6 | a shocking inteview
ALES yang sudah kepalang buaya darat, tentu dapat dengan mudahnya untuk memulai percakapan dengan perempuan. Namun, karena semalam sudah terlalu larut untuk berkenalan, Ales memilih untuk menghubungi kliennya di pagi hari.
Maka, dengan senyum secerah matahari, Ales mengetikkan pesan selamat pagi kepada ia yang telah mengirimkannya uang sebesar lima juta rupiah. Oh tentu, kliennya yang satu ini akan mendapat perlakuan spesial—Ales akan menuruti segala hal yang diperintahkan. Lantaran, gadis itu telah memberikan penawaran yang sungguh menarik perhatian.
Lima menit, Ales menunggu balasan sembari menyeduh kopi hitam. Kala ia kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi panas di tangan, ponselnya yang tergeletak di meja belum menunjukkan notifikasi apa-apa. Gadis yang Elio sebut bernama Bigel itu masih belum membalas pesannya.
"Ah, mungkin dia sibuk pagi-pagi gini. Orang kaya 'kan ada aja tuh kesibukannya," gumam Ales, yang kemudian menyeruput kopi sembari menyalakan televisi.
Tiga puluh menit pun berlalu, Ales sudah beberapa kali mengecek ponsel, tak kunjung ada balasan. Ia bahkan sampai mengecek kuota internet, barangkali balasannya tak masuk karena ia kehabisan kuota.
Namun rupanya, aplikasi provider yang ia gunakan masih menunjukkan ketersediaan data internet milik Ales. Seharusnya, satu giga cukup untuk sekadar menerima balasan direct messages.
"Les, pinjam motor dong!"
Ales menoleh, Roy tiba-tiba menghampirinya dengan keadaan sudah wangi dan rapi. Tumben sekali, biasanya pagi-pagi begini Roy masih bau bantal. Seperti Ales yang masih mengenakan celana boxer dan kaus oblong yang sudah bolong.
"Buset, rapi amat!"
"Mana kunci? Pinjam motor bentar, Les. Lo enggak ke mana-mana 'kan? Nanti balik gue bawain makanan deh."
"Tuh, di kapstok," Ales menunjuk ke arah dinding dengan dagunya. "Mau ke mana lo?"
Seraya meraih kunci motor itu, Roy menyahuti Ales, "Nyari bunga, gue lupa hari ini schedule gue nemenin cewek wisuda!"
Bunga?
"E-Eh!" Sekelebat ide pun muncul di benak Ales, "anterin gue ke Fleur dulu!"
"Heh? Ngapain? Lo masih mau complain soal buket kemarin?!"
"Udah tunggu bentar, gue ganti baju dulu!" sahut Ales yang kemudian langsung bangkit menuju kamar.
"Enggak mandi lo?!"
"MASIH WANGI!" balas Ales dengan berteriak dari dalam kamar.
"Idih, najis! Minimal mandi, Les!"
Tak sampai lima menit, Ales sudah keluar dari kamar. Memang tak serapi Roy yang sudah mengenakan kemeja. Namun, setidaknya Ales kini terlihat sedikit lebih rapi dari sebelumnya. Tak ada lagi boxer, pula kaus oblong yang sudah bolong. Ditambah, Ales sudah menyemprotkan minyak wangi. Kini tubuhnya semerbak gourmand yang manis seperti cokelat dan kayu manis.
Sebuah tipu daya agar Ales terlihat sudah mandi pagi.
"Idih! Ganti baju doang, Bos?!"
"Kalau mau pinjam motor gue, enggak usah banyak bacot."
Roy berdecih kala mendengar kesombongan Ales. Ia lantas membalasnya, "Kalau masih mau tinggal gratis di sini, enggak usah pelit."
"Eh? Ehehehe, kapan sih gue pelit sama lo? Bercanda aja itu tadi, Roy. Udah ayo lah, antar gue dulu."
Setelahnya, mereka berdua pun pergi dengan Roy yang mengendarai Vespa matic Ales. Pemiliknya hanya duduk manis di belakang, menikmati semilir angin yang membelai, sembari mengunyah roti lapis yang sempat ia bawa dari rumah. Ini sudah jam sepuluh pagi, tapi sarapannya masih juga belum selesai.
