65 | About Roy and His Deep Anger

Dini hari itu, sebelum ia pulang dengan gontai dan dada yang sesak karena dihantam pukulan kuat, ia pergi untuk memenuhi sebuah janji temu dengan kliennya di jam sembilan malam.

Kliennya adalah seseorang yang dengan akun palsu menghubungi akun Twitter bernama Roynaldo Malik. Harga yang ditawarkan kliennya melebihi tarif yang ia pasang di akun untuk sebuah jasa sewa pacar. Lantas, serasa mendapat jackpot, ia girang bukan main dan langsung pergi menemui orang yang ingin menyewa jasanya di tempat yang telah mereka sepakati bersama.

Mulanya, Roy sempat mengarahkan untuk bertemu di Nyx Bar, tapi kliennya itu menolak dan mengalihkannya ke bar lain. Maka, bertemulah mereka di Citibar, sebuah bar kecil yang berada di perbatasan barat dan utara Jakarta. Jaraknya cukup jauh dari Nyx, begitu pula dari rumahnya yang di perbatasan selatan dan baratnya Jakarta. Namun, Roy tidak peduli dan tetap pergi demi klien yang akan memberinya harga sewa dua kali lipat dari yang ia tawarkan.

Dengan percaya diri, Roy tersenyum dan menyebut nama klien itu kala ia disambut oleh pelayan yang menanyakan perihal reservasinya. Dan dengan kemurahan hati seorang pelayan, Roy diantar sampai ke depan sebuah pintu yang ternyata merupakan ruang khusus, pribadi, dan begitu tertutup.

"Di sini ya, Kak. Silakan masuk."

Roy mengucap terima kasih dan tersenyum sebelum membuka pintu itu dengan tangannya sendiri, dan memasuki sebuah ruang dengan satu meja dan empat kursi yang telah diisi oleh tiga orang di sana. Tidak salah, Roy tidak salah lihat. Ia mengerjapkan matanya demi memastikan lagi, tapi sayang yang ia lihat adalah benar adanya. Tiga orang di sana duduk, diam, seolah memang telah menunggu dirinya untuk datang.

Roy terkesiap, kakinya mendadak tak berani melangkah. Kegilaan macam apa ini? Dia tidak pernah merasa membuat janji temu dengan mantan kekasih palsu temannya sendiri. Ditambah, ia ragu apakah ia memang semestinya berada di sini? Lantaran kini semua yang berada di meja tidak begitu ia kenal, dan Roy juga bukanlah siapa-siapa bagi mereka. Namun, satu wajah sendu di sana ia kenal dengan begitu baik. Gadis berambut hitam kelam yang agaknya sudah lebih panjang dari sejak pertama kali ia lihat, duduk dan tersenyum tipis kepadanya.

"Roy … welcome."

Tapi Roy masih ragu untuk melangkah. Masih tidak mengerti mengapa pelayan itu membawanya ke ruangan ini. Karena sungguh ia tidak membuat janji dengan mantan kekasih palsu temannya sendiri, Abigail Ananta.

"Jangan takut, kita di sini cuma mau sedikit ngobrol sama lo. Karena lo satu-satunya teman Ales yang kita tau. Maaf kalau caranya terkesan menjebak."

"B-Bigel … bukannya lo di Aus—"

Gadis itu tersenyum. Ia mengulas senyuman yang mampu memotong ucapan Roy begitu saja. Terhipnotis karena mungkin merasa sudah lama sekali tidak melihat gadis itu tersenyum kepadanya.

"Lagi libur musim panas. Duduk dulu, Roy, kita ngobrol sebentar sambil minum. Biar semuanya sama-sama tenang."

Akhirnya, Roy pun menuruti apa yang gadis itu bilang. Ia duduk tepat di hadapan gadis itu, di sebelah seorang pria yang juga ia kenal sebagai teman kaya rayanya Ales. Dan ada lagi satu wanita di sana, di sebelah Bigel yang Roy ingat betul pernah menjadi alasan Ales babak belur sewaktu pulang bekerja dari Nyx. Kejadian yang sudah lama sekali.

"Santai, Bro." Haga menenangkan. "Jangan tegang."

"A-ah, iya … sorry-sorry, gue enggak expect aja ternyata Bigel yang hubungin gue di DM."

