64 | It was Not Just Her Shadow

Ales kira, dirinya akan mati malam itu. Namun tidak. Palisade hitam yang pikirnya akan menabrak, menghindari Ales ketika jaraknya sudah begitu dekat. Napasnya pun tersengal dalam seketika, degup jantungnya tak karuan, hingga kakinya lemas sendiri dan berakhir membuat ia terduduk begitu saja di atas aspal. 

Dan ketika ia berusaha untuk mengatur napasnya agar kembari normal, ia menoleh ke belakang dan melihat Palisade itu pergi dengan kecepatan tinggi di jalanan komplek yang sepi. Hingga mobil itu berbelok dan tidak terlihat lagi dalam pandangannya, ia pun mengehela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. 

Dia tidak mati hari ini. Tidak. Tapi bayangan samar akan pengendara mobil itu sungguh tidak bisa Ales lepaskan dari pikirannya. Degup jantung masih belum stabil, napas pun masih begitu memburu, kini ditambah pikiran tentang si pengendara yang begitu mengganggu. Kepalanya pun mendadak sakit. Dan ia setengah mati berusaha berdiri tegak untuk kembali ke dalam rumah. Masih ada Roy yang harus ia periksa kondisinya. 

Di dalam, Roy sudah tertidur dengan begitu tenang. Ales benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa Roy sebegitu mabuknya dan pulang dengan luka memar? Namun, ia pun sedang tidak memiliki tenaga sama sekali untuk memikirkan tentang itu. Lantas, yang bisa ia lakukan hanyalah beristirahat. Ia masuk ke kamar dan mengistirahatkan diri dari pikiran-pikiran, setelah memberikan selimut kepada Roy yang tertidur di sofa ruang tamu. 

“Bos Bi ….” Ales bermonolog sambil menatap langit-langit kamar yang gelap. “Tadi itu … benar-benar Bos Bi?” 

Bayang-bayang samar tentang Bigel yang mengendarai Palisade hitam itu tak elak mengganggu Ales sepanjang malam. Jantungnya berdebar bukan main. Pikiran berkelut tidak karuan. Sungguh sudah berbulan-bulan ia hidup tanpa melihat Bigel secara nyata dengan dua mata kepalanya sendiri. Dan malam itu … Bigel kembali dalam sebuah bayangan samar di kursi pengemudi Palisade hitam. 

Pemandangan itu membuat Ales akhirnya terjaga sampai pagi, ia tidak bisa tidur sama sekali. Malam itu ia lewati dengan gelisah. Bangun dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk minum segelas air, kembali lagi ke tempat tidur, dan masih juga tidak bisa mendapati kantuknya. Ales bolak-balik keluar dari kamar, ke dapur, ke ruang tamu, ke dapur lagi, dan berakhir mendudukkan diri di sofa ruang tamu dengan secangkir kopi di pagi hari. 

Ia melihat Roy masih pulas tertidur meski jendela rumahnya sudah mulai menampakkan cahaya terang dari luar. Matahari sudah terbit, dan Ales masih duduk tanpa sedikit pun mengantuk. Secangkir kopi itu belum sama sekali ia sentuh. Ia hanya membuatnya, dan mendiamkannya di meja hingga panasnya berubah menjadi dingin. 

Ales hanya melamun. Diam saja. Tidak memegang ponsel, tidak menyentuh kopi, bahkan tidak merokok sama sekali. Rasanya, seperti sudah kehabisan tenaga untuk itu semua karena seluruh tenaga yang tersisa sudah ia gunakan hanya untuk memikirkan Abigail Ananta. 

Sial-sialnya Ales, ia tidak pernah tahu kalau ia berakhir jatuh cinta. Sendirian.

Lamunannya pun terhenti seketika alarm ponselnya berbunyi. Ia bahkan tak ingat ia meninggalkan ponselnya di sofa yang sekarang Roy tiduri. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, dan Ales sudah harus beraktivitas kembali. Jangan lupa, ia masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun tugas akhirnya. 

Ales bergegas, ia mandi dan bersiap pergi ke kampus tanpa tidur sama sekali. Dirinya sedikit lesu, tapi ia paksakan untuk tetap pergi demi segera lulus. Lantaran ia pun masih memiliki cita-cita untuk berlayar yang tak pernah ia lupakan. 

Dengan motor kesayangannya, Ocong, Ales pergi dan meninggalkan Roy di rumah sendiri. Sebetulnya ia sedikit khawatir, tapi ia meyakinkan diri bahwa Roy akan baik-baik saja. Lantas setelahnya, ia pun pergi. 

Ia bersama Ocong melintasi jalanan yang membosankan. Rute yang begitu-begitu saja setiap harinya. Dan setelah melewati lampu merah, Ales selalu mencuri pandang ke deretan ruko di sebelah kanan. Ruko paling ujung, ruko bekas toko bunga mantan kekasih palsunya, masih kosong dan masih saja digantungkan banner walau sudah lewat berbulan-bulan sejak Bigel pergi meninggalkannya.

Namun, ada sesuatu yang janggal yang ia lihat di sana.

Palisade hitam yang sama persis dengan yang ia lihat semalam, terparkir di sebelah ruko bekas Fleur Teapot. 