"Les, serius. Lo ngapain sih ke Fleur? Mau ngamuk karena duit dua juta lo itu?" tanya Roy, kala mereka berhenti di lampu merah perempatan jalan.
"Enggak lah! Gue enggak se-norak itu anjir! Lagian itu mah salah lo, bukan salah floristnya!" sahut Ales, ditambah dengan menepak helm sang teman.
"Aduh! Ya terus? Beli bunga lagi? Klien lo minta bunga?"
"Nope! Klien gue kerja di sana."
"Hah?"
"Lampu ijo, Roy!"
Mendengar ucapan sang teman, Roy lantas tancap gas dan melanjutkan perjalanan menuju Fleur Teapot—toko bunga yang kata Ales adalah tempat kerja kliennya.
Setelah itu, Roy tak banyak bertanya lagi. Karena, hanya butuh dua menit dari lokasi pemberhentian lampu merah, mereka sampai di tujuan.
Fleur Teapot.
Ales yang baru saja turun dari motor, melepas helm seraya memandangi toko bunga yang rupanya cukup besar dibandingkan toko bunga lain yang ia ketahui.
Dari halaman depan, ia dapat melihat ada kursi dan meja dibalik kaca-kaca jendela yang besar. Sementara di sisi lainnya, ia melihat beberapa bunga yang dipajang tepat di sebelah pintu masuk toko tersebut.
"Ini kafe atau toko bunga sih?" gumam Ales, seraya melepas helm dan diberikannya kepada Roy.
"Gabungan kayaknya. Gue sempat lihat ada dining area sih," kata Roy.
"Bagus deh, modus ngopi aja gue kalau gitu."
"Lah kan tadi di rumah udah?"
Kebodohan Roy memang tiada dua. Ales tau temannya itu memang memiliki kapasitas otak yang tak berbeda jauh darinya. Namun, ia hanya tak menyangka bahwa Roy ternyata jauh lebih dangkal.
"Modus, Roy. Modus. Lo paham modus enggak sih?"
"Paham."
"Nah ya udah."
"Ya udah apa?"
Baiklah, Ales sepertinya akan kehabisan stok kesabaran.
"Roy, mending lo cabut."
"Kenapa?"
"Banyak bacot. Udah lah. Gue duluan!"
Tanpa menunggu respons dari Roy, Ales langsung berjalan menuju pintu masuk Fleur Teapot.
Roy yang ditinggalkan begitu saja, lantas menggerutu sebal, "Begitu tuh, manusia enggak tau terima kasih! Astaga, untung gue sabar orangnya. Ayo Cong, kita keliling cari bunga. Hmmm, ke Rawa Belong kali ya? Gas lah!"
•
♡
•
Setiap kali bel yang tergantung di atas pintu itu berdenting, secara otomatis membuat gadis yang berdiri dibalik meja kasir itu menoleh dan mengulas senyuman kepada ia yang baru saja datang.
"Hello, welcome to Fleur Teapot. Baru mau order atau ambil pesan—"
"KAK ALES?!"
Sontak, teriakan Elio yang tampaknya menyapa pelanggan itu, membuat Bigel seketika berhenti bicara. Elio memotongnya, dan pekerja paruh waktu itu menghampiri pelanggan yang baru saja datang.
"Hai, El."
Mendengar pelanggan itu yang juga memberikan sapaan balik kepada Elio, membuat Bigel melirik-lirik tipis ke arah mereka secara bergantian.
Ales? Ini si boyfriend rent kah?
"Kak Ales mau pesan bunga lagi?" tanya Elio, dengan senyum dan semangat paginya seperti biasa.
"Eh, enggak. Gue mampir aja, sekalian ... mau kenalan. Hehe."
"Kenalan?" Elio mengernyit heran.
"Umm iya, sama ... Bigel?" balas Ales dengan memberi lirikan sekilas kepada gadis yang sedari tadi berdiri memperhatikan mereka berdua.
"Gue?" Bigel mengernyit.
"Kak Bigel?"