Bigel menanggapi obrolan itu hanya dengan tersenyum, sebelum akhirnya Roy jadi semakin canggung dan Bigel mulai mengambil satu tegukan dari gelas yang berisi wine.

"Apa kabar, Roy?"

"G-gue …? Baik, Gel. Lo gimana?"

Bigel mengangguk tipis, "Lumayan."

"Rambut lo makin panjang."

Kata-kata yang entah kenapa dibawa oleh Roy untuk mengisi percakapan berakhir membuat Bigel mendengkuskan sedikit tawa.

"Iya, nggak gue potong. Udah lebih dari … setengah tahun ya, Roy? Sejak gue ke luar."

Roy melirik ke sudut atas, menghitung sekilas sudah berapa lama tepatnya Bigel meninggalkan tanah air. Tapi, mau sekeras apapun ia berpikir, ia tidak bisa menemukan angka pastinya. Yang jelas, sudah lama sekali Bigel pergi sampai-sampai namanya sudah tak pernah terdengar lagi di telinganya. Karena Ales pun di rumah sudah mulai jarang membahas tentang Bigel. Teman baiknya itu hanya mengandalkan kabar dari Haga, yang kadang-kadang memberikannya foto-foto random Bigel di luar negeri.

"By the way … sorry gue contact lo kayak gini. Karena gue takut lo nggak akan nemuin gue kalau gue sekadar hubungin lo dengan cara biasa. Atau, lo akan bawa Ales ketika gue ajak ketemu. Karena sekarang … ada yang perlu gue bicarain sama lo tentang Ales."

Roy terdiam. Dugaan Bigel sebetulnya salah total. Roy bukan orang yang akan menolak mentah-mentah untuk sebuah janji temu, meski tak bisa dipungkiri ia pun ada kesal-kesalnya juga terhadap Bigel dan keluarganya. Karena, ialah yang menjadi paling repot di rumah menghadapi kegalauan Ales sampai pada masa sembuh dengan sendirinya.

"Pertama-tama, gue minta maaf. Gue ninggalin Ales, di saat gue tau perasaannya kayak apa." Bigel terdiam sejenak, sebelum ia tiba-tiba mendengkuskan tawa perih. Terlihat seperti telah menyesal sedalam-dalamnya, hingga ia menertawakan dirinya sendiri atas kebodohan yang mungkin telah ia perbuat. "Well, 'adik' dan 'kakak' memang kadang ada kemiripannya meski nggak sedarah. Dan gue … gue merasa udah jadi bajingan sebajingan-bajingannya kakak gue. Gue ninggalin Ales. Dan meski begitu, meski gue udah sejahat itu sampai block semua aksesnya, dia tetap nanyain kabar gue terus menerus lewat Haga. Lo pasti tau tentang ini 'kan, Roy?"

Ia yang ditanya menghela napasnya, dan mengangguk dengan berat hati.

"Tapi Ales udah move on, Gel. Jadi, lo enggak perlu merasa bersalah lagi. Everything is okay. Gue saksinya. Dia udah enggak 'seterluka' dulu."

"Sorry, gue interrupt. Bigel, gue dan Hanna perlu keluar dulu atau …?"

"No, tetap di sini. Tahan gue kalau gue kelewatan. Gue takut gue emosi. Takut ada keributan di sini."

"Oh, okey."

Haga pun kembali diam, duduk di tempatnya dengan tenang. Ia meneguk minumannya, dan kembali memfokuskan diri pada perbincangan malam ini. Kekasihnya pun hanya diam di hadapannya, tidak memiliki niatan untuk mengganggu sama sekali, sampai nanti jika tindakannya sudah dibutuhkan.

"Jadi, Roy … alasan gue panggil lo ke sini adalah karena gue butuh bantuan."

"Huh? Bantuan apa?"

"Boleh bantu temuin gue dan Ales untuk … memulai hidup yang baru jauh dari tempat ini?"

Roynaldo Malik membelalakkan matanya mendengar permintaan Bigel yang sungguh di luar nalar. Berbulan-bulan pergi tanpa bertukar kabar, tiba-tiba datang meminta bantuan untuk kembali kepada teman satu-satunya yang ia pelihara di rumah. Kembali bukan sembarang kembali, tapi kembali dan pergi bersama-sama untuk memulai hidup baru jauh dari tempat ini. Yang mana juga berarti … Ales akan meninggalkannya sendiri.