Matanya terbelalak dalam seketika, lesu dan letihnya karena tidak tidur tiba-tiba hilang begitu saja. Ia pun berhenti. Menoleh sekali lagi ke arah ruko itu, dan pandangannya tak salah sama sekali. Palisade hitam itu terparkir di sana dengan tenang. Sekilas, Ales melihat jam tangannya. Sial, sudah tinggal lima belas menit lagi jam bimbingannya akan dimulai. Ia tak punya waktu untuk menghampiri mobil itu dan meminta penjelasan untuk apa yang terjadi semalam. Dengan berat hati, Ales pun melaju lagi, kembali dalam rutenya menuju Universitas Batara. 

Tapi sudah ia tandai dalam agendanya hari ini, bahwa ia akan kembali ke ruko itu setelah selesai bimbingan di kampus. 

Namun … begitu ia kembali di siang hari, Palisade hitam itu sudah tidak di sana lagi. 

Ales menghela napasnya dengan berat. Dan baru di saat itulah, ia membakar sebatang sigaretnya di depan ruko Fleur Teapot yang tutup. Ia mengamati ruko itu, jendelanya kosong sudah tidak lagi memiliki stiker merah muda dengan nama tokonya. Pintunya sudah tidak memiliki gantungan tanda buka tutup, kursi dan meja yang semula disediakan di halaman depan untuk pelanggan pun sudah tidak ada. Sekilas, Ales teringat masa-masa ia menghabiskan waktunya di toko bunga ini bersama Bigel. Ia tersenyum, sebelum akhirnya ia sadar semua itu hanya masa lalu yang semestinya dilupakan.

“Cih. Gue ngapain, sih?” gumamnya sendiri. 

“Ales?” 

Deg

Ales membeku di tempat. Sebuah suara baru saja melintas di telinganya. Dan dalam sekejap, ia menoleh ke belakang. Ke arah suara yang baru saja menyebut namanya dengan begitu tenang. 

Haga. Teman baiknya yang banyak memiliki andil dalam hubungan ia dan Bigel kini berdiri di belakangnya. 

“Lo … ngapain?” 

“A-ah, gue? Gue lagi berhenti aja, terus … nih, sebat. Nggak boleh ngerokok sambil jalan, jadi gue berhenti di sini. Lo sendiri?” tanya Ales kala melihat Haga pun sendirian di depan ruko ini tanpa siapa-siapa di sebelahnya. 

“Lihat-lihat aja.”

“Lihat-lihat aja?”

“Iya. Gue baru beli ruko di sini. Jadi, gue lagi lihat aja flow orang-orang yang lewat.”

“O-oh, iya ….” Ales lupa kalau Haga memang sekaya itu untuk membeli ruko di kawasan elit. “Ruko lo mau buat apa?” 

“Belum tau, tergantung penyewanya nanti. Gue beli buat disewain.” 

Ales pun hanya mengangguk, “Ruko mana yang lo beli?” 

“Ini.”

“Ini …? INI?! RUKO INI?!” Ales mendadak berteriak karena ketidakpercayaannya dengan ucapan Haga, dan menunjuk-nunjuk ruko kosong di belakang mereka. 

“Iya, bekas toko bunganya Abigail.”

Sebatang rokok dalam jepitan dua jari Ales jatuh seketika. Ia mengerjap tak percaya, kegilaan apalagi ini yang baru saja ia dengar. Maksud Ales, Ales tahu Haga dan Bigel berteman. Tapi, ia tak pernah sampai pada pikiran bahwa Haga akan membeli ruko Bigel yang telah lama kosong dan tidak memiliki peminat. 

“So … jujur sama gue, Les. Lo ngapain di sini? Gue tau ini bekas toko bunga mantan lo.”

“A-ah, itu … sebetulnya tadi pagi gue lihat mobil lo di sini. Tapi jangan salah paham dulu, gue nggak ngikutin lo kok, Ga. Gue ke sini karena mobil lo semalam ada di depan rumah gue. Gue nggak mungkin salah lihat. Dan yang bawa mobil itu … Bos Bi.”

Haga mengangguk, lalu ia terkekeh sekilas tanpa Ales mengerti apa yang lucu di sini. 

“Iya, lo nggak salah lihat. Semalam emang mobil gue dibawa Bigel. Buat nganter temen lo balik, katanya?”

Ales semakin terperangah. Berarti bukan sebuah kebetulan Palisade hitam itu malam-malam berada di area rumahnya. Dan benar bahwa bayangan samar yang ia lihat adalah Abigail Ananta. Dan tentang Roy yang berantakan ….

“L-lo tau soal itu?" 

“Gue bahkan lihat sendiri Bigel ngompres memar temen lo semalam. Di Citibar. Gue pun ada di sana, kita semua lagi ketemuan, dan temen lo … untuk alasan tertentu dia tiba-tiba kacau sendiri.” 

“G-gimana, Ga?” Ales sungguh tidak menduga, tidak menyangka dan tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh Haga. 

“Lo udah makan siang? Kita ngobrol sambil makan, gimana? Lumayan panjang ceritanya, Les.” 

Dan Ales tidak mungkin menolak sebuah penjelasan yang akan Haga berikan.


to be continue ....

We're almost reach the end, Fellas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top