Ales pun mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Elio, dan gadis cantik yang merupakan kliennya. Oh tunggu, baru pertama kali bertemu saja Ales sudah bisa menduga bahwa hidupnya akan indah selama sepuluh hari. Kapan lagi ia mendapat klien secantik ini?
Rambut panjang yang diikat seperti buntut kuda, menampilkan jenjangnya leher dan tonjolan tulang selangka pada tubuhnya. Indah, menurut Ales.
Kalau urusan wajah, Ales tak tahu Bigel mengenakan make-up atau tidak. Apapun itu, Bigel terlihat cantik dengan bibir merah muda, dan alis tipisnya. Terlihat sangat pas dengan warna kulitnya yang cerah.
Baru sebatas ini saja, Ales sudah suka!
"Lho? Emang Kak Ales belum kenalan setelah aku kasih kontak Kak Bigel?"
"Umm, belum sih. Soalnya, semalam udah larut banget, El. Jadi enggak enak aja nyapanya. Sebagai BF rent yang baik, gue tau waktu lah.
Oh ya! Tadi pagi sih Bigel udah gue DM, tapi enggak dibalas. Jadi, gue mampir deh!" Ales menjeda sejenak, dan melirik-lirik ke arah Bigel, "gapapa 'kan?"
Bigel mengerjap, Elio pun sama. Pasalnya, pria ini sungguh percaya diri sekali untuk datang demi mengajak Bigel berkenalan. Entah kenapa, Bigel malah merasa pria yang disewanya ini aneh, alih-alih tampan rupawan. Boro-boro untuk jatuh cinta pada pandangan pertama. Pria ini malah menampilkan kesan yang jauh dari bayangannya.
"E ... Elio, tolong bikinin chamomile tea buat Ales ya," ucap Bigel dengan sedikit terbata, karena sedari tadi tatapan Ales tak lepas darinya.
Bigel membatin, apakah si boyfriend rent ini tidak merasa telah membuatnya canggung dengan tatapan seperti itu?!
"Aduh, thank you banget nih dibuatin minuman. Tapi kalau boleh, kopi susu aja, El. Hehe," sahut Ales.
Bigel dan Elio lantas saling bertukar pandang. Tak salah lagi, kepercayaan diri Ales memang di atas rata-rata pria yang pernah mereka jumpa. Dua pegawai Fleur Teapot itu bahkan membatinkan hal yang sama. Ales sepertinya seorang narsistic.
"Umm ... Kak Ales, kita enggak ada kopi, Kak. Maaf ya, cuma ada teh aja, gapapa?" balas Elio.
"Oh?" Ales mengerjap, ia baru tahu ada kafe yang tak menjual kopi. Aneh sekali, batinnya.
"Kalau Kak Ales enggak mau chamomile tea, kita banyak varian teh yang lain kok. Kita geser ke kafe aja ya, Kak. Soalnya, di sini khusus untuk order bunga."
"A-ah gitu ... oke deh, lihat di sana ya ada teh apa aja! Gue juga suka teh kok, santai aja!"
Elio mengangguk canggung, kemudian menoleh ke arah seniornya, "Kak Bigel nanti ke sana ya."
Mendengarnya, Bigel hanya tersenyum tipis. Pikirannya perlahan melayang, tak terbayang bagaimana ia harus menghadapi orang seperti Ales selama sepuluh hari ke depan.
Karena jelas, sifatnya jauh berbeda dengan Bara yang tenang seperti lautan.
•
♡
•
Pukul dua belas siang, Fleur Teapot tutup sementara karena sudah memasuki jam istirahat. Baik Bigel ataupun Elio melepas apron mereka dan menggantungnya di kapstok ruang belakang. Mumpung hanya ada mereka berdua di sana, Bigel lantas curi-curi waktu untuk bertanya dengan gamblang kepada Elio.
"El,"
"Ya, Kak?"
"Itu ... kakak tingkat lo emang freak ya orangnya?"
Elio menelan saliva kala mendengar pertanyaan Bigel.
"S-sebenarnya ...," Elio menjeda sejenak, "sebenarnya aku juga enggak tau dia se-narsis itu, Kak. Cringe ya?"
"El ... gue kira lo kenal banget sama dia!"
