54 | a good friend doing a good thing

"No, Haga. Gue memang enggak mau nerusin ayah. Gue mau hidup tenang, jadi florist, dan menikmati hidup gue tanpa ada beban berat yang gue pikul. Jadi jangan khawatir, hal ini udah jadi pembahasan lama gue sama ayah, dan beliau enggak masalah. Gue pun gapapa kalau emang Bara yang jadi penerus ayah, dia kompeten dan potensial untuk itu."

Haga tak habis pikir. Beginikah isi kepala dari seorang anak tunggal Adam Ananta? Jika Haga adalah ayah dari Bigel, seratus persen ia yakin, minimal akan menyentil dahi gadis ini agar sekiranya ia sadar ia telah membuat keputusan tak masuk akal. Membuang kesempatan menjadi orang paling disegani di Batara Group demi menjadi seorang florist? Dan, demi menikmati hidup tanpa ada beban? Yang Haga tahu, setiap kehidupan pasti akan diisi dengan beban, tapi nikmat dunia seperti jabatan tinggi ini bukan hal yang bisa didapatkan semua orang. Sekali lagi, jika Haga adalah ayah dari seorang Abigail Ananta, ia jelas akan menyentil dahinya. Dan kalau saja Abigail Ananta adalah laki-laki, ia mungkin akan menjitak kepalanya.

"Oh iya, berhubung lo mau pulang, gue boleh minta tolong?"

"Boleh, tapi sebentar, ini lo beneran kasih posisi itu ke Bara begitu aja?"

Bigel tersenyum, "Realistis, Haga. Dia jauh lebih pinter dari gue, lebih dewasa, dan lebih berpengalaman. Sementara gue cuma bocah yang tau bunga itu cantik."

Jawabannya masih tak menjawab keheranan Haga. Menurutnya, alasan-alasan yang dijadikan 'kekurangan diri' oleh Bigel masih bisa diperbaiki dan dikembangkan lagi. Masalah pintar, Bigel masih bisa dan sungguh mampu untuk menempuh pendidikan lebih lanjut. Pengalaman pun bisa ia pelajari dari keluarga-keluarganya sendiri, terutama sang ayah. Urusan dewasa, ini hal yang dibentuk oleh waktu. Akan ada waktunya Bigel menjadi lebih dewasa dan lebih bijak, bahkan mungkin bisa lebih dari Bara.

Bara sungguh pria beruntung. Ia sudah menang bahkan sebelum berperang. Batara Group ada di genggamannya, dan Haga baru mengetahui itu. Pula baru Haga sadari, bahwa Bigel sangat bermurah hati kepada orang yang telah menyakitinya. Gadis yang aneh.

"Tapi, Gel—"

"Gue minta tolong satu hal, Haga."

"Apa?"

"Kalau lo udah balik nanti, tolong lewat toko bunga gue dan fotoin ya, Ga. Gue mau tau aja keadaannya dari luar gimana. Udah enam bulan gue tinggal, gue mau tau keadaannya sekarang."

"Itu aja?"

"Yup. Sudah lebih dari cukup. Thanks a lot, ya."

"My pleasure. Ya udah kalau gitu gue prepare dulu, sekalian langsung ke dermaga deh gue, cek kapal."

Bigel mengangguk, dan Haga pun menutup perbincangan mereka dengan menepuk bahu Bigel dua kali. Entah untuk apa tepukan itu, tapi Bigel merasakan sebuah simpati di sana. Namun tak berlangsung lama, Haga langsung hilang dari pandangan dan Bigel kembali sendirian. Tak ada Haga, tak ada pula Bang Opik yang agendanya hari ini mengiringi turis, dan tak ada teman. Hanya ada suara kecil-kecil deru ombak di tepian yang sudah akrab di telinga. Ia lantas menghampirinya. Ia duduk di atas bebatuan, membiarkan kakinya dibelai air laut, ditemani oleh suara ombak dan burung-burung.

"Tobias ...." Ia tiba-tiba bergumam, menyebut nama itu dengan tatapan kosong ke arah lautan. Lalu, tiba-tiba ia menangis, hatinya terasa begitu sakit. Tak disangkanya nama indah itu mampu menyayat hati.

Sudah cukup lama ia berada di sini, dan ia masih tak memiliki alasan untuk kembali. Yang ada, malah semakin dimantapkan untuk tidak pulang dan menghadapi masalah keluarga ini.

