69 | despair

Berkat sebuah senyuman dari seorang teman di balik kaca jendela Nyx Bar, Bigel akhirnya melepas pelukannya. Ia sadar ia sedang di ruang publik, dan tak rasanya tak elok memeluk seseorang yang bahkan tidak memeluknya balik. Bigel mendadak sadar diri. 

“S-sorry, Les.”

Ales hanya mampu tersenyum kecil mendengar permintaan maafnya. 

“Lo … mau ke mana?” 

“Pulang.”

“Les.”

“Hm?”

“Boleh … ngobrol sebentar?” 

“Gue udah minta Haga buat atur jadwal temu. Jadi, tunggu sampai hari itu aja, ya? Gue … lagi nggak fit buat banyak ngobrol, Bigel. Maaf.”

Alis Bigel mengernyit, raut khawatir pun mencuat begitu saja. “Ales, lo sakit?”

Pertanyaan macam apa itu? Ales mendengkuskan tawa ketika mendengarnya. Mungkin terdengar biasa, tapi di telinga Ales itu sungguh pertanyaan tidak berguna. Ia tidak sakit, sama sekali. Hanya saja … ia lelah bukan main. Namun, kalau yang Bigel tanya adalah tentang keadaan hatinya, maka Ales mungkin akan menjawab ya. 

“Gue stay di sini, Les. Lo mau istirahat dulu? Ayo, daripada lo paksain pulang tapi lagi nggak fit gini.” 

“Gue nggak apa-apa kok. Gue duluan, Bi—”

“Ales, tunggu.” Bigel menahan lengan pria itu, membuat Ales tak jadi menarik gas untuk segera pergi dari situasi menyedihkan ini. “Ada banyak hal yang mau gue bicarain, Les. Gue … gue udah siap buat omongin semuanya sama lo. Maaf, selama ini gue lari dari semuanya.”

Ales menghela napas. Melihat mata Bigel yang begitu sendu, tak pernah bisa Ales tega membiarkannya. Tak peduli seberapa besar luka yang menggerayangi hati karena harapan-harapan kecil untuk bersama gadis di hadapannya ini, ia tak akan pernah sanggup membiarkan Bigel terlihat menahan air mata di depan dirinya.

“Jangan nangis.”

“Enggak.” Tapi suaranya yang bergetar tak bisa berbohong. Air mata itu memang tak tumpah, tapi Ales tahu Bigel menahannya mati-matian. 

“Mau ikut? Gue mau pergi ke Lawson. Bigel mau hotang? Atau mau Sampoerna Mild? Ayo kita beli. Naik, yuk.” 

“L-Les …?”

"Naik, Bigel. Kecuali kalau lo mau masuk ke Nyx." 

Tidak. Tidak mungkin Bigel melewatkan kesempatan untuk bersama Ales. Persetan dengan Nyx Bar yang semula ingin ia kunjungi karena Haga berada di sana, Bigel memilih untuk naik ke Vespa putih Ales dan menerjang angin malam bersama pria yang ingin ia dekap selamanya. 

Malam itu, ia pergi dengan Ales melalui jalan-jalan yang pernah mereka lewati bersama. Bigel ingat saat Ales duduk di sebelahnya yang menyetir mobil pick up, dan mengantar bunga kepada pelanggan-pelanggannya. Bigel ingat, bagaimana Ales mengeluh seperti anak kecil setelah dimarahi Bigel karena bernyanyi sepanjang jalan. Bigel merindukannya. Ia merindukan hal-hal itu. Namun, ketika kini ia akhirnya bisa duduk dengan jarak yang begitu dekat dengan Ales, ia tak bisa membuka suara. Tangannya pun ia tahan untuk tak memeluk. Karena ia tahu, rasanya akan lancang jika ia memeluk Ales yang bahkan sudah tak memanggilnya Bos Bi seperti sedia kala. 

Ales telah berubah. 

"Sampai. Bigel, ayo turun."

"O-oh? Oh, iya, Les." 

Obrolan mereka tak banyak ketika mengelilingi rak-rak camilan di toko kelontong itu. Ales mengambil tiga bungkus snack, tanpa bertanya kepada Bigel apa yang ia suka. Ales memutuskan dengan sendirinya. Bigel pun tak berani untuk protes, meski sejujurnya ia tak suka snack dengan rasa rumput laut. 

