57 | they're still the same

"Jadi ... Bos Bi selama ini di sini?"

Bigel mengangguk. Ales tak lepas memandang Bigel yang sedang duduk bersamanya di ruang tamu villa, di samping jendela yang terbuka, dengan asap rokok yang menghiasi di antara mereka.

Ales bingung, Bigel tampak biasa saja di sini, tak ada lagi mata yang sendu yang menahan sesuatu di dalam benaknya. Ales pikir, Bigel akan meledakkan tangis begitu melihat dirinya hadir di sini, tapi ternyata yang terjadi sekarang jauh dari bayangannya. Bigel tampak sangat tenang.

"Bos Bi yakin Bos Bi baik-baik aja?"

"Gue baik-baik aja, Ales, jangan percaya apa kata Haga. By the way, lo nginep?"

"Huh? I-iya nginep, Bos. Sama Haga ju—"

"Haga pulang. Hanna nyariin."

"Eh? Iyakah?"

"Lo kan yang satu kapal sama dia, emang nggak dengar dia ditelfon Hanna? Tadi dia bilang gitu pas kalian baru dateng."

Sungguh? Ales tidak mendengarnya. Mungkin matanya terlalu fokus melihat Bigel, dan pikirannya terkunci di dalam tatapan gadis itu, hingga ia tak sama sekali mendengar apa yang Haga ucapkan.

"Well, anggap aja lagi di rumah sendiri ya, Les."

"Ah, Bos Bi, mana bisa begitu. Enggak enak lah, Bos."

"Lho, kenapa? Sampai akhir bulan, villa ini masih 'hak milik' gue kok. Santai aja."

"Kok?"

"Gue di sini nyewa, Les. Jadi, ya ...."

"HEH?! B-BOS BI NYEWA VILLA?! SELAMA INI? SELAMA ENAM BULAN TERAKHIR?!"

Bigel mengerjap, terkejut juga melihat Ales yang tiba-tiba meninggikan suara. Entah apa yang salah dari kata-katanya sampai membuat Ales sebegitu kaget.

"Y-ya ... masa gratis, Les? Kan ini Haga memang sewain villanya."

"Ya tapi, Bos, biasanya 'kan orang lain sewa tuh ya cuma sehari dua hari, paling lama paling tiga hari. Lah ini? Bos Bi setengah tahun di sini, emangnya enggak bangkrut? Fleur Teapot kan tutup, Bos."

Bigel terkekeh kecil, tak salah lagi Ales memang mampu membuatnya sedikit terhibur. Kepolosannya itu jarang ia temukan dalam diri orang-orang di lingkup kehidupannya. Hanya satu, hanya Ales yang memiliki itu.

"Enggak perlu khawatirin gue, Les. Kan udah gue bilang, gue baik-baik aja kok. Ngomongin Fleur Teapot, gimana kabar Elio? Lo juga, apa kabar, Les?"

Ales terenyuh tiba-tiba. Bigel dengan suara lembutnya yang menanyakan tentang kabar, sudah cukup membuat Ales jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

"Oh ya, satu lagi, lo masih ... keep in touch sama Ce Alin?"

"Eh? Ce Alin?"

"Iya."

Ales menggeleng dengan keyakinan maksimal. "Enggak lah! Enggak mungkin. Ngapain juga gue? Enggak ada urusan sama dia, Bos. Kalau Elio, sesekali dia suka datang ke Nyx. Dulu waktu baru-baru ditinggal Bos Bi dan beberapa minggu setelah itu, gue sama Elio masih rutin ketemu. Sekarang jarang-jarang aja, cuma seketemunya."

Bugel mengangguk paham. "Fleur Teapot? Gimana?"

"Fleur Teapot ... masih sama kayak dulu, Bos, enggak ada yang berubah."

"Oh?"

Sejenak, Bigel terperangah mendengar jawabannya. Ia sempat berpikir, bahwa mungkin ayahnya akan mengobrak-abrik toko bunga itu dan menyewakan rukonya untuk bisnis lain. Tapi ternyata ... tidak? Fleur Teapot masih sama?

"Tokonya mati, enggak tau gimana keadaan bunga di dalam. Tapi yang jelas, Fleur Teapot masih belum berubah, Bos. Gue selalu lewat sana setiap berangkat kerja."

Mendengarnya, membuat Bigel tiba-tiba menghela napas panjang. Ia memiliki sepercik rasa bersalah karena telah meninggalkan toko bunga yang didedikasikan untuk mendiang ibunya, hanya karena merasa patah hati setelah ditinggalkan oleh sang mantan kekasih. Pun, dikhianati oleh seorang teman baik.

"Bos Bi ...."

"Ya?"