Masalah ... mungkin hanya Bigel yang mendefinisikannya begitu. Baik Adam, Ambar, ataupun Bara dan Alin di rumah, sudahlah pasti menganggap pernikahan mereka adalah sebuah berkah. Dan memang sudah seharusnya begitu. Hanya saja, jelas berbeda bagi orang yang hatinya patah, berbeda bagi seseorang yang sedang menangis di hadapan lautan.

Dan ia tak sadar, seorang teman yang belum benar-benar meninggalkan villa, berdiri tak jauh di belakangnya dan mendengar ia menangis.

Suara tangis yang begitu perih yang pernah ia dengar. Hatinya ikut tersayat setiap mendengar isakannya. Tangannya ikut mengepal kuat, seolah ia bisa merasakan dendam dari teriakannya. Tapi ia hanya bisa berdiam di tempat, lantaran ia tahu, pasti gadis itu sedang tak ingin dilihat siapapun. Lantas sebelum perasaannya ikut semakin runyam, ia pergi meninggalkan villa menuju ke dermaga.

"Bos Haga!" Seseorang di dermaga menyapanya.

"Bang Opik."

"Kapal udah siap, Bos, berangkat jam sebelas!"

Haga mengangguk-angguk, ia masih punya lima menit untuk bicara sebelum ia meninggalkan pulau dan kembali ke rumah. Ia pun bergerak mendekati Bang Opik setelah memberikan tas bawaannya kepada anak buah kapal untuk disimpan.

"Gimana visitnya, Bos? Aman, 'kan?"

"Aman. Jaga villa jangan sampai ada complain, ya."

"Ah, santai aja itu. Biarpun rame, semua aman terkendali, Bos. Salam buat Bapak, ya!"

"Iya. By the way ... tolong jagain Bigel, Bang."

"Eh? Kenapa, Bos?"

"Enggak. Gue cuma takut dia kenapa-kenapa, atau nyakitin diri sendiri. Jadi, tolong jagain, ya. Maksud gue, sering-sering dilihat aja keadaannya."

Bang Opik diam, menyimak perintah Haga dengan serius. Ia tahu Haga tak bercanda, dan ia pun tahu Bigel keadaannya memprihatinkan. Sejak pelariannya ke pulau, sudah bukan lagi rahasia bahwa Bigel pernah menjalin asmara dengan kakaknya sendiri, dan berakhir dikhianati. Miris.

"Gue balik, mungkin cuma seminggu gue di rumah dan gue bakal ke sini lagi. Di hari itu, nanti gue usahain gue bawa Ales."

"Ales, Bos?"

"Iya, Ales. Jadi tolong jaga dan perhatiin Bigel sampai seminggu ke depan, sampai gue balik dan bawa Ales ke sini. Mana tau bocah itu bisa ngehibur Bigel."

"T-tapi, Bos, si Bigel 'kan lagi kabur. Nanti kalo si Ales datang malah—"

"Enggak ada salahnya dicoba. Mana tau Ales bisa jadi temen Bigel di sini. Gue cuma enggak mau Bigel sampe nekat ngelakuin hal-hal yang nggak kita duga, dan gue juga yang bakal kena karena dia ada villa gue." 

"A-ah, iya ...."

"Ya udah, gitu aja. Paham 'kan?"

Bang Opik mengangguk paham. Ia memang bisa diandalkan.

"Gue cabut kalau gitu. Jaga si Bigel baik-baik."

"Aman, Bos."

Lantas dengan begitu, Haga pergi meninggalkan pulau.

Sebenarnya, ia tak mau begitu peduli dengan Bigel. Namun, setelah melihatnya menangis, pikiran Haga mulai kacau balau. Ia memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi di villanya karena kegilaan Bigel. Ia tak mau nama villanya menjadi headline sebuah berita duka.

Membayangkan nama villanya digambarkan sebagai latar tempat orang mengakhiri hidup ... ah, tak bisa Haga bayangkan akan seperti apa nasib bisnisnya nanti.

Namun, di samping itu, hatinya yang lemah terhadap wanita juga merasa tak tega. Sehingga membawa ia pada keputusan untuk mencari 'obat' penyembuh luka dalamnya. Bigel terluka, dan sebagai seorang rekan bisnis keluarga, Haga merasa memiliki tanggungjawab untuk memberikan obat. Ales. Ia harus membawa Ales ke sini, apa pun yang terjadi.

.

.

to be continue ....

♡ Xadara Goe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top