7 | grumpy beginnings

SATU Oktober, menjadi tanggal pertama kontrak mereka dimulai. Terhitung mulai hari itu hingga sembilan hari ke depan, Ales dan Bigel akan berlagak layaknya pasangan. Sungguh waktu yang singkat untuk beradaptasi dengan orang yang tak saling mengenal. Namun, hal itu bukan masalah besar bagi pria yang sudah sering berkencan.

Ales—sebagai si penyedia jasa—secara otomatis menghubungi kliennya lebih awal. Pagi itu, tepat tanggal 1 Oktober 2021, Ales mulai membuka perbincangan dengan sebuah pesan ucapan selamat pagi.

Namun, masih sama seperti kali pertama Ales menghubunginya, gadis itu tidak—atau belum—memberikan balasan.

Tak apalah, pikir Ales. Ia masih berasumsi bahwa Bigel adalah orang yang sibuk setiap hari. Maka, ia harus dengan sabar menanti. Lantas, Ales menyimpan ponselnya ke dalam tas sembari tersenyum, dan menyimak kelasnya dengan baik.

Mata kuliah pagi ini adalah Cruise Line Operations & Management. Lain dengan Roy yang menghadiri kelas dengan mengantuk, mata dan telinga Ales justru segar untuk menyimak dosennya yang tengah menjelaskan tentang operasional kapal pesiar. Bisa dikatakan, Ales cukup tertarik dengan mata kuliah ini. Ia pernah berandai-andai untuk kerja di kapal tanpa harus pulang ke rumah ayahnya atau hidup menumpang di rumah Roy.

Tak lain tak bukan, Ales tentu ingin berlayar dengan menjadi bartender. Usai mengambil mata kuliah Mixology pada semester lalu, Ales yakin ia mampu bekerja di kapal pesiar, mendapat banyak uang, dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan sampingannya.

Kalau sekadar tentang aturan dasar pencampuran minuman alkohol ataupun non alkohol, hingga keterampilan bartending untuk seorang bartender, semua sudah dijelaskan pada mata kuliah Mixology yang sudah Ales ambil. Ditambah, ia juga sudah pernah magang di hotel bintang empat, jadi ia yakin sekali ia mampu meraih cita-citanya nanti. Rasanya, bagi Ales, bekerja di kapal pesiar sudah lebih dari cukup untuknya.

Omong-omong, beban kelas Ales sekarang hanya 2 SKS. Lantas, setelah nyaris dua jam berlalu, Ales kembali mengecek ponselnya sembari membereskan buku dan laptop. Kelas Cruise Line Operations & Management telah selesai, dan setelah ini, ia harus pindah ke ruang kelas selanjutnya—Strategi Bisnis Pariwisata. Kelas yang tak terlalu Ales minati karena menjadi wirausahawan bukanlah cita-citanya saat ini.

"Si Bigel enggak balas-balas chat gue kenapa, ya? Udah tiga jam anjir; dari masih di rumah, sampai sekarang udah kelar kelas, chat gue enggak dibalas juga. Padahal ini hari pertama rent-nya."

"Bigel ... siapa?"

"Klien gue yang payment dua kali lipat itu."

"Ah, dia! Lupa gue. Ya lo tinggal chat lagi apa susahnya, Les," balas Roy yang kemudian menyampirkan satu tali ranselnya di bahu. "Emang tadi pagi lo chat gimana?"

Ales lantas menunjukkan ponselnya, sembari mereka berjalan keluar dari kelas Cruise Line Operation & Management, menuju kelas Strategi Bisnis Pariwisata.

Roy yang mengamati pesan Ales, tak sedikit pun merasa ada keanehan di sana. "Hmm menurut gue biasa aja sih. 'Pagi sayang' tuh biasa banget menurut gue. Enggak ada yang salah, tapi coba lo chat lagi aja. Kali aja klien lima juta lo itu sibuk banget, sampai lupa ini hari pertama date lo sama dia."

Sama seperti Roy, Ales pun tak merasa ada yang salah. Namun, karena Bigel masih tak membalas juga, ia memutuskan untuk mengirimkan pesan lagi kepada Bigel seperti yang Roy katakan. Satu baris pesan pun ia kirimkan, hingga ....

"EH?!" Ales mengerjap, "kok ceklis satu doang ya?"

"Habis kali kuotanya."

"Cih, orang kayak dia enggak mungkin habis kuota sih. Masa bayar dua kali lipat bisa, tapi enggak bisa beli kuota?!"

"Ya udah berarti diblokir."

"HEH?!"