Haga pun menjelaskan. "Bigel sebelumnya udah bahas ini sama gue. Tapi gue bilang, Ales itu tinggal berdua bertahun-tahun sama temannya. Jadi, gue rasa Bigel perlu bicara sama lo juga sebelum dia ketemu Ales nanti."

"Karena itu gue mohon sama lo, Roy … boleh tolong temuin gue dan Ales setelah ini? Kapanpun itu, gue serahin ke lo. Gue mau bicara sama Ales. Apapun konsekuensinya, gue siap. Gue cuma … gue cuma mau Ales bisa ada di sisi gue, dengan atau tidak dengan adanya 'hubungan spesial' di antara gue dan dia. Berbulan-bulan gue jalan sendirian di negeri orang, gue … rasanya nggak sanggup, Roy. I need someone. Dan satu-satunya yang terlintas di kepala gue cuma Ales."

Roy diam. Diam sediam-diamnya lantaran sudah tak tahu harus berkata apa. Bigel terus bicara. Haga pun menimpali. Bigel bicara lagi, Haga menambahkannya lagi. Semua ucapannya selalu merujuk kepada permohonan untuk dipertemukan dengan Ales, dalam maksud untuk memulai hidup baru jauh dari tempat ini. Kepala Roy pusing seketika, ia pun bingung harus bagaimana.

Ada sekelebat kesal dari dalam lubuk hatinya kepada gadis bernama Abigail Ananta yang di matanya selalu terkesan menggampangkan segala hal. Mungkin karena ia punya uang, atau mungkin karena memang tipikalnya. Roy tidak tahu mana yang benar. Tapi sekelebat-sekebat, ada sepercik kekesalan untuk Abigail Ananta yang ia pendam karena telah membuat Ales galau total. Karena telah menghilangkan senyum Ales untuk waktu yang lama. Karena telah membuat Ales hilang ambisi untuk melakukan apa-apa. Bahkan, temannya itu sampai lupa bahwa ia memiliki cita-cita untuk bekerja di kapal pesiar. Temannya itu sudah tidak peduli lagi dengan rekrutmen kapal dari Batara, dan hanya menghabiskan harinya sebagai seorang bartender di Nyx Bar.

Bigel mungkin tidak sadar sudah membawa efek yang besar kepada Ales, tapi Roy tetap tidak bisa memakluminya begitu saja. Perempuan ini gila juga. Pergi tanpa kabar, dan kembali membawa permintaan yang membuat langit bahkan menggelegar. Jika saja Roy bisa meneriakannya dengan kata-kata kasar, mungkin akam Roy lakukan. Tapi, ia tahan, mengingat Abigail Ananta adalah seorang perempuan idaman teman baiknya sendiri.

"Gue … boleh dapat kesempatan kedua 'kan?"

"Tunggu." Roy sudah tidak sanggup lagi. Ia menuang sendiri wine ke dalam gelas kosong di hadapannya. Dan ia teguk sampai habis begitu saja. Ia pun ikut menggila di sini. "Jadi, kesimpulannya … lo mau bawa Ales ke Melbourne? Dan sementata lo kuliah, dia boleh di rumah aja atau apapun itu terserah dia? Biaya hidup semuanya lo yang tanggung? Visa? Paspor? Lo mau urusin? Terus, soal pulang ke Indonesia … lo bahkan berencana untuk pecah KK setelah lo lepas finansial dari bokap lo? Lo mau ninggalin rumah? Lo mau ninggalin Batara? Lo beneran mau lepas dan bangun usaha sendiri? Hidup sendiri? No, I mean, lo mau … hidup sama Ales?"

Bigel mengangguk, membenarkan seluruh ucapan Roy yang sebetulnya adalah pengulangan dari yang telah ia dan Haga bicarakan.

"Gila."

Dan Roy menuang lagi wine-nya, meneguknya dengan tak kira-kira. Haga dan Bigel hanya bisa saling bertukar lirikan. Bahkan Hanna yang tak banyak mengerti di sini, dapat memahami perasaan Roy sekarang. Bingung, kacau, gila, semuanya campur aduk menjadi satu. Ales akan segera diminta Bigel untuk meninggalkan rumah kecilnya. Roy tidak bisa membayangkan hal itu. Lebih baik Ales berlayar di lautan dengan Ocong yang ditinggal di rumah kecilnya sebagai jaminan bahwa ia akan kembali dan tetap menjadi teman sehidup semati, daripada ia harus melihat Ales pergi ke luar negeri dengan perempuan yang kini membuatnya kesal setengah mati.