"Bos Bi enggak mau pulang? G-gue ... gue siap bantu kok kalau Bos Bi mau hidupin Fleur Teapot lagi. Nanti gue belajar rangkai bunga, ngerawat bunga, hafalin nama-nama bunga, terus juga bikin buket, biar enggak cuma motongin solasi aja buat Bos Bi."

Bigel tertawa lagi. Ia ingat bagaimana Ales dengan begitu malasnya memotong solasi setiap kali membantu Bigel di toko bunga. Pernah juga, Ales dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia bosan, tapi pekerjaan itu tetap ia lakukan demi membantu Bigel.

Ah, masa-masa itu ... waktu singkat yang terasa begitu berharga.

"Bos Bi pulang, ya? Emangnya enggak bosan tinggal di pulau? Susah lho cari Jager di sini. Belum lagi enggak ada yang jual hottang, 'kan? Mana ada Lawson coba."

"Gue pasti pulang kok, Les."

"Beneran?!"

"Iya, tapi ya ... enggak sekarang."

Wajah Ales kembali lesu dalam seketika. "Yah, kenapa?"

"Belum siap aja."

"Karena Bara?"

"...."

"Bos Bi ...."

"Enggak, Ales. Memang belum siap, dan sayang juga 'kan, gue udah bayar sewa villa sampai akhir bulan ini. Lagipula, di sini enak juga kok, enggak seburuk itu. Walaupun susah cari Jager dan enggak ada Lawson, gue udah lumayan akrab sama amer dan abang-abang cilung, Les. Hahahaha."

"HAH?!"

Sungguh, ini sebuah kabar yang sangat mengejutkan di telinga Ales. Seorang Abigail Ananta minum anggur merah yang dijual di warung dan jajanan kaki lima? Ini benar-benar di luar nalar.

"B-Bos Bi ...?"

"Enak juga lho, Les. Walaupun manis banget sih ya amer itu. Lo suka minum amer nggak? Sore nanti mau keluar cari minum? Sekalian jajan cilung kalau lo mau."

"Heuh?"

"Atau mau minta Bang Opik cariin aja? Biar lo istirahat di sini dan terima beres. Coba, apa aja yang lo mau, biar gue chat ke Bang Opik sekarang."

"Ah, bentar! Bentar, Bos Bi, bentar! Ini apa sih? Bos Bi minum amer? Jajan cilung? A-amer yang sebotol harganya cuma—"

"Oh, iya! Satu lagi yang menarik tentang amer, Les! Ternyata, mereka bisa dibeli pake plastik."

"Ha?"

"Iya! Plastik! Jadi, amernya dituang ke plastik gitu, terus kita belinya bisa nawar mau berapa ribu, terus juga bisa dicamp—"

"STOOOOOP, BOS BI! STOP!"

Bigel diam seketika. Matanya mengerjap bingung, ia tak mengerti apa yang terjadi dengan Ales sekarang ini.

Sementara itu, segala informasi tentang anggur merah yang Bigel paparkan, Ales sudah mengetahui semuanya. Ia tak perlu detail apa-apa dari Bigel. Ia tak membingungkan hal itu sama sekali. Ia hanya tak mengerti, bagaimana bisa Bigel beralih dari minuman dengan harga nyaris menyentuh satu juta per botolnya ke minuman murah yang bahkan di bawah seratus ribu. Gila!

"Bos Bi, sebentar!"

Ales tiba-tiba bangkit dari sofa, dan mendekat ke arah Bigel yang duduk tepat di hadapannya. Kali ini ia mengambil posisi duduk di samping Bigel yang kebingungan, dan dengan sekejap mata ia meletakkan punggung tangannya di dahi Bigel.

"Heuh? Enggak panas, kok. Bos Bi enggak sakit. Tapi kok ...?"

"Haish!" Bigel menepis tangan Ales. "Lo kenapa, sih?"

"Ih? Bos Bi yang kenapa! Kok tiba-tiba jadi minumnya amer, dasar aneh!"

"Gue? Aneh?!"

Wah, tampaknya Ales telah berhasil mengembalikan Bigel ke mode pemarah dengan kesabaran setipis tisu. Bigel yang Ales kenal sejak pertama kali mereka bertemu.

"Enak aja! Lo yang aneh! Masa lo heran ada orang minum amer? Lo enggak pernah minum itu? Norak! Lo 'kan bartender, Les, banyak tau alkohol! Masa dengar orang minum amer aja kayaknya heran banget?!"

"Siapa yang enggak bakal heran dengar orang banyak duit kayak Bos Bi minumnya amer?! Di plastik lagi! Haduh, Bos Bi ada-ada aja! Jajan cilung pula!"

"Ya terus gue harus minum apa?! Harus jajan apa?! Bulu babi, gitu?!"

