63 | It was Our Palisade

Ah …. 

Ales merebahkan diri di sofa. Malam yang panjang seperti malam-malam biasanya ia habiskan di Nyx dan pulang ketika sudah menjelang dini hari. Setiap malam Ales pulang dengan lelah. Senyumannya luntur seketika ia sampai di rumah. Sepi … sunyi … karena tidak ada siapa-siapa selain dirinya di sini. 

Tentang Roy, teman baiknya itu mulai jarang pulang dan banyak disibukkan dengan pekerjaan sampingannya. Jasa sewa pacar. Benar, Roy masih melakukan hal itu. Tak acuh meski Ales sudah sempat berteriak melarang sebelum pahit-pahitnya Roy berakhir seperti Ales sekarang. 

Ah … memikirkan Roy yang entah bermalam di mana sekarang membuat Ales lama-lama terganggu dengan pikirannya sendiri. Lantaran, dia benar-benar tidak ingin Roy berakhir terjerat seperti dirinya. Lantas, seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anak bujangannya, Ales buru-buru mengeluarkan ponsel dan menghubungi teman baiknya itu. 

Ring …! Ring …! 

"Huh? Handphone-nya …."

Asal suara dering itu tak jauh dari tempat Ales merebahkan diri sekarang. Di sofa. Di ruang tamu. Dekat dengan pintu masuk rumah kecil mereka. 

Ding! Dong! 

Ring …! Ring …! Ring …! 

Suara itu bersahut-sahutan. Dering ponsel dan bel yang dibunyikan di pukul setengah tiga pagi. Sekelebat, Ales merinding setelah melirik jam dinding. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam? 

Dengan ragu dan langkah yang agak-agak sedikit gemetar—entah karena kelelahan bekerja atau ketakutan—Ales mendekati pintu rumah. 

Dan … ceklek.

"ROY?!"

Temannya pulang dalam keadaan bukan main berantakan. Rambutnya seperti habis dihempas angin kencang, kancing kemejanya terbuka dua yang teratas, kakinya berdiri tapi tidak menopang dengan tegak, Roy terlihat begitu … kacau. Ia terlihat lebih buruk daripada yang pernah terjadi pada diri Ales sendiri. 

"Masuk! Lo dari mana, gila?!" 

Dan Ales menuntunnya masuk ke rumah dengan sebuah rangkulan. Mendudukkan Roy dengan setegak mungkin di sofa, meski akhirnya tetap lunglai juga. Dan ia duduk di samping Roy sambil menepuk-nepuk pipi temannya itu dengan cukup kencang. Kedua mata Roy tampak begitu sulit untuk terbuka lebar. Hanya segaris, yang mungkin hanya bisa melihat sekitarnya dengan buram. 

"Mabok di mana sih, setan?!" 

Roy tidak menjawab. Atau mungkin, tidak memiliki kemampuan untuk menjawab lebih tepatnya. Karena begitu Roy ia dudukkan di sofa, kemeja itu semakin jelas menampakkan dada Roy yang cukup terbuka. Sekilas, Ales dapat melihat sebuah memar di dekat tulang selangka temannya. Lamat-lamat Ales meneliti wajah Roy lebih dalam. Tidak ada luka di sana, tapi justru Roy mendapati memar di balik bajunya. Roy nyaris tidak pernah seperti ini. Kalau ingin menarik ke belakang tentang hari-hari Ales selama hidup bersama Roy, Roy ia kenal tidak pandai bertarung dan hampir tidak pernah memiliki masalah tertentu dengan orang-orang. Mustahil juga Roy memulai sebuah perkelahian. Tapi malam ini ... ia pulang dengan sebuah memar.

"Lo dari mana?"

"A-bi … A-Abigail …."

Gasp. Ales terhenyak untuk sejenak. Jawaban yang sangat tidak berkaitan dengan pertanyaan. Nama yang tidak semestinya Roy ucapkan saat sedang dalam kondisi mabuk dan K.O seperti ini.

"A … Abigail … dia …."

"Lo ngelantur. Tidur. Bigel nggak ada di sini." 