"Huaaaa, forgive me for saying this, tapi aku emang cuma tau Kak Ales sekilas-sekilas aja. Soalnya di jurusanku dia emang lumayan famous jadi BF rent. Ganteng-ganteng gitu kupikir sweet, taunya cringe!"
Bigel lantas menghela napas panjang. Mau bagaimana lagi? Bigel pun tak dapat menyalahkan Elio sepenuhnya. Lagi pula, ia sendiri yang menyanggupi saran Elio dan Alin untuk menggunakan jasa boyfriend rent. Maka, Bigel menganggap ini adalah risiko atas kecerobohan dan tingkah gegabahnya dalam mengambil keputusan.
"Ya udah, tolong buatin gue chamomile tea aja. Anterin ke meja ya, gue mau coba ngobrol sama kating lo."
"Sure! I'll give you something to calming!"
Benar, teh kamomil memang juaranya untuk membawa aura menenangkan.
Bigel lantas hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Gadis itu kemudian keluar dari ruang belakang khusus pegawai, dan menghampiri Ales di area kafe teh Fleur Teapot.
"Ekhm," Ales langsung berdeham, begitu melihat Bigel mendudukkan diri di hadapannya.
Bigel diam dan mengamati Ales sejenak.
Tampan, memang. Tak begitu berbeda jauh dengan foto profil yang kemarin Elio tunjukkan. Dari mata teduh yang tampak menyimpan banyak cinta, Bigel beralih melirik hidung yang nyaris membentuk angka tujuh sempurna. Bibirnya pun terlihat manis dengan warna merah muda. Pula, rahang yang tegas dan kokoh, membuat ia terlihat semakin ... jantan.
Namun, di tengah-tengah pengamatannya, ada satu hal yang paling menggugah pandangan Bigel—alis yang begitu tegas membingkai. Hingga membuat satu pertanyaan tercuat dari benaknya.
"Lo sulam alis?"
"H-huh?" Ales celingak-celinguk, "lo ... nanya gue?"
"Toko ini lagi tutup, apa ada pengunjung selain lo?" Bigel malah bertanya balik.
Ah, benar juga. Ales pun kikuk dibuatnya. Lagi pula, siapa yang akan menyangka bahwa pembuka obrolan mereka adalah pertanyaan seputar sulam alis. Bukan perkenalan seperti biasa.
"Umm ... enggak. Udah dari lahir kayak begini. Ganteng, ya? Tau, kok. Bule-bule di Bali aja pada naksir sama gue."
"Oh," sahut Bigel dengan mengangguk tipis.
Setelahnya, Bigel kembali memperhatikan Ales. Kali ini, ia beralih pada pakaiannya. Kaus hitam lengan pendek yang Ales gunakan, menampakkan otot lengan yang sedikit menonjol. Berkat hal itu, Ales terlihat lebih seksi dan memberikan kesan menggairahkan untuk para wanita. Bigel mengakuinya. Secara sekilas, dari bentuk fisik pria ini, ia memang mendekati kata sempurna.
Hanya saja, citranya yang berbeda.
Di foto kemarin, Ales terlihat seperti pria mahal nan dingin incaran banyak perempuan. Namun nyatanya, ia hanyalah pria biasa yang supel dan penuh percaya diri. Sedikit cringe—sebagai tambahan penilaian dari Bigel.
"Gue Ales."
Ales memperkenalkan dirinya. Setelah tak tahan dibuat kikuk oleh pandangan Bigel yang seperti tengah menilai dari atas ke bawah.
"Bigel."
"Umm, sebelumnya boleh tanya dulu? Bigel prefer pakai lo-gue atau aku-kamu? Gue sendiri bebas kok ngikutin permintaan klien."
Bigel berdecih tipis, "Pertanyaan macam apa?"
"Ah iya, mungkin lo bingung karena ini pertama kalinya, ya? Gapapa kok, gue bisa ngerti. Tenang aja."
"Pertama kali ... apa sih?"
"Sewa pacar. Baru pertama kali 'kan?"
"Kalau udah sering, gue enggak mungkin nanya 'pertanyaan macam apa' enggak sih?"
