53 | it has been six months, and she won't come home

ALES terus-terusan menghubunginya, kalimat itulah yang tak absen Bigel dengar dari seorang teman. Sudah sejak kepergiannya yang terakhir kali, ia masih belum membalas pesan-pesan singkat Ales atau mengangkat panggilan teleponnya. Ia masih ingin menyendiri, berdamai dengan dirinya sendiri, selagi berusaha memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya. Namun, seorang teman kerap kali memberitahu Bigel bahwa 'Ales mencarinya' setiap ia memiliki kesempatan untuk bertatap muka dengan Bigel. Orang yang baru-baru ini Bigel ketahui memiliki hubungan dengan Batara, termasuk kerja sama perusahaannya. Haga Sanders.

"Gue bilang lo baik-baik aja. Gue enggak kasih tau lokasi lo, tenang, Ales juga enggak bakal kepikiran lo kaburnya ke pulau. Siapa yang bakal sangka, anak Keluarga Ananta berbulan-bulan ada di sini. Dia pasti pikir lo udah ke luar negeri."

Bigel menarik senyum kecil, "Thanks."

"Anytime."

Sebenarnya, Bigel juga tak banyak bicara dengan pria bernama Haga ini. Ia tak pandai mencari topik, dan kelihatannya Haga pun sama, atau mungkin ia hanya tak tertarik saja bicara dengan Bigel. Namun, asumsi itu dipatahkan oleh Bang Opik yang juga menemani Bigel selama berada di Pulau. Katanya, Haga bersikap dingin begitu karena memiliki hati yang harus dijaga. Mantan pemain wanita itu sudah memiliki satu ratu yang dipujanya. Lantas Bigel mengerti, meski ia pun tak memiliki ketertarikan tersendiri kepada Haga, ia tetap mengerti maksudnya. Jadi, selama berada di pulau dan hidup di villa milik Haga, ia hanya bicara sepentingnya kepada pemilik tempat ini.

Mulanya, Bigel tidak tidur di sana. Ia hanya menyewa villa secara asal ketika mendarat di pulau tanpa persiapan. Kala itu, ia tak menghubungi Erik ketika membutuhkan kapal. Ia hanya beli sekadarnya dari agen travel online. Sesial-sialnya Bigel, tak pernah ia sangka ia akan menaiki kapal kayu tradisional seperti yang Ales dulu pernah bilang. Alhasil, Bigel turun dari kapal dengan langkah gontai akibat mabuk duduk di kursi belakang dan tak terkena angin laut, yang ada malah merasakan hawa panas dari mesin kapal. Bigel berjalan di dermaga Pulau Tidung sebisa-bisanya ia melangkah, mengambil jalur hanya dengan mengikuti gerombolan orang, hingga salah seorang pemilik villa menghampirinya ketika ia sedang berusaha menetralisir kepusingan di kepala. Tanpa basa basi, wanita paruh baya itu menawarkan penginapan dengan tarif murah, yang tanpa pertimbangan apa-apa Bigel terima lantaran ia butuh tempat untuk beristirahat. Ia juga ditawarkan untuk menyewa sepeda selama berada di pulau, dan lagi-lagi Bigel terima. Pikirnya, esok ia akan butuh untuk berkeliling cari makan. Namun, alih-alih menemukan makanan untuk sarapan, Bigel malah tanpa sengaja bertemu Bang Opik yang sedang memandu tiga orang turis lokal. Pertemuan itu terjadi ketika Bigel yang rem sepedanya tidak berfungsi dengan baik, nyaris menabrak salah seorang turis Bang Opik. Begitulah, awal yang membawa Bigel akhirnya tinggal sementara di villa milik Haga.

"Ales kayaknya khawatir sama lo."

Bigel tersenyum kecil, tapi tak ia gubris dugaan Haga itu. Ia malah mengalihkannya. "By the way, lo enggak ada kontak sama Bara tentang gue, 'kan?" tanyanya kepada si pemilik villa yang pagi ini sedang duduk dan merokok di saung villanya.

"Enggak."

Bigel menghela napas panjang. Entah lega, entah kecewa. Ia diam sejenak, mengisap rokok yang asapnya tertiup angin laut, hingga ia mendengar Haga kembali bersuara.

"Anaknya udah lahir."

Bigel sontak menoleh. Tangan yang menjepit rokok pun berhenti tepat di depan mulut, membeku seketika. Tak jadi mengisap rokoknya lagi.

"Tobias Putra Tanuwidjaja."

Bigel terlalu terpaku untuk sekadar bisa membuka mulut dan merespons berita ini. Berita yang seharusnya menjadi berita bahagia, tapi malah membuat jantung Bigel terasa jatuh begitu saja. Ia yang selama ini memblokir diri dari segala aktivitas sosial media keluarga, sungguh merasa seperti tersambar petir dahsyat ketika mendengar seuntai nama anggota baru di keluarganya.

Dan tak satupun dari mereka ada yang berusaha menghubungi Bigel untuk memberikan kabar ini. Tak satupun, tak melalui media apapun. Malah justru Haga, orang asing yang statusnya hanya partner bisnis keluarga, yang memberitahunya tentang ini, tentang si Tanuwidjaja kecil.

