi ... kalau suatu saat nanti gue sekiranya 'sudah cukup sepadan' untuk bersanding sama lo, dan ada kesempatan untuk kita memulai hubungan baru dengan wajah baru kita masing-masing, gue dengan amat senang hati akan cari lo di mana pun lo hidup, Bigel.
Jadi, tolong izinkan gue berjuang sendiri di sini, dan kalau lo bersedia ... tunggu gue sampai waktu itu tiba, ya?"
Lantas setelahnya, Bigel tak bisa menepati janji yang ia buat sendiri. Ia ingkar untuk tidak meluruhkan senyuman, lantaran hatinya sudah mutlak berantakan. Ales seolah melepasnya, namun masih menaruh satu harapan kecil di masa depan yang entah bisa digapai atau tidak. Dan Bigel sudah tak tahu harus menjawab dengan rangkaian kata seperti apa, mulutnya begitu terkunci, hingga sekadar menangis pun ia sudah tak sanggup lagi. Ia hanya bisa terdiam, terpaku di tempatnya dengan tatapan yang sendu menatap kepada pria yang ia harapkan mampu membawa kebahagiaan lagi kepadanya. Ia tidak menangis. Hanya saja ... senyumannya meluruh hingga habis tak bersisa. Ia mengingkari janjinya.
"Semoga ... Bigel bisa anggap ini sebagai jeda untuk sementara. Bukan perpisahan selama-lamanya. Karena biar bagaimanapun ... gue jatuh cinta, Bos Bi."
Sudahlah cukup. Seketika Bigel membungkam Ales dengan memeluknya secara tiba-tiba hanya agar pria itu berhenti berbicara. Ia sudah tidak sanggup lagi untuk mendengar semuanya. Sudahlah ia paham ini adalah sebuah penolakan, lantas ia tak mau mendengar lebih banyak lagi hal-hal yang menyakitkan. Jika Ales mengatakan bahwa di masa depan nanti ia akan kembali, maka Bigel dengan senang hati menunggu masa itu hadir. Sudahlah cukup sampai di situ saja.
"Kembalilah kapan pun, Ales."
Dan Ales membalas bisikan itu sambil membelai lembut kepala gadis pujannya, "Thanks a lot, Abigail."
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top