"Eh? Hehe iya juga."
Dua kali. Dua kali Ales dibuat kikuk oleh seorang perempuan. Sial, batinnya. Baru kali ini ia mendapat klien sulit dilunakkan seperti Bigel.
Asumsinya yang semula mengatakan bahwa ia mampu mendominasi setiap gadis seperti biasanya, kini perlahan patah seketika. Bigel jauh dari ekspektasinya. Wajahnya yang kecil dengan alis tipis dan bibir merah muda itu, sangat bertolak belakang dengan sikapnya sekarang. Bigel sama sekali bukan gadis berperangai imut seperti yang Ales bayangkan.
"Jadi?"
"Jadi ... apa?" Si bodoh Ales malah bertanya balik.
Dan membuat Bigel lantas berdecak sebal, "Ya itu tadi pertanyaan macam apa? Lo gue atau aku kamu, itu maksudnya gimana?"
"A-ah iya. Itu ... umm, biasanya sebelum mulai dating, gue—sebagai penyedia jasa BF rent—bakal nanya ke klien. Prefer pakai kata ganti apa selama kita dating? Gitu aja sih, hehe. Maksudnya biar klien nyaman selama kencan."
"Oh, oke ...," Bigel mengangguk pelan.
"Jadi, Bigel prefer pakai apa? Lo gue atau aku kamu?"
"Lo gue," jawab Bigel dengan cepat.
"Eh? Enggak mau aku-kamu aja? Lebih swee—"
Belum selesai, Bigel langsung memangkasnya tanpa iba.
"Nama lengkap, usia, pekerjaan—kalau masih kuliah, kuliah di mana, semester berapa, jurusan apa—kegiatan sehari-hari, kendaraan pribadi, alamat rumah. Pertanyaan ekstra, apa yang bisa lo lakuin buat gue selama jadi pacar sewaan? Apakah worth it bayar lo lima juta untuk sepuluh hari gue sewa? Jawab."
Ales yang tiba-tiba diburu pertanyaan, otaknya nyaris meledak sekarang. "H-hah?!"
"Oh ya, lo masih kuliah. Sorry, gue lupa lo kakak tingkat Elio. Kalau gitu, bagian pekerjaan di-skip aja. Silakan jawab yang lainnya."
Ales mengerjap, otaknya membeku sejenak, lantaran tiba-tiba Bigel mencercanya dengan banyak pertanyaan di awal pertemuan. Rasanya seperti mendapat wawancara dadakan!
Ayolah, Ales tidak sedang walk in interview! Tak heran kalau ia linglung sekarang.
Elio yang kebetulan ingin mengantar teh kamomil pesanan Bigel, tak berani ikut campur perbincangan mereka. Melihat wajah Ales yang tegang, ia tahu keadaan sedang tak beres di sana.
Segera, Elio meletakkan segelas teh itu di atas meja, dan langsung pergi setelahnya.
"Itu tadi ... h-harus gue jawab?" tanya Ales, polos.
"Lo ada kesulitan memenuhi permintaan pelanggan?"
"Eh?" Ales mati kutu dibuatnya, sementara Bigel masih menunggu jawaban seraya bersandar dan menyeruput teh kamomilnya.
Lantas ia tak memiliki pilihan, selain menjawab segala hal yang ingin diketahui kliennya sekarang.
"A ... ekhm! Alessandro Tedja, biasa dipanggil Ales. Usia d-dua puluh—" Ales berhenti sejenak, lantaran Bigel manatap lurus ke arahnya. Seolah gadis itu adalah seorang pewawancara yang gemar memberikan tatapan tajam.
"S-sorry, gue enggak terbiasa kayak gini."
"No worries," sahut Bigel, "lanjutin."
Ales pun mengatur napasnya sebelum lanjut menjawab. Kala merasa dirinya sudah cukup stabil, Ales hendak melanjutkan, tapi ia memilih untuk memulai dari awal.
"Alessandro Tedja, biasa dipanggil Ales. Usia dua puluh satu tahun, Desember nanti dua puluh dua.
Kuliah di Universitas Batara, jurusan Hospitaliti dan Pariwisata, semester tujuh. Soal pekerjaan ... sebenarnya ada sih pengalaman, perlu dijelasin enggak?"