Ucapan Roy yang terlalu asal tapi menampar, membuat Ales seketika menghentikan langkah di tengah koridor kampus. Ia bahkan menahan bahu Roy agar tak terus berjalan, lantaran kini ia dibuat overthinking sendirian.

"G-gimana?! Kok diblokir?!"

"Duh, maksud gue tuh ... mungkin aja, Les. Ceklis satu gitu apa lagi kalau bukan diblokir? Lowbatt? Kayak enggak punya charger aja."

"Ya mungkin aja! Jangan matahin semangat gue dong!"

"Matahin semangat apanya si? Eh bodoh, dengar ya. Justru bagus kalau lo diblokir klien lo."

"Lah?" Ales kebingungan, tak mengerti maksud ucapan Roy barusan. "Enggak waras ini orang."

"Bukan gue yang enggak waras, tapi lo aja yang tolol. Duit udah masuk, Ocong juga udah dibayar, terus lo masih pegang sisanya. Eh tau-tau diblokir klien ya berarti lo enggak perlu kerja lah! Udah enak itu!"

Untuk kasus yang satu ini, Ales tak setuju dengan Roy. Sesuai janjinya, ia tak akan meninggalkan Bigel begitu saja. Klien yang membayar dengan harga normal saja Ales layani dengan baik, apalagi Bigel yang membayar dua kali lipat? Ia tak mungkin tega meninggalkan kliennya.

Tapi tunggu ... kalau begini caranya, berarti Ales sendiri yang ditinggalkan!

Enggak, enggak. Enggak mungkin diblokir! Ales tak mau percaya begitu saja.

"Sok tau banget blokar blokir blokar blokir! Begini nih, langganan diblokir orang. Makanya, gue bilang juga apa Roy ... kalau habis nge-date dan masa sewa udah selesai, tuh cewek enggak usah lo deketin lagi! Eh asal lo tau, mereka tuh sewa lo karena mereka butuh. Kalau udah selesai, ya udah enggak butuh. Enggak usah sok ngide nge-chat lagi! Cih, mampus kan lo diblokir cewek-cewek!"

Mendengar Ales yang malah balas menceramahinya, membuat Roy berdecih sebal. Bahkan, ucapan Ales barusan malah memancing Roy untuk membuktikan prasangkanya.

Lantas, detik itu juga Roy langsung merampas ponsel Ales. Tak peduli dengan pemiliknya yang menggerutu, Roy tetap ingin memberi pembuktian.

"Ngapain si?! Balikin!" ujar Ales seraya berusaha merebut ponselnya kembali.

"Tunggu!" sahut Roy yang menghadang temannya, dan buru-buru menyalin sesuatu dari ponsel Ales untuk dikirimkan ke ponselnya.

Tak sampai satu menit, Roy mengembalikan lagi ponsel Ales. Sekarang, ia malah mengeluarkan ponselnya sendiri. Meski apa yang Ales inginkan sudah kembali, tak menutup fakta bahwa ia begitu penasaran dengan apa yang Roy lakukan.

"Lo ngapain sih?" tanya Ales kala melihat Roy mengetikkan sesuatu, "EH!!! Lo nyolong nomor Bigel?!"

Ya, Roy sedang membuka room chat dengan nama kontak Bigel yang ia dapatkan dari ponsel temannya.

"Wah," Ales bertolak pinggang, tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, "lo jangan khianatin teman dong! Masa klien teman sendiri lo ambil?!"

Mendengar tuduhan Ales, Roy lantas berdecak kesal. "Siapa yang mau rebut klien lo anjir?! Gue cuma mau pastiin sesuatu!"

"Pastiin apaan? Jelas jelas lo chat Bigel! Idih, enggak nyangka gue sama lo. Roy ... Roy ... tiga tahun pertemanan kita lo anggap apa? Kecewa gue sama l—"

"NAH KAN!" Roy tiba-tiba memekik kencang, sontak membuat Ales berhenti bicara dan mengernyit heran.

"Apa gue bilang! Lo diblokir Bigel! Tuh lihat, chat gue ceklis dua!" ujar Roy dengan begitu bangga bahwa ia berhasil membuktikan dugaannya.

"H-HAH?!"

Seketika, Ales merebut ponsel Roy sebagaimana Roy melakukannya tadi. Dilihatnya pesan test yang Roy kirimkan kepada Bigel, dan benar ... pesan itu terkirim. Tidak seperti pesan terakhir Ales yang hanya menunjukkan centang satu, tidak terkirim.

