55 | they'll find a way
"Ey yo, Haga Sanders! Heineken for tonight?"
"Sure thing."
Malam kelima setelah kepulangannya dari villa, Haga mendatangi Nyx Bar yang sudah tak bisa ia kunjungi setiap malam karena banyaknya urusan. Tak ada yang berubah di sini, kecuali status Ales yang kini menjadi full-time, alih-alih part-time. Hal tersebut membuatnya kini tak lagi sekadar mengenakan kemeja hitam, tapi ada sebuah pin berwarna perak yang menempel di dada kirinya. Berlogo seorang dewi yang dilindungi bulan sabit, seorang dewi yang juga memegang sebuah gelas anggur. Pin dengan logo yang menggambarkan Nyx Bar, menandakan dia sudah menjadi karyawan tetap di sana. Dan Haga memandangi pin itu selagi Ales menuangkan bir untuknya.
"Les."
"Yap?"
"Gimana pelatihan lo?"
Ales mengernyit, "Cruise?"
"Iya."
"Ya ... gue belum apply. Gue masih ngumpulin biayanya. Dikit lagi sih, Ga."
Haga mengangguk-angguk. "Kurang berapa?"
"Udah, enggak usah. Gue tau lo mau bantu."
Haga tertawa parau mendengarnya. Ales memang kadang pintar membaca pikiran. Tapi sungguh sebuah kejutan bagi Haga, mendengar Ales menolak uang. Dia sudah terlihat sedikit berbeda, jujur saja.
"By the way, Ga, Bigel ...."
"Enggak baik-baik aja, Les."
Sontak Ales berhenti bergerak. Ia terpaku untuk sejenak, lantaran kali ini, Haga memberikan jawaban yang berbeda daripada yang biasa ia dengar sebelum-sebelumnya. Belakangan, Ales memang sering tanpa sadar mencurahkan kekhawatirannya akan Bigel kepada Haga. Dan yang tak Ales sadari, Haga selalu berkata baik-baik saja seolah Haga telah bersama Bigel selama ini. Lantas, jawaban Haga yang berbedalah yang kini menyadarkannya.
Kali ini, Bigel tak baik-baik saja, begitu kata Haga.
"L-lo ... lo selama ini sama Bigel? Lo tau keadaannya? Kemarin-kemarin yang lo bilang dia baik-baik aja, itu bukan cuma kalimat penenang buat gue?"
Haga mengangguk pelan, terpaksa ia melakukan ini. "Sorry."
Ales sontak meremas rambutnya sendiri, frustrasi, ia sungguh telah khawatir selama ini dan ternyata Bigel aman bersama Haga.
"Kenapa lo enggak bilang?"
"Lo enggak pernah nanya gue sama dia atau enggak."
"Ya tapi 'kan, lo tau gue suka curhat tentang Bigel setiap lo ke sini."
Haga menaik turunkan bahunya. "Saat itu, gue enggak berhak ngomong tentang dia, Les."
"Terus sekarang?"
Haga diam sebentar, mengambil satu tegukan, baru setelahnya ia bicara dengan menatap mata penuh kekhawatiran itu. "Bigel ada di Tidung. Di villa gue, dan udah di sana kurang lebih enam bulan terakhir."
"H-hah?!"
"Jumat ini gue balik ke sana. Lo bisa luangin waktu? Ikut gue, Les."
"Anjing." Ales kini benar-benar frustrasi. "Ga, gue kerja! Gue full time, susah buat request schedule kayak dulu!"
"Resign."
"Heh?"
"Resign, Les. Lo enggak mau ketemu Bigel?"
Ales sungguh ingin tertawa dalam hati. Bicaranya orang yang banyak uang memang kadang mencelos begitu saja seolah orang yang ia ajak bicara tak memiliki pertimbangan apa-apa. Haga mungkin lupa, bahwa Ales tidak sama dengannya, atau dengan Bigel. Ales total berbeda.
"Kapal berangkat jam tujuh pagi. E-ticket besok gue kirim. Gue tunggu lo di dermaga Marina."
"Ga ...."
"Anak Bara udah lahir. Gue rasa, Bigel makin nggak tau cara untuk pulang. Dia kacau, Les. Lo mau dia menggila sendirian?"
--------
Di hari yang telah dijanjikan, Haga menunggu kehadiran Ales di dermaga. Sudah tinggal sepuluh menit lagi kapalnya berangkat, tapi Ales belum muncul sama sekali. Lantas, ada sedikit rasa tak enak di dalam hatinya, tapi ia tak mau berpikir yang tidak-tidak.
"Pak Haga, mau nunggu di dalam, Pak?"
Haga menoleh, sekretaris Bara sedang berada di sini bersamanya. Kebetulan, Erik sedang melakukan visit kapal di dermaga, sekadar mengecek dan mencatat laporan dari para anak buah kapal tentang kondisi armada mereka untuk dilaporkan kepada Bara.