"Boleh."
"Oke. Umm ... dulu, sempat satu setengah tahun jadi part-time bartender di salah satu bar, itu waktu gue semester dua, tiga, dan empat.
Lanjut ke semester lima, gue penjurusan dari kampus dan ambil konsentrasi F&B Product and Service. Semester enamnya, gue magang linier dengan jurusan yang gue ambil di salah satu hotel bintang empat—"
"Di Bali?" potong Bigel, mengingat Ales sempat menyebutkan soal bule Bali sebelumnya.
Alih-alih kesal karena disela, Ales malah senang karena rupanya Bigel menyimak setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Yup, di Bali. Dan sama ... jadi bartender juga. Masuk semester tujuh, magang gue udah selesai, gue balik jadi bartender lagi. Di bar yang sama kayak dulu, dan masih sampai sekarang."
"Ow ...," Bigel cukup terperangah mendengar penjelasan riwayat hidup Ales. "Jadi lo ... bartender?"
"Yup," sahut Ales dengan tersenyum bangga, "mau coba minuman gue? Gue kerja di Nyx Bar, datang aja kapan-kapan. Gue bisa bikin cocktail, mocktail, mixing beer, atau—"
"Cukup." Baru sebentar bertemu, Bigel sudah tahu Ales adalah tipikal yang akan terus bicara jika tak dihentikan.
Maka dari itu, Bigel langsung memotongnya. "Lanjut kegiatan sehari-hari, kendaraan pribadi, rumah lo di mana. Dan jangan lupa, jawab pertanyaan ekstra."
Ales mengerjap dan menelan saliva, belum selesai juga? Gadis ini sedikit keras dan kukuh rupanya.
Namun, hatinya berkata ... tak apalah, yang penting gadis ini sudah memberinya lima juta rupiah. Maka, sudah seharusnya ia menuruti keinginan pelanggan. Walau rasanya seperti sedang berhadapan dengan user yang menentukan hidup dan matinya lamaran pekerjaan.
"Kegiatan sehari-hari ... ya kuliah aja, kalau malam ngebar di Nyx, dan kadang gue open BF rent. Kalau kendaraan priba—"
"Kuliah, ngebar, open BF rent. Schedule lo ngaturnya gimana?" Bigel memotongnya lagi.
Ales lantas menghela napas, dan tiba-tiba ia terkekeh kecil. Ales tak marah, hanya sedikit dibuat heran saja.
"Lo banyak mau tau ya?"
"Gue perlu tau pacar gue kayak gimana, Alessandro Tedja."
"Ah, okay i see ... apa tadi? Schedule? Hmm, gampang sih. Pagi ke siang gue kuliah, malamnya gue ngebar.
Berhubung gue part time, manajer gue cukup baik untuk nyesuain jadwal kerja gue sama jadwal kuliah. Senin, selasa, kamis, jumat, adalah jadwal kuliah gue. Sekaligus, jadwal ngebar juga. Beda waktunya aja, kuliah pagi, ngebar malam. Sisanya—rabu, sabtu, minggu—biasanya gue pakai buat BF rent."
"Enggak punya waktu istirahat?" tanya Bigel.
"Gue perlu cari uang, Bigel."
"Untuk?"
"Gaya hidup lah! Untuk apa lagi orang cari uang?"
Sebenarnya, bukan jawaban dengan nada bercanda seperti itu yang Bigel mau. Namun, sepertinya Ales yang cengar-cengir seperti kuda, memang enggan menyebut lebih spesifik tentang motifnya. Jadi, Bigel tak bertanya lebih lanjut lagi.
"Okay, dapat dimengerti," ucap Bigel yang kemudian membenarkan posisi duduknya untuk lebih tegak.
Kini, dwinetra tegasnya bertemu dengan milik Ales yang menatapnya dengan garis senyuman.
"Tinggal dua pertanyaan terakhir yang belum lo jawab. Apa yang bisa lo lakuin selama jadi pacar sewaan gue, dan apakah uang lima juta gue worth untuk sewa lo?"