"Mampus! Enggak percaya gue bilangin. Dah sini! Balikin!" ucap Roy seraya merebut ponselnya kembali.

Kini Ales dirundung bingung. Semua ini tak masuk akal baginya. Ia sama sekali tak merasa telah melakukan kesalahan. Kedua alisnya mengerut, wajahnya pun tampak sedang berpikir keras. Ada apa dengan Bigel?

"Eh, Les. Udah enggak usah dipikirin. Kayak yang gue bilang tadi, berarti bagus dong lo enggak perlu kerja, tapi duit udah lo terima. Udah, Les. Ini mah tinggal foya fo—" ucapan Roy terhenti, lantaran Ales tiba-tiba berlari meninggalkannya sendiri.

"WOY!!! MAU KE MANA LO?! ALES!!!"

Fleur Teapot, 12.30 PM.

"El, habis break tolong antar bunga, ya. Sorry ngandelin lo terus, soalnya Ce Alin masih belum masuk juga. Jadi, gue belum bisa bantu antar sana sini. Enggak ada yang jaga toko kalau gue pergi."

Siang ini, Bigel dan Elio tengah makan bersama di kafe mereka. Seperti hari-hari biasa, mereka mengandalkan food delivery untuk makan siang. Biasanya, ada Alin yang juga bergabung untuk makan bersama. Namun, sudah tiga hari ini Alin absen dan meninggalkan dua pegawainya tanpa leader mereka.

"Hu um! Santai aja Kak Bigeeeeel. Lagian 'kan emang kerjaan aku juga antar-antar bunga. Kak Bigel di toko aja, rangkai buket-buket cantik!"

Bigel tersenyum tipis, "Thanks, ya."

Elio pun menganggukkan kepalanya.

"By the way, Ce Alin kapan masuk, ya? Tiga hari ini enggak ada dia di toko jadi sepi aja gitu. Enggak ada yang nyambut aku di pintu setiap aku datang, sambil bilang ... 'selamat pagi Baby El!'"

"Terus lo berharap gue nyambut lo gitu juga?"

"Ya ... enggak sih, Kak. Tapi aku enggak biasa aja enggak ada Ce Alin, enggak ada yang temanin makan bubur!"

"Tinggal makan sendiri aja repot."

"Ih! Beda lho rasanya makan bareng sama makan sendirian. Ada Kak Bigel juga enggak bisa aku ajak sarapan! Orang Kak Bigel tiap pagi malah merokok terus! Jangan sering-sering tau, Kak. Nanti sakit!"

Bigel mendenguskan tawa sekilas, "Bawel lo ah. Udah makanya doain aja Ce Alin cepat sembuh. Ribet juga nih enggak ada dia jadi gue yang bikin report daily sales."

Elio pun menghela napas panjang, "Jarang-jarang ya Ce Alin sakit, sekalinya enggak masuk gini bikin kangen."

"Bikin repot, El."

"Bikin kangen, Kak Bigel."

"No. Lo enggak boleh kangen sama dia. Dia human diary gue, Ce Alin adalah untuk Abigail."

"Hell no! Ce Alin juga human diary aku! Enak banget Kak Bigel asal klaim gitu aja! Ce Alin adalah milik bersama."

"Cih? Emangnya dia toilet umum!"

"Heh! Jahat banget Kak Bigel bilang gitu!"

"Tuh 'kan, begini nih kalau enggak ada Ce Alin. Repot gue ngehadapin lo. Gue enggak jahat, Elio."

"Jahat!"

"Enggak!"

"Jahat! Masa manusia dibilang toilet umum!"

Bigel lantas menghela napas dengan penuh kesabaran, "Itu cuma perumpamaan, Elio Ganendra."

"Tetap aja perumpamaannya jahat!"

"Tau ah! Serah lo!" balas Bigel yang sudah muak lama-lama berbincang dengan Elio. Elio pun memberikan lirikan sinis kepada Bigel, sebelum kembali fokus kepada ayam geprek yang menjadi menu makan siangnya.

Begitulah kalau tak ada Alin, tak ada yang menengahi pertikaian receh antara Bigel dan Elio yang tiada akhir. Setiap hari, pasti ada saja keributan yang mereka timbulkan. Entah karena pilihan menu makan siang, atau masalah pembagian tugas bersih-bersih toko, atau sekadar tentang siapa yang bisa menyeduh teh lebih baik.

Setelah itu, tak ada lagi obrolan yang terdengar dari mereka. Keduanya menghabiskan makan siang dengan sesekali bertukar tatapan tajam. Bigel dan Elio saling bertukar kebencian kecil dalam hati masing-masing. Hingga tiba-tiba ... TING!!!