"Biar saya yang nunggu teman Pak Haga di sini, nanti saya bantu arahin ke kapal. Jadi, Pak Haga bisa santai di dalam sambil minum teh."
"Enggak usah, Pak Erik. Thanks ya."
"Kalau gitu biar saya temani di sini."
Haga terkekeh, "Boleh."
"By the way, ini lagi nunggu teman kerja atau ...?"
"Teman baik saya."
"Oh? Teman kuliah? Teman sekolah?"
Haga menggeleng. "Teman minum. Dia bartender, dan saya suka minum di barnya. Skillnya bagus, sayang dia enggak mau saya bawa ke resort supaya jadi bartender di sana. Anaknya kekeh, mau kerja di pesiar katanya."
Erik tertawa, "Bagus ya, konsisten dia sama pilihannya. Tapi kalau di pesiar, apa enggak dicoba bawa ke Batara aja, Pak?"
Haga tersenyum, hatinya terasa sedikit teriris. Kebaikan Erik memang patut diacungi jempol, tapi kebetulan macam apa lagi ini? Seolah dermaga dan lautan memang hendak menghubungkan Ales dengan Bigel. Menghubungkan seorang bartender dengan kapal pesiar.
"Mana tau teman Pak Haga cocok, kayaknya Pak Bara pun enggak bakal masalah. Dia percaya sama Pak Haga. Bagus juga 'kan kalau punya bartender yang udah kita kenal."
"Haga!"
Seketika, Haga abai dengan ucapan Erik. Ia menoleh ke arah sumber suara yang meneriakkan namanya. Ales datang. Ia berlari dengan ransel di punggungnya, menghampiri Haga yang sedari tadi sudah menanti dengan perasaan tak enak di dalam hati. Lantas detik itu juga, Haga merasa lega, Ales datang memenuhi permintaannya.
"Les."
"S-sorry, huh ... sorry banget gue telat. Pagi buta gue berantem dulu sama Roy."
"Ha?"
"Si kunyuk itu ngelarang gue pergi. Dia takut gue dipecat gara-gara bolos kerja hari ini. Tapi tenang, gue udah calling manajer gue dan udah di-acc juga. Ada yang back-up gue dua hari ke depan. Sorry banget, gue bikin lo nunggu gara-gara drama enggak penting di rumah. Kita belum ketinggalan kapal, 'kan? Ayo, Ga, atau lo masih ada yang ditunggu lagi? Gue udah siap ketemu Bigel."
Sontak, dua pria di hadapan Ales terpaku sejenak. Nama putri dari Keluarga Ananta itu disebut dengan begitu gamblang oleh Ales. Haga rasanya ingin hilang dari bumi detik itu juga. Ia tahu, Erik bukan orang bodoh di sini.
"Bigel?" gumam Erik.
Sial!
"Eh? H-halo, salam kenal. Temannya Haga juga? Gue Ales."
Erik lantas melirik ke arah Haga, seolah bertanya siapa pria tinggi yang berani menyebut nama Bigel di sini.
"A-ah, iya. Pak Erik, ini Ales teman saya. Ales, ini Pak Erik, rekan kerja gue. Dia ...," Haga ragu-ragu mengatakannya. "Dia ... orang Batara."
Ales hening seketika. Orang Batara?
"Sebentar, Pak Haga. Apa maksudnya teman Pak Haga ini siap ketemu Bigel? Kalian tau Bigel di mana?"
Oh, tidak. Ales sontak merasa dirinya telah berbuat kesalahan.
"Ceritanya panjang, Pak. Kapal sebentar lagi berangkat, saya sama Ales pergi dulu. Tolong, jangan bahas tentang ini ke Bara atau siapapun Keluarga Ananta. Nanti saya beritahu detailnya, saya hubungi setelah saya sampai di sana."
"Tapi, Pak—"
"Tolong, Pak Erik."
Erik dirundung dilema. Ia baru saja mengetahui ada orang-orang yang berhubungan dengan Bigel yang tengah dicari keluarganya. Bukankah sebagai seorang yang setia kepada Keluarga Ananta, seharusnya ia langsung melaporkan informasi ini? Namun, entah kenapa ia tak bisa. Seolah ia ditarik paksa untuk berada di sisi Haga, dan hatinya berkata untuk tidak buka suara kepada siapapun tentang Haga yang mengetahui keberadaan Bigel.
"G-Ga ...."
"Ayo, Les. Pak Erik, saya percayain semuanya."
Lantas, Haga dan Ales berjalan meninggalkan Erik yang masih kebingungan. Tangannya gemetar memegang ponsel, memikirkan setengah mati apakah ia harus menghubungi Bara atau tidak. Tapi, begitu melihat Haga dan Ales yang berjalan tergesa menaiki kapal, entah kenapa ia yakin mereka tak memiliki maksud jahat.
"Argh, sialan! Ini apaan, sih?! Pak Haga selama ini tau Bigel di mana?! Gimana jadinya kalau Bara sampai tau hal ini?!"
.
.
to be continue ....
♡ Xadara Goe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top