Roy menuang dan meneguk wine-nya lagi. Lagi dan lagi. Lagi dan lagi. Sungguh bukan seperti itu cara menikmati minuman mahal ini. Tapi Roy terkesan sama sekali tidak mau peduli. Selagi itu alkohol, selagi itu dapat membantunya sedikit tenang, ia akan terus meneguknya. Walau pada kenyataannya, ia malah semakin tidak bisa berpikir. Ia malah semakin lepas kendali. Ia malah semakin tidak bisa menerima permintaan Bigel yang sungguh di luar dugaannya ini.

"Jadi, Roy …."

"SHUT UP, BITCH!"

Semua terkesiap. Tak terkecuali diri Bigel sendiri yang baru pertama kalinya menerima teriakan seperti ini. Roy benar-benar hilang kendali. Roy benar-benar kacau karena minumannya sendiri, juga karena permintaan Bigel yang nyaris tidak mungkin akan ia berikan.

"Jaga bicara lo, Bro. Lihat siapa yang lagi ajak lo bicara di sini."

"LO JUGA, ANJING! BANGSAT, GUE KIRA LO TEMAN ALES! TEMAN ALES ADALAH TEMAN GUE! TAPI TERNYATA, LO ADA DI PIHAK CEWEK KAYA RAYA INI?! LO PIKIR ALES MAU, HAH?! LO PIKIR ALES MAU DIAJAK PERGI KELUAR NEGERI?!"

"...."

"ALES ITU MAUNYA BERLAYAR! BERLAYAR! BUKAN NAPAK DI TANAH ORANG!" Roy kalap. Kalap bukan main. Ia bahkan berani mengacungkan jari telunjuknya ke hadapan wajah perempuan di hadapannya, Abigail Ananta.

"LO! BIGEL! LO KIRA DUIT LO ITU BISA BELI SEMUANYA TERMASUK ALES?! PIKIR PAKE OTAK LO ITU! LO PERGI BAHKAN TANPA KABAR. LO TINGGAL ALES BEGITU AJA SETELAH LO KETEMU SAMA MANTAN SIALAN LO ITU! SIAPA YANG SUSAH DI SINI, HAH?! LO? BUKAN! GUEEEEE!!!! GUE, BIGEL! GUEEEEE YANG SUSAH!

LO NGGAK TAU SEKACAU APA ALES DI RUMAH, LO NGGAK TAU BETAPA PALSUNYA SENYUM DIA DI BAR, LO NGGAK TAU SEJATUH CINTA APA ALES SAMA LO!!!

DAN LO … DAN LO PERGI GITU AJA! SIALAAAAANNN!!!!"

PLAK!!!

Satu tamparan keras mendarat dengan kuat dari telapak tangan seorang pria yang mati-matian menahan emosinya. Sudah tak bisa lagi terbendung, ia kelepasan dan secara spontan menampar Roy dengan tangannya sendiri. Dirinya tak pernah tahan mendengar gadis di hadapan mereka itu dicaci maki. Sesalah apapun Bigel di masa lalu, Haga tetap merasa ia masih berhak untuk dimaafkan dan diberikan kesempatan kedua. Sebagaimana dirinya yang diberikan kesempatan untuk berubah oleh seorang wanita. Lagipula, bukan tanpa alasan Bigel meninggalkan Ales. Semua adalah karena keluarganya yang berantakan bukan main.

"Dia datang ke sini dengan baik-baik, Roynaldo Malik. Abigail datang untuk minta maaf, dan memohon untuk kesempatan kedua. Ada keberanian dari mana lo untuk teriak di depan mukanya? Lo yakin lo laki-laki, hah?"

"This jerk …!"

BUGH!!!!

Roy membalas tamparan itu dengan sebuah tinju yang sempoyongan. Tinju yang berhasil ditangkap oleh Haga dengan mudah. Tangan mengepal dalam genggamannya itu ia putar, dibuatnya Roy tidak bisa berkutik sama sekali karena kesadaran yang mengambang dan fokus yang sulit bertahan. Dan, dibalasnya oleh Haga dengan satu pukulan.

"HAGA!"