Terdengar suara bel pintu yang berdenting, menandakan seseorang masuk ke dalam toko mereka. Sontak, Bigel dan Elio yang semula fokus pada makanannya, kini saling bertukar pandangan.

"Lo enggak switch open sign di depan ya?!" tuduh Bigel.

"Ih, enak aja! Aku udah putar jadi closed!"

"Terus kok ada yang masuk?! Pasti lo lupa! Sana cek!"

"Ih, enak aja! Aku enggak lup—" ucapan Elio terjeda, lantaran ia melihat seseorang yang memasuki area kafe mereka, "KAK ALES?!"

Lantas seketika, Bigel menoleh ke belakang—mengikuti arah pandang Elio yang menatap lurus ke depan. Benar saja, pacar sewaannya itu berdiri di sana dengan kikuk. Terlihat dari bagaimana kedua tangan itu berusaha melambaikan tangan kepada Bigel dan Elio.

"H-hai?" sapa Ales.

"Kak Ales ngapa—OH! Ini tanggal satu, ya?! Astaga aku lupa! Welcome, Kak Ales. Sini-sini, duduk sama kita!"

Ales pun tersenyum, ia senang mendapat respons positif dari Elio atas kehadirannya yang tiba-tiba ini. Lantas, ia langsung menghampiri meja Elio dan Bigel, lalu duduk bersama mereka.

Sementara itu, Bigel hanya memperhatikan Ales yang menatapnya dengan takut-takut. Sepertinya, ia mengerti alasan kehadiran Ales di sini.

"Kenapa enggak tunggu gue unblock aja baru datang ke sini?"

Sontak, Ales mengerjap. "JADI LO BENERAN BLOKIR GUE?!" Ia spontan bicara sedikit kencang kepada Bigel.

Bigel bukan orang yang kagetan, ia cenderung biasa saja mendengarnya. Namun, Elio tersentak hingga tak jadi menyuap nasi yang hampir masuk ke mulutnya.

"Lo lagi ngebentak?" tanya Bigel, dengan tenang.

"Eh? S-sorry enggak gitu maksudnya, Bi."

Lagi-lagi 'Bi'.

Bigel lantas menghela napas panjang, "Hari ini lo bakal gue briefing. Tunggu gue selesai makan, baru kita obrolin rules dari gue sebagai klien lo. Ngerti?"

Ales tak punya jawaban lain selain ... "N-ngerti, Bi," sahutnya sembari mengangguk patuh.

Sementara, satu orang lagi yang berada di sana, hanya bisa diam dengan melirik ke arah Bigel dan Ales secara bergantian. Elio tak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Namun yang jelas, lebih menarik daripada ayam gerpeknya sekarang.

"Good. Sekarang tunggu di luar karena toko gue lagi tutup, kita enggak terima pelanggan."

"E-eh? Gue enggak boleh duduk aja di sini, Bi? Gue 'kan ... bukan pelanggan? Gue pac—"

"Lo pegawai di sini?"

Ales menggeleng, "Bukan."

"Out. Mohon maaf Bapak Alessandro, kami sedang tutup sementara karena jam istirahat. Silakan kembali setelah tiga puluh menit lagi. Terima kasih," ucap Bigel dengan aksen seperti seorang pelayan toko yang sedang menghadapi pelanggan tak tahu waktu.

"O-oh, oke ... maaf ganggu makan siangnya, Bi. Enjoy your meal, ya!"

Meski egonya sedikit terluka, Ales tetap tersenyum dan melangkah keluar dengan tenang. Sesuai permintaan pelanggannya, ia akan menunggu hingga setengah jam ke depan. Sedikit tak ia sangka, klien yang satu ini memiliki karakter yang begitu tega. Padahal, kalau dipikir-pikir ... meski ia cuma pacar sewaan, Ales tetaplah seorang pacar. Seseorang yang seharusnya berlaku dan diperlakukan dengan baik.

"Emm ... Kak Bigel," Elio memanggilnya.

"Apa?"

"Kan, apa aku bilang ...."

"Apa sih?"

"Kak Bigel jahat."

Lantas, Bigel hanya menghela napas malas. Ia memutar bola mata dan menunjukkan ketidaktertarikannya dengan obrolan yang dibuka Elio.

"Kak Bigel jangan gitu sama Kak Ales. Masa pacar sendiri digituin sih? Dia cuma mau duduk aja lho di sini. Masa enggak boleh?"

"Makan. Jangan banyak omong, Elio."

to be continue! 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top