60 | chaos level up

Pagi itu, hari berjalan dengan sedikit keributan. Bigel yang terbiasa sendiri dan dipenuhi ketenangan, hari ini banyak tertawa karena Ales dan Bang Opik yang terus-terusan bertengkar. Mulai dari Bang Opik yang terus mengungkit tentang Ales yang tak memberinya kepastian, hingga Ales yang kesal karena Bang Opik terus-terusan mengungkit seolah tak mau menyentuh kata damai. Kalau melihat waktu, sudah ada dua jam dan mereka belum juga berdamai. Ales yang sebal pun hanya duduk di sofa ruang tamu villa dan menonton sesuatu di ponselnya sambil merengut. Sedangkan Bang Opik, memilih untuk duduk di kursi meja makan dan bersantai dengan ponselnya.

Semuanya tenang, hingga sampai pada waktu terdengar suara pintu diketuk, semuanya saling bertukar pandang.

Pintu masuk villa memang sudah sejak awal dibuka begitu saja. Lantas, Ales yang duduk di sofa ruang tamu seketika bangkit dari sofa dan mengecek siapa yang datang.

Tak bisa bohong, Ales akui jantungnya cukup berdebar kencang. Dan seketika, terasa jatuh hingga ke ujung kaki tatkala ia lihat sosok pria tegap berwajah tegas berdiri di ambang pintu villa. Ales ingat, pria itu adalah seseorang yang diperkenalkan oleh Haga sebagai rekan kerjanya. Erik.

"O-oh? E-Erik?"

Ragu-ragu Ales menyebut namanya. Mungkin terdengar tidak sopan karena mengingat pria itu adalah rekan kerja Haga. Tapi rasanya, memanggil 'Pak' pun terdengar kurang pas karena pria itu tampak begitu muda, seperti berada di usia yang sama dengan Haga.

"Halo, Ales?"

Ales tersenyum canggung. Di belakangnya, tanpa ia sadari Bigel telah menghampiri dan berdiri di balik punggung Ales.

Ales tak bisa melihat bagaimana terkejutnya Bigel di belakang sana, tapi Erik tahu, Erik bisa melihatnya dengan jelas bahwa Bigel kini terkejut melihat kehadirannya.

"B-Bigel, hai."

"Rik? Kok lo bisa di si—" ucapannya terhenti. Tiba-tiba sosok yang begitu ia hindari muncul di belakang Erik. "Kak Bara."

"Bigel."

Semuanya terdiam, seolah membiarkan Bigel menggunakan waktu dan suasana tenang ini untuk saling bertukar tatap dengan Bara yang mereka semua ketahui pernah menjalin hubungan romansa dengannya. Tak Erik, tak Ales, semua sama saja. Sama-sama bergeming di tempat seolah terperangkap dalam serangan tatap antara Bara dan Bigel yang begitu mengunci pergerakan mereka. Bang Opik yang berada di dapur hanya berdiam, diam-diam bertukar pesan dengan Haga tentang situasi saat ini di villa.

"Bigel, Ayah dan Ma—"

"Mau apa lagi ke sini? Susah-susah gue cabut dari rumah dan survive sendirian, pada akhirnya ketemu juga sama lo di tempat gue yang paling tenang? Gila. Enggak ada habisnya lo berantakin hidup gue, Kak."

Mutlak, Ales dan Erik semakin tak bisa bergerak. Keduanya bahkan saling bertukar tatap, seolah saling berbagi pikiran yang sama tentang apa yang mereka rasa. Canggung bukan main. Sementara itu, Bang Opik yang terlihat santai di dapur, sesungguhnya begitu sibuk mengetikkan setiap kata yang Bara dan Bigel lempar satu sama lain.

"Tau dari mana gue di sini?" tanya Bigel, tegas.

Bara enggan menjawab. Namun, responsnya yang hanya diam seperti itu membuat mata Bigel akhirnya tertuju kepada orang yang ia tuduh. Orang yang berdiri membeku di depannya, Ales.

"Lo yang kasih tau dia? Ini alasan lo tiba-tiba mau pulang? Lo mau langsung pergi setelah betul-betul lihat muka gue? Lo ke sini cuma buat pastiin keberadaan gue, Les? Iya, begitu? Jadi, selama ini lo berhubungan sama dia? Lo disuruh dia cari lokasi gue? Terus sekarang, setelah lo tau lo langsung kasih tau mereka dan berencana pergi dari sini gitu aja? Ditawarin apa lo sama orang ini, hah?!"

Ales merinding sekujur tubuh. Tak pernah ia dengar sebelumnya amarah Bigel yang terasa begitu mencekam. Bahkan yang satu ini terasa lebih mengerikan daripada saat ia mendengar dan melihat Bigel melontarkan amarahnya kepada Alin saat acara lamaran. Bigel tak pernah semengerikan ini.

"Ales, jawab!"

Perlahan, dan dengan begitu hati-hati, Ales memutar tubuh menghadap Bigel yang menatapnya dengan begitu menuntut. Ales tahu, ia harus tetap teguh. Meski ada takut bercampur khawatir dan rasa bersalah menggerayangi sekujur tubuhnya.