"Ekhm! Menurut gue—"
"Tunggu. Gue tambahin sedikit, baru setelahnya lo jawab."
Baiklah, Ales mulai terbiasa ucapannya dipotong begitu saja. Tak apa, tak masalah, ia masih memiliki stok kesabaran yang belum banyak terpakai. Lantas, ia diam dan mendengarkan Bigel dengan baik.
"Sekarang gini, Ales. Gue yakin Elio udah sebut kalau gue rent lo selama sepuluh hari. Dan dalam sepuluh hari itu, gue perlu banyak pendekatan sama lo sebelum kita ke titik final, tanggal sepuluh Oktober nanti. Dengan kesibukan lo itu, gimana cara lo luangin waktu buat gue? Dan satu lagi, lo punya pacar asli?"
"Ah, soal itu ... udah gue atur, Bi. Tenang aja!"
Bigel sedikit tersentak, jemarinya yang semula memainkan bibir cangkir berhenti seketika. Fokusnya pun perlahan memudar. Sementara itu, Ales terus menjelaskan, dan Bigel terus mendengarkan dengan sisa-sisa kewarasan.
"Gue jawab satu-satu ya, Bi. Pertama, selama jadi pacar lo, gue bisa lakuin apa pun yang lo mau. Anter lo kerja setiap hari? Okay. Jalan-jalan di waktu luang? Okay. Museum date, culinary date, book date? Okay juga. I'll do anything for you, Bigel. Mau lo minta gue bantuin merangkai bunga pun, meski gue enggak bisa, bakal gue bisa-bisain buat lo.
Kedua, masalah waktu. Gampang, Bi. Setiap pulang ngampus nanti, gue bisa temuin lo di sini, atau di rumah lo, atau di mana pun yang lo mau. Kapan pun lo butuh gue, gue ada, Bigel. Dan juga, kalau gue lagi ada kelas atau ngebar, gue pasti bakal luangin waktu buat chat atau telfon lo, Bi.
No matter what happen, lo enggak akan kehilangan kabar gue. Dan gue jamin, gue enggak akan pergi tiba-tiba. Gue profesional kok. Uang lo udah masuk ke gue, dan gue akan bekerja sesuai yang lo inginkan.
Jadi, buat urusan waktu, udah gue atur sebaik mungkin. Gue pasti punya waktu buat lo, buat kita jalan bareng, atau sekadar haha hihi random selama sepuluh hari nanti.
Ketiga, soal pacar. Gue enggak punya pacar kok, haha! Mana mungkin BF rent punya pacar. Jadi, tenang aja ya, Bi.
Terakhir, soal worth atau enggak-nya uang lima juta lo. As long as gue bekerja dengan baik sesuai yang lo inginkan, gue rasa kontrak kita enggak akan berakhir dengan penyesalan, Bigel. I'll do my best for you."
Selesai. Ales menutupnya dengan seulas senyuman. Dan untuk beberapa detik, Bigel membeku. Bukan hanya karena segala penjelasan Ales yang sudah mengatur seluruh jadwalnya demi Bigel, tapi juga karena ... bagaimana pria itu memenggal namanya.
Bi.
Ales mengatakannya seperti itu. Persis sebagaimana Bara melakukannya.
Sial!
Alih-alih kehadirannya mampu membantu Bigel melupakan, ia malah membuat bayangan Bara kembali terlintas di kepalanya. Dari segala rencana manis yang Ales jabarkan, mengapa pula ia harus memenggal namanya seperti yang Bara lakukan?
"Bi?" Ales memanggilnya karena Bigel tampak melamun.
"Ya, Kak?"
"Kak?" Ales terkekeh mendengarnya, "panggil gue Ales aja. Jangan 'kak', gue bukan kakak lo. Gue pacar lo, Bigel."
Oh sial, tamparan kedua.
Batinnya mulai bergejolak, berandai-andai—bagaimana jika apa yang diucapkan Ales barusan, keluar dari mulut seorang Bara Tanuwidjaja.
Gue bukan kakak lo. Gue pacar lo, Bigel.
Bukankah seharusnya Bara mampu mengatakan hal itu?