Hanna berteriak, buru-buru keluar dari meja dan menarik Haga untuk mundur dari Roy yang sudah terkulai di lantai. Sementara itu, Bigel hanya bisa terdiam di kursinya sendiri. Duduk dengan pikiran berkecamuk, dan mata yang memandang lurus ke arah teman baik Alessandro Tedja.

"Gue bawa lo supaya bisa handle gue kalau-kalau gue lepas kendali, tapi ternyata malah lo yang menggila di sini."

"Sorry, Gel. Dia yang kelewatan."

"Gue nggak menyalahkan. Lagipula, dia nggak salah, 'kan? Gue emang bajingan, Ga. Gue ninggalin Ales."

"Enough, Bigel! Lo nggak ninggalin Ales, tapi keadaan kalian memang sulit. Sekarang, udah nggak ada gunanya lagi kita ngobrol sama dia ini. Ayo, ke rumah Ales sekarang."

"H-huh?"

"Lo mau apa lagi? Lihat manusia satu ini. Dia nggak bisa nerima lo balik, itu urusannya. Yang penting lo udah ngomong sama dia. Dan kalau dia nggak bisa bantu, gue udah bilang sama lo, gue yang bantu lo ketemu Ales. Jadi, ayo sekarang pergi. Sebelum gue makin emosi sama orang ini."

"T-tunggu …."

Ia yang terkapar di lantai itu melambai-lambaikan tangannya seolah memohon pertolongan. Haga menatapnya dengan tak sudi, sementara Bigel sudah terlalu lelah tenaga dan batin untuk berdiri dari kursi. Lantas, Hanna yang menjadi penyelamat dan membantu Roy untuk kembali duduk di kursinya dengan baik.

"T-thanks …."

"Anytime. Just … jangan teriak-teriak lagi, oke?"

Roy mengangguk-anggukan kepalanya, dan seketika itu Hanna ditarik oleh Haga untuk menjauh dari Roy. Haga mengembalikan Hanna ke tempat duduknya, dan menjaga Hanna di belakang kursi supaya gadis itu tidak bangun lagi. Karena jelas sekali dari sorot mata Hanna, dia mengkhawatirkan Roy yang kelihatannya kesakitan setelah ditinju oleh Haga.

Lalu, semuanya diam. Hanya ada suara batuk-batuk dari Roy sambil memegangi dadanya. Tapi bodohnya Roy adalah, ia malah menuang lagi wine itu ke dalam gelas dan meneguknya seperti air untuk meradakan batuk. Bigel hanya bisa menghela napas melihatnya seperti itu, dan merasa bersalah kepadanya.

"Roy …."

"No, no. Stop, Bigel. Kepala gue sakit."

"Oke."

"Jadi, gimana ini, Gel? Dia kita tinggal di sini atau gimana?" tanya Haga.

"HEEEEH, HEEEEH, BRENGSEK! LO SEMUA YANG BIKIN JANJI TEMU DI SINI, LO JUGA YANG MAU NINGGALIN?! TOLOL!"

"Anj—"

"Shhh, dia lagi mabuk, Ga. Jangan emosi kamunya." Hanna menenangkan Haga dengan mengusap-usap tangannya. Haga pun kembali diam. Dan Bigel yang kemudian buka suara untuk kesekian kalinya.

"Kita antar lo pulang, ya? Maaf udah ngerepotin lo hari ini. Soal permintaan gue tadi … lupain aja. Bukan hal yang penting untuk lo sampein ke Ales. Sekali lagi, gue minta maaf, Roy. Atas semua dosa-dosa gue ke Ales, juga hal-hal dari gue yang bikin lo susah."

"Abigail Ananta!" Haga yang tampak tak terima. Sementara Roy tidak banyak memberikan ekspresi selain wajah datarnya yang sudah mabuk kepayang.

"Argh, sialan si brengsek ini!" Haga pun tak tahan lagi.

Dia kembali menghampiri Roy, yang kini tidak bisa dicegah lagi oleh Hanna. Haga datang mencengkeram kerah baju pria mabuk itu dan menusuk jantung Roy dengan tatapan yang begitu menghunus. Juga mencabik-cabik perasaannya dengan lidah yang begitu tajam. Haga sedang menjadi Haga dalam versi meluapkan amarahnya.

"Dengar gue betul-betul, 'teman baik' Alessandro Tedja.