"Pfftt." Ales menahan tawanya, Bigel benar-benar lucu kalau sudah marah-marah begini. Wajahnya yang memerah dan alis matanya yang saling bertaut membuat Ales akhirnya tak tahan untuk tak menyemburkan tawa. "HAHAHAHAHAHAHA!"

"Dih? Gila lo ya?"

"Hahahaha! Duh, Bos Bi! Rokok gimana? Kalau rokok enggak berubah tiba-tiba jadi Super kayak Bang Opik, 'kan?"

"Ck! Tau ah, serah lo."

"Ih, kok jadi marah? Kan ini nanya, Bos Biiiii. Mana tau rokok Bos Bi berubah juga, hahahaha!"

"Ya menurut lo aja sih, Les! Di sini masih gampang cari Sampoerna! Ngapain juga gue harus ganti rokok, heran! Lagian kayak enggak punya mata aja, ini liat dong gue dari tadi bakarnya apa!"

Bigel jadi emosi. Ales memang bisa sedikit-sedikit membuatnya tertawa, sedikit-sedikit juga membuat kesal. Paket komplit.

Ales semakin terbahak-bahak saja melihat Bigel marah-marah. Agaknya, ia juga sakit jiwa, lebih senang dan bahagia sampai terpingkal-pingkal ketika melihat Bigel marah daripada tersenyum tenang seperti sebelumnya.

Mereka tak tahu saja, pertengkaran kecil itu terdengar sampai ke luar villa karena pintu yang tak ditutup. Lantas, membuat Haga dan Bang Opik yang masih duduk di saung sambil merokok bersama, jadi saling bertukar tatap penuh arti bahkan sampai terkekeh kecil.

"Bos ... Bos ... temennya gila juga, ya?"

"Gila-gila begitu cuma dia yang bisa bikin Bigel ketawa, Bang."

"Bukan maen emang. Salut!"

"Salut. Bartender biasa bisa hang out sama anak Keluarga Ananta."

Bang Opik tertawa, "Yang dibahas bukan saham dan bisnis lagi. Malah amer sama cilung! Hadaaaaaaah! Hahahahaha!"

Haga pun sudah tak bisa lagi menahan tawa. Sebodoh-bodohnya ia, ia sadar dan masih tahu betul cara berkomunikasi yang 'semestinya' dengan seorang putri tunggal keluarga kaya. Tidak seperti Ales yang semau-maunya sendiri, hingga Bang Opik saja sampai tak habis pikir.

Dan di tengah obrolan kecil antara Haga dan Bang Opik di saung, tiba-tiba suara adu mulut Bigel dan Ales terdengar semakin kencang. Bahkan, sebuah bantal sofa tiba-tiba terbang dari dalam dan keluar melewati pintu masuk villa. Tak lama setelahnya, Ales berlari keluar sembari terbahak-bahak, dikejar oleh Bigel seperti kucing galak yang mengamuk kepada anjing besar yang suka meledek.

"ALEEEEEEEEEES!!!!!"

"AMPUN, BOS BIIII!!!"

Haga dan Bang Opik pun kembali saling melirik, sebelum keduanya sama-sama bergeleng kepala dan terkekeh melihat tingkah mereka.

Seandainya saja mereka berdua tahu lebih awal tentang obat yang Bigel butuhkan, mungkin mereka akan membawa Ales jauh sebelum hari ini. Melihat sifat galak Bigel dan kontrol emosi yang tipis itu telah kembali, Haga dan Bang Opik pun tahu bahwa agaknya kehadiran Ales di sini sungguh membantu. Bigel tak lagi banyak berdiam, tak juga melengkungkan senyum-senyum yang ia paksakan, Bigel yang galak terlihat jauh lebih baik daripada Bigel yang memalsukan senyuman.

Mereka begitu terkesima melihat pemandangan ini, jarang sekali mereka lihat Bigel mengerahkan seluruh tenaga untuk meraih seseorang dan memukulnya. Dan ditambah lagi, Bigel itu tidak besar, gadis itu hanya tinggi tapi tubuhnya kurus. Sehingga, melihatnya memukul Ales yang bertubuh tinggi besar dengan otot lengan atas yang bahkan sedikit menonjol, tampak semakin lucu di mata Haga dan Bang Opik.

Kalau saja pertikaian itu serius, Bigel bisa dengan mudah habis di tangan Ales. Namun, yang terjadi adalah Ales malah meringkuk di halaman, sementara Bigel memukul-mukulnya tanpa ampun sambil terus berceloteh tentang kekesalannya.

"Bos, itu perlu kita pisahin nggak?"

"Enggak usah," Haga menjawab dengan santai dan mengembuskan asap rokoknya. "Ales juga nggak bakal bonyok." 

.

.

to be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top