"Satu April. Gue kira kabar itu cuma April Mop, tapi ternyata bukan. Pak Adam enggak bercanda waktu nelfon bokap gue dan ngabarin kelahiran cucunya." Lalu Haga terdiam sejenak, memikirkan kembali kalimatnya barusan. "Sebentar, Tobias bisa dibilang cucu Pak Adam enggak, sih? Kan Bara cuma—"

"Anggap aja begitu," potong Bigel. Bibirnya bisa bicara seolah ia menerima, tapi ia yang setelah mengatakan hal itu langsung membuang pandangan ke arah hamparan lautan, sudah cukup bisa membuat Haga mengerti bahwa Bigel tak benar-benar bisa menerima kehadiran anak tak berdosa itu.

"Siang ini gue balik. Dan sore nanti, gue ke rumah lo. Izin, ya."

Untunglah kali ini, ucapan Haga berhasil membuat Bigel mendengkuskan tawa singkat. "Izin, katanya." Lalu ia bergeleng kepala, dan turut membuat kekehan kecil keluar dari bibir Haga.

Mereka berdua kembali berdiam. Haga dengan sebatang rokoknya yang sudah hampir habis, dan Bigel dengan pikirannya yang masih berantakan. Baginya, menerima Alin sebagai ipar saja sudah susah. Dan sekarang ia harus menerima kedatangan seorang anggota keluarga baru, seorang bayi, dari hasil hubungan orang yang ia cinta dengan orang yang ia percaya. Ini tak pernah mudah bagi Bigel.

"Ga."

"Hm?"

"Gue ... belum mau pulang."

Haga mengerti. "Gapapa, gue cuma mau kasih kabar. Enggak tersirat untuk nyuruh lo pulang. Lari sejauh yang lo bisa, Bigel. Jangan maksain diri buat balik dan maafin orang-orang yang jahat sama lo."

Sudahlah cukup, Bigel tak mau mendengar bahasan tentang Bara ataupun keluarganya lagi. Mengingat-ingat tentang apa yang terjadi hanya membuka luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Sejak awal, memang seharusnya ia tidak mengalihkan pembicaraan. Topik tentang Ales akan lebih mudah untuk dibahas dibandingkan Bara. Ia lantas mengembalikan pembahasan Haga sebelumnya. Hatinya tak akan sanggup jika terus membicarakan Bara.

"Soal Ales, gimana?"

"Ales? Tergantung."

"Huh?"

"Karir? Hubungan percintaan? Hobi? Kegiatan sehari-hari? Suasana hati? 'Ales gimana' itu tergantung dari bagian mana yang mau lo tau, Bigel."

Bigel tertawa renyah, sedikit terdengar lebih tulus suara tawanya dibandingkan dengan dengkusan tawa beberapa menit lalu. Ia baru tahu, Haga cukup pandai menghibur. Caranya berbicara bagaikan humor tersendiri bagi Bigel. Aneh melihat pria yang semula begitu dingin kepadanya, kini bisa bicara dengan percaya diri dan bahkan sedikit berusaha melucu. Ia memang tak seperti Ales di mata Bigel. Haga tak lebih pandai dalam menghibur, dan tak lebih bodoh tingkahnya daripada Ales, tapi ia tetap bisa dikatakan lumayan.

"Oke, mulai dari karir." Bigel memilih, lalu membakar sebatang rokoknya lagi untuk mengiringi cerita pagi bersama Haga.

"Masih kerja di Nyx dan masih jadi bartender. Kali ini full-time, udah bukan part-time."

Bigel mengangguk-angguk. "Hobi?"

"Masih suka godain customer di bar. Tujuannya? Tips. Yap, hobi yang membawa uang."

Bigel tertawa lagi, ia tak pernah tahu Ales suka menggoda pelanggan Nyx Bar, tapi mendengarnya pun membuat ia tak begitu heran. Ales pasti memanfaatkan ketampanannya.

"Oke, terus kalau suasana hati?"

"Hmmmm," Haga berpikir sejenak, "Ales bukan orang yang pinter nyembunyiin mood. Dia lumayan ekspresif. Belakangan ini yang gue lihat, dia agak murung. Ya walaupun tetep senyum kalau ada customer, gue tau senyumnya agak beda. Mukanya enggak bisa bohong."

Pembicaraan agaknya mendekati ranah serius. Bigel mendengarkan dengan seksama, dan Haga menjelaskan tanpa nada bercanda. Keduanya pun sama-sama mengisap rokok masing-masing sebelum melanjutkan percakapannya.

"Mungkin karena dia mikirin lo. Khawatir sama lo, Gel."

"Dasar aneh."

Seketika, Haga melayangkan tatapan bingung kepada Bigel, ia tak mengerti di mana letak keanehan temannya. Namun tampaknya, Bigel paham dan berinisiatif menjelaskan.