Pikir lo, gue bantu dan mendengarkan Bigel selama ini bukan untuk Ales? Pikir lo, gue mau bantu Bigel untuk balik sama Ales bukan untuk Ales sendiri? Pikir lo gue ini teman macam apa?

Gue lakuin semuanya buat Ales. Buat 'teman baik' lo itu. Nyaris setiap hari gue tukeran kabar sama Bigel cuma untuk gue dapet fotonya buat gue kasih ke Ales di Nyx. Sampai-sampai lo tau? Gue nyaris ribut besar sama Hanna karena ulah gue dalam 'membantu' 'teman baik' lo ini!

Dan lo? Lo yang sialan ini yang malah nggak mau lihat Ales bahagia sama cewek yang dia puja-puja!? Jadi, siapa yang sebetulnya 'teman' Ales, hah?!"

Roy tak gentar sama sekali. Dicengkeram sebegitu kuat oleh Haga bukan apa-apa baginya, dibandingkan dengan rasa sakit sebagai seorang teman yang mengetahui pedih dan perihnya Ales. Sebagai teman yang diniatkan oleh mereka semua yang ada di ruangan ini untuk ditinggal, lantaran Alesnya akan dibawa ke luar.

Roy tersenyum miring kepada Haga dengan mata telernya. Haga semakin tidak suka melihat wajah Roy yang begitu menantang, dan semakin tidak bisa tidak menghantam Roy untuk yang kedua kali. Lantas, Roy jatuh lagi. Tak masalah baginya, pukulan itu tak lebih perih daripada mendengar permintaan Bigel untuk membawa Ales pergi.

"Cukup, Haga. Jangan kelewatan di sini."

Roy sudah tidak bisa bangkit lagi. Tapi kesadaran masih ada meski tipis-tipis. Dua perempuan di ruangan itu tidak berbuat apa-apa selain duduk. Yang satu menatap dengan iba dan ingin sekali membantu namun dihadang kekasihnya. Yang satu menatap dengan penuh rasa bersalah, ingin menangis, tapi ditahan demi tak terlihat lemah. Agaknya ia merasa dirinya sudah terlalu egois selama ini, memikirkan semata perasaannya sendiri. Bahkan sampai detik ini, permintaannya masih terasa seperti hanya untuk memenuhi ego diri sendiri. Tanpa ia tahu, akan ada yang terluka sedemikian rupa. Roy adalah teman baik Ales, dan Bigel tahu akan hal itu. Yang tak diketahuinya adalah, bahwa pertemanan di antara dua lelaki kadang kala lebih erat daripada sekelompok perempuan. Ia tak pernah tahu, seberarti apa Ales bagi Roy, dan sebaliknya. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan ia baru menyadarinya saat ini, saat melihat dan mendengar Roy berteriak dari lubuk hati yang paling dalam hingga terkapar karena pasrah dihantam.

Bigel pun baru saja mengerti, semua berpikir perasaannya adalah yang paling benar di sini. Haga merasa telah lebih berperan sebagai teman yang mendukung hubungan percintaan Ales dibandingkan Roy yang merupakan teman satu atap Ales sendiri. Hanna merasa iba setengah mati kepada Roy yang bahkan tidak ia kenal baik, tidak ia ketahui hitam dan putihnya. Dan Bigel sendiri … ia pun berpikir perasaannya lah yang paling benar di sini. Ia merasa, bukanlah sebuah kesalahan fatal untuk pergi tanpa kabar dan kembali lagi setelah berbulan-bulan. Lantas ia menginginkan adanya kesempatan kedua, tanpa tahu sudah separah apa yang Ales lalui sendirian. Tanpa tahu hari-hari lesu Ales yang setiap paginya disaksikan oleh Roy di balik counter dapur, di tengah waktu Roy mengoleskan selai kacang ke roti yang hendak ia panggang. Bigel tak tahu apa-apa, dan ia menginginkan Ales kembali begitu saja.

Lantas, melihat Roy menjerit dan menerima pukulan Haga walau pasti bukan main sakitnya, Bigel merasa dirinya adalah orang paling egois sedunia.