"Bukan gue, Bos Bi."

"Terus siapa, Les? Siapa yang kasih tau gue di sini?! Selama ini, selama gue tinggal di sini, nggak ada satu pun dari mereka yang bisa tau dan datang kayak begini! Selama ini, selama lo belum muncul lagi, Les!"

"Bos Bi, dengar gue dulu ... gue berani sumpah, gue bahkan nggak punya kontak mere—"

"Jadi, siapa?! Lo mau gue nuduh Haga? Gue percaya sama dia, Les."

"Lebih daripada gue?"

Bigel terdiam. Terpaku mendengar pertanyaan retorik itu. Ditambah, tatap mata Ales yang tak bisa ia bantah ketulusannya.

"Percaya Haga lebih daripada gue, Bos Bi?"

Erik, orang yang paling tahu Bigel dan tumbuh bersamanya sebagai anak pegawai dan anak majikan, tak tahan juga melihat Bigel dirundung kebingungan. Ia tak ingin Bigel kehilangan rasa percayanya kepada semua orang. Sudah cukup kepada keluarga intinya, Bigel tak perlu kehilangan kepercayaannya juga kepada pria bertubuh tinggi yang tampak seperti anak baik-baik nan menyenangkan ini. Pun setelah mendengar Haga bercerita tentang hubungan mereka, Erik percaya, bahwa seorang Ales sekiranya bisa dijadikan sandaran bagi Abigail Ananta yang sudah hilang percaya kepada seluruh keluarganya, bahkan kepada dirinya sendiri.

"Bos Bi ...."

"Saya yang kasih tau Bara, Bigel." Eriklah yang menanggung semuanya. Ia tak peduli, lagipula Bigel sudah hilang percaya kepada dirinya. Terbukti dari kontak dan seluruh akses sosial medianya yang masih diblokir hingga saat ini.

Lantas, tatap ragu atas ketulusan Ales itu berpindah kepada Erik yang dengan berani mengakui pengkhianatannya.

"Rik ...?"

"Maaf, tapi saya juga sama khawatirnya dengan Pak Bara dan seluruh keluarga, Bigel. Saya perlu tau keadaan kamu di sini. Saya cuma mau lihat kamu ... sehat."

Jatuh sudah pertahanan Bigel yang mati-matian ia bangun demi terlihat kuat di hadapan orang-orang yang begitu ia hindari. Ia yang tak pernah mau menangis lagi, ia yang sudah lelah menangis selama ini, akhirnya tumpah juga dan larilah ia keluar dari villa.

"Bos Bi!" Ales hendak mengejar, tapi langkahnya terhenti begitu pergelangan tangannya ditahan oleh Erik yang berdiri di ambang pintu.

"Biar Bara yang bicara sama dia, Ales. Jangan khawatir soal Bigel."

Ales hendak melawan, tapi entah kenapa tenaganya terasa hilang begitu saja ketika ia melihat Bara berbalik dan mengejar Bigel dengan begitu tergesa.

"Ada hal-hal yang perlu mereka bereskan. Jangan diganggu, biar semuanya selesai di sini. Saya lakuin ini demi kebaikan Bigel. Saya juga nggak tahan lihat Bigel jauh dari keluarganya sendiri kayak begini. Jadi, jangan salah pahami saya. Saya sangat berterima kasih sama kamu dan Haga yang tanpa sengaja kasih saya arah untuk temuin Bigel. Percayalah, Les, Bapak dan Ibu khawatir betul sama anak mereka."

Maka dari itu, menurutlah Ales kepada Erik untuk diam dan tak mengejar Bigel. Keduanya membiarkan Bigel mengurus segala urusan masa lampau yang berdampak hingga masa kini dengan sumber masalahnya. Lantas, Ales dengan tenang mengajak Erik masuk ke dalam. Ia bahkan menawarkan secangkir teh untuk Erik, dan dengan senang hati, Erik terima tawaran itu.

Tak mereka sadari, ada pria yang sedari tadi sibuk bergelut dengan ponsel hingga dahinya berkeringat. Mereka tak tahu, Bang Opik sedang menuliskan cerita singkat kepada orang yang seharusnya menanggung beban atas kebencian Bigel kepada Erik. Haga. Karena tak mungkin Bara dan Erik bisa menemukan Bigel di sini, tepat di salah satu villa Haga dari sekian banyak villa yang Keluarga Sanders miliki, ataupun villa-villa yang berada di Pulau Tidung.

Tanpa perlu diberitahu, Bang Opik akhirnya mengerti penyebab kegelisahan dari pesan-pesan Haga di ponselnya saat ini.

Semuanya karena Bigel. Karena kesalahannya kepada Bigel. Karena pengkhianatannya kepada salah seorang anggota keluarga dari rekan bisnis yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Nun jauh di seberang sana, Haga jelas sedang gelisah. Begitu jelas terlihat dari pesan-pesan yang ia kirimkan. Penuh kegelisahan. 

.

.

to be continue 

Xadara Goe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top