58 | pink plester
"Hadeh."
Tak ada yang menduga akan jadi seperti ini pada akhirnya. Satu yang paling merasa kesal adalah Bang Opik, karena ia yang harus pergi ke warung untuk membeli obat antiseptik sepaket dengan plesternya. Si bodoh berbadan besar itu terluka.
"Nih, betadine sama hansaplast. Makanya kalau bercanda tuh yang betul-betul aja lo pada."
Dua orang yang jauh lebih muda darinya itu hanya bisa menundukkan kepala, termasuk Ales yang menerima obat dari Bang Opik. Mereka berdua didudukkan di saung, sementara Bang Opik dan Haga berdiri di hadapan mereka. Haga pikir, Ales tak akan mendapat segores pun luka. Namun, kenyataannya Bigel berhasil membuat lengan Ales sedikit berdarah.
"Ya maaf, Bang. Kan enggak bakal kayak gini juga kalau Bos Bi nggak pakai cincin."
"Gue lagi?! Eh, dari awal juga nggak bakal kayak gini kalau lo nggak bikin kesel, Les!"
"Halah, udah!" Haga menghentikan mereka. "Les, lo aman nggak gue tinggal di sini? Apa mau ikut pulang aja?" Haga sangsi juga meninggalkan temannya sendiri, mana tau Bigel bisa lebih brutal daripada ini.
Ales pun dengan takut-takut melirik Bigel sekilas, tapi Bigel begitu peka dan langsung membalas lirikannya dengan tatapan tajam. Sontak membuat Ales kembali menundukkan kepala.
"Gumana?" tanya Haga.
"Umm ... G-gue ikut pulang aj—"
"Ya ilah, Bos, sayang amat kalau si Ales ikut pulang mah. Nanggung lah udah di sini juga, kamar udah disiapin, udah bilang si mbak juga buat masak lebihan nanti malem. Udeh, nginep aja semalem dua malem. Aman, ntar gue yang ngawasin mereka, Bos."
Bang Opik tampaknya tak mau membiarkan Ales pulang. Lagipula, lukanya juga kecil, bukan hal yang besar untuk dikhawatirkan. Ia lebih takut jika Bigel kembali murung dengan tidak adanya Ales di sini. Direpotkan pun ia tak masalah, walau tak dapat dipungkiri ia kesal juga ketika tiba-tiba disuruh pergi ke warung, tapi biar bagaimanapun ia peduli dengan kondisi Bigel. Apalagi, jika mengingat hari di mana ia bertemu Bigel tanpa sengaja hingga akhirnya ia bawa gadis itu ke villa Haga. Ah, waktu itu Bigel tampak sangat berantakan. Ia tak mau melihat Bigel dengan kondisi seperti itu lagi. Tak tega.
"Yakin lo?" Haga memastikan lebih lanjut.
"Yakin lah. Eh, bocah, lo mau nginep 'kan?" Bang Opik pun melempar pertanyaannya ke Ales, untuk meyakini Haga.
Ales pun merubah keputusan ia sebelumnya. Ia sudah berpikir singkat, dan rasanya ucapan Bang Opik pun benar. Lantas, ia menganggukkan kepalanya. Kalau boleh jujur juga, ia masih ingin berada di villa ini. Ia hanya takut Bigel tak menginginkan kehadirannya.
"Nah, itu bocahnya mau. Emang dasarnya dia mau main di laut, Bos."
Haga menghela napasnya. "Ya udah, gue cabut duluan kalau gitu. Bang Opik, anter gue ke dermaga. Ales, baik-baik lo di sini. Bigel, kalau ada apa-apa kabarin. Oke?"
"Siap, Bos!"
Ales dan Bigel yang duduk menunduk pun hanya menjawab dengan anggukan kepala. Setelah meyakinkan dirinya dalam beberapa detik untuk meninggalkan Ales di villa, Haga pun pergi bersama Bang Opik. Tinggalah Bigel dan Ales sendiri di sana, duduk di saung berdua, tanpa ada yang membuka suara.
Sampai pada akhirnya, Ales tiba-tiba bergerak. Ia membuka plastik yang diberikan Bang Opik, dan suara yang ditimbulkannya membuat Bigel sontak menoleh. Ales sedang mengeluarkan obat dan plester untuk lukanya.
"Sini."
"Apa?" Ales tak mau menoleh ke Bigel, ia bicara dengan berlagak fokus dengan botol obat yang sedang ia buka.
"Gue bantuin."
"Enggak usah. Bisa sendiri."
