66 | Sorry, Abigail
"Yah … kurang lebih begitu ceritanya."
Haga menutup penjelasan kepada Ales dengan membakar sebatang sigaret setelah makan siang mereka. Makan siang itu diisi dengan penjelasan Haga yang panjang lebar, dan Ales yang hanya mendengarkan dengan tidak sekali dua kali dibuat terkejut. Gila, batinnya.
"Jadi, Bigel udah balik ke sini?"
Haga mengangguk, "Tapi belum pulang ke rumah. Enggak berniat pulang kayaknya. Kita berdua juga tau, dia dipaksa ke luar. Bukan kemauannya dia."
Ales mengerti hal itu. Yang tidak ia mengerti adalah, lantas untuk siapa Bigel pulang? Kalau dari cerita Haga barusan … untuk dirinya? Benarkah begitu?
Dan pertanyaan yang tak terucap itu dijawab oleh Haga berselang beberapa detik setelah mereka hening.
"Bigel ke sini buat ajak lo tinggal di sana, Les. Sebetulnya juga, ini udah jadi pembahasan gue sama dia sejak beberapa minggu lalu."
"Lo serius?"
"Kenapa juga gue nyuruh Bigel ketemu Roy biar dia yang bantu ketemu lo, kalau gue nggak serius? At the end, malah gue pukul temen lo. Sorry about that, Les."
"Hm, gapapa. Nanti gue obrolin sama Roy juga."
"Oke."
Lalu hening terjadi dengan asap rokok yang menghiasi meja makan mereka. Ales tampak berpikir, menatap ke sembarang arah dan mengisap rokoknya. Dan Haga terus memperhatikan Ales. Ia tahu, temannya itu pasti bingung harus bagaimana setelah mendengar kekacauan semalam.
"Jadi, Les … dari diri lo sendiri, lo mau?"
Ales menghela napasnya, "Lo tau gue masih mau berlayar, Ga."
Haga tersentak mendengarnya. Ia tahu Ales memiliki cita-cita itu, tapi tak disangkanya akan dibawa dalam percakapan ini seolah Ales berniat menolak permintaan Bigel.
"Tapi kalau boleh, gue mau ketemu Bigel sekali lagi aja sebelum gue betul-betul fokus sama karir setelah gue lulus."
Haga semakin tak bisa berkata-kata. Pikirnya, tak ada kata penolakan dalam kamus Alessandro Tedja jika segala hal berkaitan dengan Abigail Ananta.
Namun, agaknya yang ia rasakan sedikit banyaknya benar. Bahwa Ales telah berubah dalam hitungan bulan demi bulan. Mulai dari tidak begitu hijau lagi matanya ketika berkaitan dengan uang, dalam bukti bahwa ia sudah tidak mempromosikan diri untuk jasa sewa pacar. Hingga dirinya yang tidak kalang kabut lagi sebagaimana dirinya dulu ketika mendengar nama Abigail Ananta. Ales sedikit lebih tenang daripada hari-hari dan bulan-bulan sebelumnya.
"Gue cuma mau ketemu Bigel sekali lagi aja, Ga. Dan semalam … gue kira gue bisa ketemu dia. Tapi ternyata enggak. Dia pergi."
"Les, lo …."
"Gue nggak bisa keluar tanpa alasan. Mau apa gue selama di sana? Numpang hidup sama Bigel? No. Gue nggak mau kayak gitu. Jadi, tolong temuin gue dan Bigel untuk yang terakhir kali, Ga. Gue bakal kerja serius setelah gue lulus. Dan kalau gue ada kesempatan untuk berlayar, gue udah nggak akan ketemu Bigel lagi. So that's why … gue mau ketemu dia untuk yang terakhir."
"...."
"Thanks for your help, anyway."
Tatap mata Ales tak pernah terlihat lebih serius daripada ini. Haga lantas tak bisa membela Bigel lebih jauh lagi, ia juga tak bisa memaksakan Haga untuk memenuhi keinginan Bigel untuk pergi bersama-sama. Pertemuannya hari itu berakhir dengan Haga yang menyanggupi untuk mempertemukan Ales dan Bigel untuk terakhir kali. Dan Ales berterima kasih sebelum ia pergi meninggalkan Haga di restoran dengan alasan ia harus pulang dan mengecek keadaan Roy di rumah.
Haga membakar sebatang sigaret lagi, mengisapnya sambil berusaha menenangkan diri sebelum menghubungi Bigel untuk membuat janji temu dengan Ales. Respons apapun yang Bigel berikan, ia merasa ia harus mempersiapkan dirinya. Dan mungkin … ini menjadi kali terakhir seorang Haga Sanders membantu Alessandro Tedja dan Abigail Ananta.
The final will come.
"Halo? Ah, siang, Gel. Sorry, lo lagi sibuk nggak? Bisa ketemu? Di cafe samping hotel lo aja, gue ke sana sekarang."
•
Lantas, di siang hari yang cerah Bigel harus mendengar kabar yang membuat hatinya mendung. Belum selesai tentang ucapan Roy semalam yang membuatnya terus menerus berpikir keras karena merasa dirinya egois bukan main, kini Haga datang membawa kabar yang seolah memvalidasi perasaan dan pikirannya sendiri.
Bahwa dirinya telah egois. Dan Ales menolaknya.
Kue manis di meja yang menjadi pembatas mereka berdua tiba-tiba terasa hambar di mulut Bigel. Teh kamomilnya tidak lagi menenangkan, tapi malah terasa pahit. Ia tidak berselera dalam seketika. Sia-sia ia sumringah ketika mendapat telepon dari Haga yang mengatakan bahwa dirinya telah bertemu Ales dan ingin membicarakan tentang hal semalam.
Rupanya, kabar pahit ini yang dibicarakan.
Melihat Bigel yang kembali berdiam, tidak banyak merespons seluruh kata-katanya, Haga menjadi iba. Ia ingat gurat wajah kecewa yang sama, yang ia lihat di hari pertama menemukan Bigel dalam pelarian di villanya. Haga tidak tega, tapi ia juga tidak bisa membantu lebih jauh lagi karena tak mungkin ia memaksakan kehendak Ales.
"I'm so sorry, Abigail."
"No. I'm okay."
"Hmm."
"So … I guess this is the end?"
"Probably."
"...."
"Sorry, Abigail."
to be continue ....
much love,
Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top