"Hmm tadi apa lagi ya yang belum? Udah semua belum sih pertanyaannya gue jawab?" Ales menimbang-nimbang sejenak. "Oh ya! Kendaraan sama rumah!"
Sontak, suara Ales yang memekik cukup kencang membuat Bigel keluar dari lamunan.
"Hm iya ...," Bigel mengangguk benar, "kendaraan."
"Kalau kendaraan, gue cuma punya satu, Bi. Semoga lo enggak keberatan. Vespa matic, that's it."
"Enggak masalah."
"Terakhir, rumah. Gue tinggal di Perum Nuri Indah. Selesai deh! Hehe, apa lagi yang mau lo tau tentang gue, Bi?"
Lagi. Bigel menelan salivanya yang kini terasa keras, ia tak terbiasa dengan orang asing yang memanggilnya dengan penggalan seperti Bara. Bi, katanya.
"Eh, by the way lo lagi jam makan siang ya? Mau makan bareng? Oh ya, lo suka makan apa, Bi?"
"Hottang."
Hotdog kentang.
"Hottang? Ah ... kalau itu, beli di mana ya? Biasanya lo suka makan hottang di mana?"
"Lawson."
"Ah, okay! Kalau gitu ayo kita ke Law—"
"S-sorry, gue bisa makan siang sendiri."
Seketika, senyum pada wajah Ales memudar perlahan. Tampak raut kecewa di sana karena Bigel enggan pergi makan siang bersama. Entah apa masalahnya, Ales pun tak paham. Namun, ia berlagak tak apa-apa. Meski ia tak mengerti mengapa ekspresi Bigel pun berubah dalam sekejap. Ia tampak sedikit ... sendu.
"Oh? Okay, Bi! Kalau gitu, gue yang beli aja ya ke Lawson. Sebentaaaar aja, nanti gue balik lagi. Okay?"
"No, thanks Ales. Gue enggak lagi mau makan hottang juga kok. Tadi, reflek aja jawab gitu.
By the way, thank you buat perkenalannya. Gue rasa, kita bisa bekerja sama dengan baik," ucap Bigel.
Ales pun tersenyum, tentu ia senang karena akan bekerja dengan gadis secantik Bigel.
"Anytime, Bi."
Mendengarnya lagi, membuat Bigel hanya tersenyum tipis. Ales tak tahu bahwa caranya memenggal nama Bigel, membuat hati sang empunya nama sedikit teriris.
Namun, Bigel pun tak mau Ales melihat kegelisahannya. Ia lantas kembali berlagak biasa saja. Seolah tak ada satupun kata-kata Ales yang menyenggol hatinya.
"Oh ya, Les. Elio udah bilang 'kan soal start day-nya?"
"Udah dong! Tanggal satu Oktober, 'kan?"
Bigel mengangguk, "Benar. Tanggal satu Oktober start day kita, dan end di sepuluh Oktober ya, Les. Kalau gue enggak salah, sekarang masih dua puluh delapan September. Jadi, lo bisa contact gue di rentang tanggal rent kita aja, ya."
"Ah iya, ini emang masih September, Bi. Tapi, karena lo special customer gue, gue sengaja kasih extra day! Hehe!"
"Ah ... extra day rupanya. Thank you kalau gitu, tapi ... sekarang sampai akhir bulan nanti gue masih sibuk banget karena banyak orderan bunga. Jadi, kita start di tanggal satu aja ya, kayak kesepakatan awal. Extra day itu, enggak perlu gapapa kok. Sepuluh hari rasanya cukup deh buat gue. Hubungi dan temui gue mulai tanggal satu aja ya, Les. Bisa?"
Kalau memang itu yang pelanggannya inginkan, Ales tak mungkin akan menolak. Lantas, ia tersenyum manis dan mengangguk seperti pria yang selalu menuruti segala permintaan kekasihnya.
"Anything for you, Abigail."
•
♡
•
to be continue ...
btw ... CIEEE KALIAN SEMUA DAH KENALAN SAMA ALES! DAH TAU YA CV NYA KAYAK GIMANA HUAHAHAHA
JADI, SIAPA NIH YANG NUNGGU 10 DAYS NYA ALES & BIGEL???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top