"Kita kenal cuma sepuluh hari, Ga. Ya mungkin ada hari di luar kontrak yang kita itu ketemu, tapi enggak sampai satu bulan gue kenal Ales. Aneh dia bisa khawatir sama stranger kayak gue."

Mendengar alasannya, Haga pun tertawa tipis. Kalau begini jawaban Bigel, Haga paham dan Haga bisa merasakan hal yang sama.

"Gue juga bingung, manusia pecinta uang kayak dia akhirnya bisa tutup boyfriend rent juga."

"Lho? Ales berhenti?!" Ini kabar yang jauh lebih mengejutkan daripada kelahiran Tobias. 

Haga mengangguk membenarkan. "Lo klien terakhirnya yang berhasil. Setelah itu, masih dia coba sekali dua kali, tapi kencan gagal, dan dana di-refund. At the end, dia berhenti."

"Wah."

"Yap. Wah."

Keduanya pun hening sejenak, mereka tak habis pikir dengan Ales yang mulai berbeda dari yang sama-sama mereka kenal. Bigel mengisap rokoknya, sembari berpikir tentang apa yang terjadi dengan prinsip Ales sebelumnya mengenai uang. Aneh bagi Bigel kala mengetahui bahwa Ales menutup salah satu sumber pendapatannya ketika pria itu sangat menyukai uang.

"Ales berubah, Bigel. Dan gue rasa, nama lo punya andil yang besar atas perubahan Ales."

Bigel tertawa remeh. Meremehkan Haga yang di mata Bigel tampak terlalu percaya dengan cinta. Tipikal pria yang mengait-ngaitkan segala hal dengan perasaan, bukan dengan logika.

"Ales berubah karena dia ingin berubah, Haga. Dia mendewasakan dirinya sendiri, dan itu hal yang bagus. Lagipula, konotasi boyfriend rent itu agak enggak elok rasanya kalau terus melekat di diri dia sampai bertahun-tahun ke depan. Ini langkah yang bagus kalau emang dia berhenti. Udah waktunya untuk dia serius dan enggak main-main sama kehidupannya. Dia harus kerja, right? Dan usaha dia harus ekstra karena dia enggak punya privilege kayak yang kita punya, Ga. So, udah bukan waktunya bagi dia untuk main-main. Berhenti jadi boyfriend rent adalah pilihan yang tepat. Nice, Ales." Bigel tersenyum di ujung kalimatnya. 

"Bangga sama dia, Gel?" 

"Yah, untuk ukuran orang yang kenal dia selama kurang lebih dua minggu, gue bangga." 

Haga tersenyum, dan Bigel pun sama. Keduanya tak ada yang kecewa dengan keputusan Ales untuk berhenti menyewakan diri. Bigel bangga, senang dengan pendewasaan diri Ales yang selama ini terlihat begitu kekanak-kanakkan di matanya. Sementara Haga, pria itu senang dengan apapun keputusan temannya asalkan tak merugikan. Merugikan dalam artian seperti menjalin kesepakatan dengan Bara, contohnya. Pikiran itu pun membuat Haga tiba-tiba teringat akan sesuatu. 

"Cruise Batara berlayar akhir tahun ini, Gel, kemungkinan di malam tahun baru. Dan gue baru inget, Ales kayaknya bakal apply ke sana."

"Ke Batara?" 

Haga mengangguk, "Gue sempat ngobrol sama dia di Nyx, dan katanya dia bakal apply jadi junior bartender di sana. Kuliah dia selesai tahun ini, dan dia bakal ikut pelatihan kru kapal pesiar."

"J-jadi ...?" 

"Jadi, Ales udah mulai bergerak maju. Lo kapan, Gel?"

Bigel lantas terdiam. 

"Dengar, gue emang enggak maksa lo buat pulang, tapi gue baru sadar satu hal. Keberhasilan Bara di proyek ini bakal buka kesempatan lebar untuk dia jadi penerus Pak Adam, penerus bokap lo sendiri. Coba buka mata dan pikiran lo lebar-lebar, kapan lo bakal manfaatin privilege lo, Gel? Lo biarin tahta lo berpotensi dicuri orang lain?"

Untuk sementara, Bigel tak bisa menyanggahnya. Sama sekali. Lantaran tak ada sedikit pun kesalahan dari kata-kata Haga barusan. Semuanya, benar. 

"Gel ...."

"Ya?"

"Tahta lo berpotensi dicuri orang lain," Haga mengulang kata-katanya.

"Dia bukan orang lain." 

Haga lantas menghela napas panjang. "Lo secinta itu sama Bara sampai-sampai biarin dia jadiin lo anak tangga buat ke puncak?"

Dan benarlah dugaan Bigel, bahwa Haga memang tipikal pria yang akan mengait-ngaitkan segala hal dengan perasaan. Pria yang terlalu percaya cinta. Menjawab pertanyaan Haga, Bigel tersenyum tipis. Hanya sebuah senyuman, yang bahkan tak Haga mengerti apa artinya. Mengapa Bigel tersenyum ketika Haga berusaha mengeluarkan Bigel dari kebodohannya dengan berdiam di pengasingan ini?

.

.

to be continue... 

- Xadara Goe -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top