Yang Bigel lakukan hanya mengekor ke mana pun Ales melangkah. Ales tak terlihat risih sama sekali, jadi Bigel merasa tak apa-apa. Begitu pula saat mereka akhirnya pergi ke kasir, Bigel hanya diam tanpa banyak meminta. Ales yang memesan semuanya. 

"Tambah dua hotang, dan satu Sampoerna Mild ya, Mbak."

Lalu, Ales juga memesan dua Caramel Macchiato kepada seorang barista, lagi-lagi tanpa bertanya kepada Bigel apa yang Bigel inginkan. Dan lagi-lagi, Bigel tidak protes sama sekali meski dirinya tak begitu suka minuman manis. 

Setelah semua pesanan siap, mereka pun duduk di area merokok. Ales tak bicara apa-apa, dan mata Bigel selalu melirik ke arahnya, berusaha mencari atensi yang tak ia dapatkan. 

"Kenapa?" tanya Ales, akhirnya. 

Bigel menggeleng, "Nggak apa-apa. Makasih, ya rokoknya, hotangnya, kopinya, dan … waktunya." 

Ales tersenyum tipis sebelum mengangguk dan menyeruput kopi dinginnya dengan tenang. Satu snack ia buka dan ia makan tanpa peduli mata Bigel terus menatap kepadanya. Ales bahkan tak terlihat risih sama sekali. Bigel lantas mulai meragukan kepentingannya berada di sini. Ales tak tampak seperti ingin bersamanya. Tapi, Bigel masih ingin mengobrol dengan Ales. Ia pun rindu. Tak ada sosok yang ia temui seperti Ales di bagian mana pun bumi yang dipijaknya.

"Les, lo … apa kabar?"

"Baik."

"Oh …."

Ah, sialan. Bigel tak tahu harus memulai percakapan seperti apa ketika yang ia ajak bicara pun tak menunjukkan ketertarikannya. Sekilas tersirat dalam benak, sepertinya Ales sudah tak menyukainya seperti sedia kala. Pria itu hanya sibuk dengan snacknya sendiri, dan beberapa kali menyeruput kopi dengan mata yang memandang ke jalanan.

"Ales …."

"Hm."

Bigel berusaha berpikir positif. Mungkin, snack yang memenuhi mulutnya itu adalah alasan Ales menjawab hanya dengan berdeham singkat. Bukan karena Ales malas meladeninya. Bigel berharap skenarionya seperti itu. 

"Tentang yang mau gue obrolin sama lo … boleh dibahas sekarang?"

"Seburu-buru itu?" 

"Enggak, kok. Gapapa, bisa nanti kalau lo belum mau dengar." 

"Ya udah."

"Apa?"

"Nanti aja, gue juga belum siap dengarnya."

"Oh." Tak tahu kenapa, hati Bigel terasa sakit dengan tiba-tiba. "O-oke, tunggu nanti aja kalau gitu." 

Ales mengangguk, dan keheningan kembali menyeruak di antara keduanya. Ales sibuk mengunyah snack sambil memandang jalanan dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Bigel pun mulai membakar sebatang rokok, ketika tak tertarik sama sekali dengan hotang yang Ales beli. Ia hanya diam, berteman dengan asap, sambil ikut memandang kosong ke arah jalanan yang ramai. 

Untuk sejenak, Bigel tersadar bahwa dirinya begitu menyedihkan. 

Pria yang pernah ia cinta menikah dengan wanita yang ia percaya, melahirkan seorang putra yang kini menjadi tokoh utama di keluarganya. Hidup sendirian, tanpa ada teman yang betul-betul bisa dijadikan sandaran. Tokonya hancur, tak ada lagi bunga-bunga mekar yang mengharumkan hari-hari membosankan. 

Dipikir-pikir, sudah terlalu banyak ia kehilangan. Dan sekarang … ia merasa perlu memantapkan hati lagi untuk bersiap sebelum ditinggalkan Ales yang tampak sudah tak memiliki ketertarikan untuk bersamanya. Apapun itu, bagaimanapun cerita ini berjalan dan berakhir, ia tahu ia hanya akan tetap sendirian dan menjadi seseorang yang menyedihkan. 

Dan rasanya, sudah tak pantas lagi ia meminta Ales hidup bersama dirinya. 

Lantaran pemuda seperti Ales sungguh mampu mendapatkan perempuan mana pun yang ia mau. Sementara ia hanyalah seonggok keputusasaan yang berada dalam tubuh perempuan. Tak ada harapan, tak ada harapan. 




to be continue...

we're almost reach the end, guys.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top