Roy menggelengkan kepala sekuat yang ia bisa. 

"S-sorry … Les." 

"Hm. Udah, tidur. Gue juga capek, mau istirahat. Next time kira-kira lo kalau mabok. Besok bilang ke gue siapa yang nonjok lo."  

Roy menggelengkan kepalanya lagi. Pasti berat bukan main, tapi dia yang memaksakan diri sampai membuat Ales geram melihatnya terus bergeleng kepala seperti orang teler. Ales tidak suka melihat tipikal mabuk Roy yang seperti ini. 

"Les …."

"Ha?"

"Abigail ada di depan … d-dia … dia di depan, Les." 

Ales seketika terpaku di tempatnya untuk beberapa detik. Jantungnya yang semula tidak kenapa-kenapa, mulai dibuat berdebar kencang karena ocehan Roy yang entah bisa dipercaya atau tidak. Tapi tanpa pikir panjang sama sekali, dia akhirnya memutuskan untuk berdiri dari sofa, membiarkan Roy jatuh tergeletak dan terlelap begitu saja setelah Ales bangkit dari sana. 

Dengan tergesa dia membuka pintu. Barangkali benar ada Bigel di sana, tapi dia tidak melihatnya karena di luar sudah terlalu gelap. Ales keluar bahkan tanpa alas kaki. Matanya mencari di mana sosok gadis yang selalu bisa membuat jantungnya ribut separah ini. Namun, matanya tak mendapati apa-apa di luar halaman rumah. 

Hanya ada satu unit mobil asing yang tidak pernah Ales lihat sebelumnya. Terparkir tak jauh dari rumah dengan lampu yang mati. Mobil hitam, SUV besar yang asing tapi terasa familiar di saat yang bersamaan. 

"Haga?" Nama pemilik mobil itulah yang pertama kali terlintas di kepalanya. Palisade hitam itu … mobil yang pernah dipinjamnya dari Haga untuk menjemput Bigel dan pergi ke acara lamaran Bara. Ia ingat. Ia bahkan ingat raut wajah Bigel yang begitu terkejut ketika melihatnya menjemput. Namun, untuk apa Palisade itu ada di area rumahnya larut malam? 

Dengan pikiran yang sudah terlalu kalut, dia menghampiri Palisade hitam yang terparkir itu. Ucapan Roy tentang Bigel yang katanya ada di depan rumah tak bisa ia hilangkan dari kepala. Gila-gilanya dia adalah berharap bahwa Haga di dalam mobil itu membawa Bigel kepadanya. Langkah Ales begitu tergesa. Tak peduli ia dengan telapak kaki yang langsung menyentuh aspal. Namun … langkahnya terhenti bersamaan dengan kesadarannya yang seketika kembali saat lampu mobil itu tiba-tiba menyala terang. 

Mobil itu tiba-tiba melaju tanpa Ales tahu siapa yang mengendarainya di dalam. 

Ia tertegun. Semuanya terasa seperti berjalan dengan begitu lambat dalam beberapa saat. Semuanya terasa melambat. Semuanya terasa pelan. Semuanya mendadak tidak terdengar. Lantaran sorot mata Ales dan pikirannya hanya tertuju kepada satu arah yang ia fokuskan. Palisade hitam mengilap dengan lampu menyorot yang kini melaju lurus ke arahnya. Hingga Ales tidak bisa bergerak. Ales pun tidak tahu mengapa kakinya begitu ragu untuk lari dari tempat. 

Ia tidak beranjak. 

Sama sekali

Ia bahkan tidak buru-buru berlari, melompat, atau apapun itu untuk menghindari Palisade hitam yang sudah tinggal beberapa meter lagi mampu menyentuh tubuhnya.

Ia beku bersama mata yang pada akhirnya mampu menangkap samar-samar wajah pengendara Palisade hitam itu ketika jaraknya sudah semakin dekat.

Ales tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pikirannya pun sudah tidak berfungsi lagi. Ia hanya bisa diam di tempat.

Tanpa sedikit pun beranjak.


to be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top