Terlebih lagi, ia bahkan belum tahu bagaimana perasaan Ales saat ini. Apakah benar pria menyenangkan itu mau diajak pergi dan menjadi pengisi hari-hari bosannya di luar negeri? Bigel sudah percaya diri setengah mati, Bigel berpikir Ales akan mau tanpa sedetik pun ragu. Namun sekarang, melihat Roy terkapar … agaknya Bigel mulai berpikir ulang. Haruskah ia membawa Ales pergi demi dirinya sendiri? Dan … apakah benar ini kemauan ego semata dan bukan tulus dari hatinya? Bigel bahkan tak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang terus berputar di tengah heningnya ruangan.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu hanya dengan meneguk gelas demi gelas wine di meja. Hening memenuhi ruangan mereka. Bahkan Haga sudah tak lagi buka suara, dan Bigel hanya diam dengan mata yang terus memandang Roy yang sudah mabuk total dan kesakitan, yang akhirnya didudukkan di kursi atas belas kasih Hanna.

"Bigel, mau ke mana?" tanya Hanna, ketika melihat Bigel bangkit dan langsung berbalik untuk keluar dari ruangan.

"Sebentar, tunggu di sini."

"Ya?"

Setelahnya, Bigel tidak menjawab lagi. Ia pergi keluar untuk waktu yang betul-betul tak lama. Tak ada lima menit, dan dia kembali duduk di kursinya. Haga dan Hanna pun bingung untuk beberapa saat, tidak jelas sekali Bigel hanya keluar dari pintu dan kembali dalam sekejap. Hingga beberapa saat setelahnya, pintu diketuk dan seorang pelayan muncul dengan bucket es di tangan.

"Silakan, Kak."

"Terima kasih, ya."

Tak berlama-lama, pelayan itu langsung keluar. Dan Haga segera bertanya kepada Bigel lantaran tak ia dapati apa-apa di dalam bucket itu selain es.

"Buat apa, Gel?"

Bigel tidak menjawab sampai ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas, dan direndamnya ke dalam bucket es.

"Tolong pegangin dia, Ga, takut jatuh."

"Nggak."

"Hanna, boleh minta tolong buka kancing Roy, dan pegangin bahunya? Gue mau kompres bekas tonjokan cowok lo—"

"Gue aja."

Meski sambil mendengkus sebal, Haga akhirnya melakukan apa yang Bigel bilang. Daripada Hanna yang melakukannya, ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Pantang bagi Haga membiarkan tangan Hanna membuka kancing baju pria lain.

"Udah, terus gimana?" tanya Haga setelah membuka dua kancing teratas Roy.

Sementara Roy masih tak sadarkan diri, Bigel mengompres bekas hantaman Haga sebelum memarnya semakin menjadi-jadi. Kalau-kalau saat pulang Roy mengadu kepada Ales, Bigel sudah tidak bisa mengelak. Bigel akan menerima sepenuhnya jika Roy mengadu bahwa ia jadi seperti ini karena Bigel.

"Habis ini gue anter dia pulang. Pinjam mobil lo sebentar ya, Ga? Lo tau gue belum pulang ke rumah sama sekali."

Haga mengangguk tanpa berpikir. "Habis itu lo langsung istirahat aja, balik ke hotel lo. Gue sama Hanna gampang nanti, kita bisa cari hotel dekat-dekat sini. Mobil gue lo bawa aja dulu, besok kita ketemu lagi."

"Thanks a lot, Ga. Sorry ngerepotin. Sorry juga ngerepotin lo, Han."

"Eh? Enggak kok. Aku nggak apa-apa, Bigel. Tenang aja. Kamu yang penting istirahat, ya. Semangat! Aku kenal banget sama Ales, dia pasti mau banget ketemu kamu lagi dan mulai hubungan baru sama kamu."

"Besok gue temuin Ales, dan omongin soal hari ini ke dia. Sekalian minta maaf udah bikin temennya begini."

Bigel terdiam, entah pikirannya ada di mana sekarang. Tapi ia tak menggubris Haga dan Hanna hingga lewat dari satu menit. Tatapannya terkunci hanya kepada Roy yang tidak sadarkan diri karena alkohol, juga karena hantaman terakhir Haga. Ia merasa perih melihat Roy sebegini terlukanya hanya karena ia menginginkan Ales kembali.

"Gue salah …." Dan ia tiba-tiba bersuara. "Seharusnya gue nggak lancang untuk minta Ales balik lagi ke kehidupan gue. Gue udah terlalu egois. Maaf."


to be continue ....

I hope you guys still waiting for me, I'm really sorry for my absence lately.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top