67 | same hotel, different feelings
Di malam ketika Bigel mengantar Roy pulang setelah mabuk tidak karuan, tak pernah terlintas di bayangannya bahwa ia akan melihat mantan kekasih palsunya, penghiburnya, penyemangatnya, Alessandro Tedja-nya, keluar dari rumah dengan napas memburu seperti tengah mencari-cari sesuatu di bawah gelapnya malam. Sementara dirinya sendiri terhenyak di dalam mobil, rindu serindu-rindunya dengan pria yang bahkan tidak ia kenal dalam waktu yang lama. Bigel pun tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Bagaimana bisa ia terjangkit Alessandro Tedja? Bagaimana bisa ia tidak melewati sehari pun tanpa memikirkan bagaimana perasaan pria itu setelah ditinggalkannya? Bagaimana bisa ... bagaimana bisa ... Ales terus dan terus hadir dalam pikirannya, tak peduli siang ataupun malam, tak peduli cerah ataupun hujan.
Hatinya malam itu mengatakan bahwa ia harus turun dari mobil, menghampiri Ales yang celingukan di tengah jalanan komplek, dan memeluknya seraya berkata, 'Bos Bi di sini, Les.'
Namun, agaknya ia tak sanggup melakukan itu. Ia belum siap juga menghadap Ales dengan keadaan setengah mabuk. Ia masih memiliki kesadaran, tapi tak cukup baik untuk menghampiri Ales malam itu. Ia takut dirinya kelewatan, ia takut segalanya malah jadi semakin berantakan. Lantas, otaknya memerintah untuk pergi dari hadapan Ales dengan segera. Ia tancap gas sekencang-kencangnya, dan nyaris melukai Ales jika saja ia tidak langsung membelokkan kendali mobil. Tak ada yang bisa ia lakukan malam itu selain menitikkan air mata sepanjang perjalanan pulang ke hotel, dan berkali-kali mengucap maaf dalam hati untuk sang mantan kekasih palsu.
Sudahlah ia menangis malam itu, agaknya masih belum cukup juga bagi semesta melihat Bigel berderu air mata. Lantaran malam ini, selepas Haga datang kepadanya dan menyampaikan pesan dari Ales, Bigel termenung di samping jendela hotel. Cahaya di mana-mana, lampu dari gedung-gedung dan mobil yang berlalu lalang menghiasi pemandangannya sekarang. Indah? Tentu. Namun tak mampu menerangi kegelapan Bigel malam ini.
Bodohnya ia, kenapa juga ia memesan kamar di hotel yang tepat berseberangan dengan Nyx Bar. Di hotel yang pernah ia datangi bersama Alessandro Tedja. Ia tak mungkin lupa hari itu.
Bigel meneguk minuman kesukaannya, minuman yang juga pernah ia order dari bar tempat Ales bekerja. Kali ini pun, ia mendapatkannya dari bar yang sama. Nyx Bar. Tapi ia tidak datang, sengaja karena masih belum siap untuk menghadapi Ales sekarang. Belum siap ia mendengar penolakan langsung dari orang yang ia harapkan. Karenanya, ia mendapatkan minuman itu dari Elio. Elio yang merupakan mantan pekerja paruh waktunya, yang kini bekerja paruh waktu sebagai pelayan di bar Ales. Elio yang juga malam ini menemani Bigel setelah memberikan pesanannya.
Elio duduk bersama mantan seniornya di Fleur Teapot yang sudah gugur bersama bunga-bunga cantik mereka. Sebelum termenung berdua di depan jendela, Elio sudah sempat girang bukan main saat bertemu Bigel di lobby hotel. Kini yang tersisa hanyalah hening, dan suara helaan napas panjang Bigel setelah menelan alkoholnya.
"Kak Bigel."
"Hm?"
"Em ... aku sebentar lagi selesai break, aku harus balik ke Nyx, Kak. Kak Bigel—"
"Iya, nggak apa-apa, El. Semangat ya."
Elio tak menampilkan ekspresi apa-apa, sebagaimana Bigel ketika mengucap kata semangat untuk dirinya. Elio tak tega.
"Kak, mau ikut aku ke Nyx? Kak Ales libur kok, dia nggak on shift. Dia switch sama temannya, katanya ada urusan. Jadi, daripada Kak Bigel sendirian ...."
"Nggak apa-apa, Elio. Gih sana, nanti telat. Gue mau di sini aja, lagian udah ada minuman juga. Makasih ya, udah dibawain."
Kalau begitu, Elio juga tidak bisa memaksa. Ia tak punya pilihan lain selain kembali ke Nyx sendirian. Dengan hati yang sedikit sedih, Elio pun berpamitan dan meninggalkan Bigel. Ia bahkan tidak mau repot-repot meminta tolong Bigel untuk diantarkan ke lift dengan kartu aksesnya. Elio keluar dari kamar hotel, dan meminta tolong kepada pegawai yang lewat untuk diberikan akses turun. Ia sedih, ia tak tega, hatinya terlalu lembut untuk melihat wajah Bigel yang jelas tampak kecewa.
Dan ia yang sudah terlanjur ikut merasakan sesak di dada pun tak bisa menahannya lagi. Elio ingin marah. Elio tak pernah ingin membiarkan Bigel sedih sampai sebegitunya. Lantas, begitu keluar dari lift dan berjalan keluar dari hotel tempat di mana Bigel singgah, Elio menghubungi Ales dengan segera. Baru sedetik panggilannya dijawab, Elio sudah mengoceh dengan nada tingginya kepada Ales yang hanya bisa diam mendengarkan ocehan-ocehan.
"Kak Ales itu gimana, sih?! Kak Bigelnya sedih! Lagian, siapa yang suruh Kak Ales buat stay di sini? Mau berlayar? Halah, bullshit! Mana ada! Kalau Kak Ales niat berlayar ya udah mulai prepare cari agency buat kerja nanti! Ini, apa?! Aku tuh tau Kak Ales, ya! Mana ada Kak Ales cari-cari agency, atau minta tolong ke Kak Haga buat dibantu tuh urusan 'ingin berlayarnya'. Bohong! Kak Ales bohong 'kan, Kak?! Kak Ales cuma alesan aja 'kan ke Kak Bigel?! Kalau emang nggak mau ikut pergi sama Kak Bigel, bilang aja! Jujur aja! Biar aku yang ikut Kak Bigel pergi!
Kak Bigel udah bela-belain pulang buat Kak Ales, terus Kak Alesnya apa?! Malah menghindar! Nggak jelas banget, sih?! Dulu kayak anak kucing kehilangan induk. Sekarang sok nggak mau berhubungan lagi sama Kak Bigel! Heran, sebetulnya Kak Ales suka nggak sih sama Kak Bigel? Sayang nggak sih?!"
Sejenak Elio diam untuk menghela napasnya yang memburu karena emosi dari dalam diri. Namun, belum sempat lagi ia menimpali Ales dengan omelan-omelannya, panggilan itu telah diakhiri.
Ales telah mengakhirinya.
.
to be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top