Jawaban itu benar-benar terdengar menyebalkan di telinga Bigel, hingga membuat dirinya berdecak kesal, pula membuat emosinya kembali meninggi. Ales ternyata masih sama saja, sifat ambekannya masih belum hilang juga, meski kemarin Haga sempat menyebutkan bahwa Ales sudah mulai dewasa.
"Sini, gue bantuin! Ngerti nggak sih? Masih bagus gue mau nolong, malah ditolak!"
"Ah, Bos Bi marah-marah mulu! Enggak usah gapapa, orang bisa sendiri kok! Emang gue anak kecil!"
Semakin Ales menunjukkan sifat ambekannya, maka semakin geramlah Bigel. Direbutnya botol obat itu dengan paksa, dan ia buru-buru ambil satu plester sebelum Ales berhasil mencegahnya.
"Ck! Bos Bi!"
"Diem!"
Mau tak mau, pasrahlah Ales. Ia membiarkan Bigel meneteskan obat itu ke lukanya yang tak seberapa, hingga ditutup sempurna dengan plester. Namun, belum sempat ia berterima kasih kepada Bigel, matanya sudah lebih dulu terbelalak ketika menoleh ke arah lengan yang baru saja ditutup lukanya.
"IH?! KOK PINK GINI SIH?!"
"Yang penting ada. Jangan banyak protes."
"Aaaah, Bos Bi! Enggak mau, ah! Hansaplast macam apa?!"
"Ales, diem atau gue tonjok lagi pake cincin?"
Dengan begitu, terkuncilah mulut Ales. Bigel pun menghela napasnya. Belum ada satu hari ia bersama Ales di sini, sudah ada-ada saja hal yang terjadi di antara mereka. Padahal jika dipikir-pikir lagi, selama pengasingan diri di villa milik Haga, Bigel biasa-biasa saja. Hidupnya cenderung penuh ketenangan tanpa ada sedikit pun bising yang menganggu. Tapi sekarang ... ah entahlah. Ales memang tukang buat masalah.
"Makasih."
"Apa?"
"Udah diobatin. Ya, padahal emang tanggungjawab Bos Bi nggak sih? Kan Bos Bi yang nonjok-nonjok."
Lihat? Bagaimana Bigel tak geram dibuatnya. Seumur hidup, baru kali ini ia benar-benar menghadapi seseorang yang menyebalkan tapi kadang mudah juga membuatnya tertawa di saat-saat mereka bersama. Jauh di bawah kata sempurna jika dibandingkan dengan Bara, pun tak lebih kaya daripada Haga, tapi hanya Ales yang mampu membuat perasaannya jadi begitu membingungkan. Bigel kesal, tapi ia tak benar-benar benci, malah rasanya ia ingin meminta maaf karena telah memukul dengan kelewatan. Namun tentu saja, Bigel itu gengsi.
"Terserah lo deh, Les. Udah, gue mau keluar."
"Ih? Mau ke mana?"
"Nyari jajanan, lah. Udah tau Bang Opik pergi sama Haga, ya gue mau cari sendiri. Apa? Mau ikut?"
"Ikut!"
"Enggak. Tunggu di sini."
"Ih?!"
"Tunggu, nggak?!"
Ales mengerucutkan bibir. Tak hanya Bigel, Ales pun sama kesalnya. Namun, Ales tak tahu saja, Bigel sengaja menyuruhnya untuk menunggu di rumah karena gadis itu khawatir Ales akan lelah. Mengingat ia belum lama sampai di sini, perjalanan menyebrangi lautan pasti sudah cukup melelahkan. Jadi, lebih baik Bigel pergi sendiri dan Ales beristirahat di villa.
"Gue enggak lama. Mau nitip apa?"
Ales menggeleng, tak terpikirkan satupun kudapan di kepalanya.
"Ya udah, tunggu. Awas kalau bikin berantakan! Sana masuk!"
Sebal bukan main Ales kepada Bigel. Dengan menghentak kesal, Ales bangun dan melangkah masuk ke dalam villa sesuai yang diperintahkan. Bigel pun hanya bisa bergeleng kepala, heran betul dengan tingkah Ales yang masih seperti anak kecil padahal usianya sudah kepala dua. Tapi ia tak mau ambil pusing, Bigel lantas mengikat rambut panjangnya, dan menaiki sepeda untuk berkeliling pulau mencari kudapan.
Di perjalanan, dengan semilir angin yang lembut membelai rambutnya, ia diam-diam tersenyum. Ia membayangkan apa yang baru saja terjadi di villa. Agaknya, kekesalan Bigel sudah mulai memudar, dan kini ia malah melengkungkan senyuman. Ales benar-benar gila. Atau ... Bigel yang justru menjadi gila karenanya?
.
.
to be continue ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top