52 | they're tired
MUNGKIN, sekadar menaruh harap akan kehadiran Bigel di sisinya adalah sebuah hal yang terlalu mewah untuk Ales. Ia tak benar-benar mengerti, apa arti dari pelukan yang terakhir kali menghangatkan tubuhnya di samping bar. Lantaran setelah itu, Bigel pergi. Lagi.
Dan Ales kembali sendiri. Untuk satu hari, satu minggu, satu bulan, hingga setengah tahun ... Ales sendirian.
Pernah ia mencoba untuk kembali membuka jasa sewa pacar, mengikuti saran dari Roy yang lelah melihatnya berubah. Pernah juga ia mencoba untuk mencari kekasih sungguhan, atau menggoda gadis-gadis cantik di bar. Namun, semua itu tak bisa membuat Ales lupa dengan Bigel semudah membalikkan telapak tangan. Jangan bilang Ales tak berusaha menghubungi atau mencari. Semua itu sudah ia lakukan, ia sudah melakukan segala hal untuk dapat bertemu lagi dengan Bigel meski hanya untuk memulai hubungan sebagai teman. Ales bahkan bergerak keluar dari batas keberaniannya. Ia tak hanya sekadar mencari lewat Elio atau bolak-balik toko, tapi ia juga menghubungi Bara dan Alin yang sesungguhnya tak berani ia dekati. Ales takut Bigel marah suatu saat nanti jika mengetahui ia berhubungan dengan Bara dan Alin. Ales juga takut Bara akan meracuninya dengan uang sehingga pertahanannya akan goyang. Namun, siapa peduli, Ales menerobos segala ketakutannya demi mengetahui keberadaan Bigel saat ini. Tapi sayang, dua orang yang sudah berhasil melancarkan pernikahan mereka di atas penderitaan Bigel itu tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Mereka juga tak tahu di mana Bigel, mereka tak tahu ke mana perginya gadis yang tak menghadiri acara pernikahan mereka.
Elio pernah mengatakan, bahwa sesekali ia datang ke toko bunga untuk mengecek apakah Bigel sudah pulang atau masih dalam pelarian. Dan di saat-saat itu juga ia tak pernah mendapati Bigel di tokonya sendiri. Fleur Teapot masih tutup, dan mungkin bunga-bunga di dalam sana sudah mati terbengkalai. Hanya yang ada di luar yang tampak masih segar karena rutin ia sirami, dan Ales juga melakukan hal yang sama ketika Elio tak ada. Hanya bunga-bunga dan tanaman di luar yang memberikan kesan bahwa toko itu masih hidup. Sisanya, semua terlihat mati. Lampu di dalam tak menyala, mereka juga tak tahu bagaimana nasib bunga-bunga di dalam sana. Karena hingga detik ini, Bigel belum juga kembali. Elio mulai merasa tak ada gunanya duduk di teras toko bunga ini nyaris setiap hari.
"Kak Ales."
"Hm?"
"Kayaknya, udah waktunya buat Kak Ales move on deh."
Ales berada di sampingnya. Duduk diam, merokok di depan Fleur Teapot, mengistirahatkan diri setelah membersihkan kaca toko bunga itu di sisi luar. Toko mati yang berusaha ia berikan kesan hidup setiap hari.
"Udah berapa lama Kak Bigel pergi? Lima bulan? Enam bulan? Coba aku hitung, Kak Ales ketemu Kak Bigel dari bulan Oktober. Oke, berarti ... November, Desember, Januari, Februari, Maret, April." Elio melihat jari-jari tangannya yang ia gunakan untuk menghitung bulan, "NAH! April! Enam bulan, Kak. Udah enam bulan Kak Bigel pergi. Tanpa kabar. Tanpa diketahui orang-orang. Pak Adam dan Bu Ambar aja udah mulai rela karena menganggap Kak Bigel udah cukup dewasa untuk hidup sendirian. Kak Ales kapan? Kak Ales kapan relain Kak Bigel pergi?"
"Dari mana lo yakin mereka udah relain Bigel pergi?" Ada nada letih dalam nada bicara Ales.
Elio menatap Ales teduh, ia menatap Ales yang bahkan hanya memberikan tatapan kosong ke arah pot bunga di sekitar mereka sekali mengisap rokoknya.
"Mereka belum rela, Elio, mereka cuma kehabisan cara."
Elio mendengarkan, mungkin Ales tak salah mengatakan hal itu. Mungkin Ales benar, dan Elio yang hanya berpikiran sempit.
"Kayak gue. Gue juga kehabisan cara."
"Les, udahlah."
Hari ini, tak hanya mereka berdua, tapi Roy juga ikut pergi menemani dua orang yang paling menanti-nanti kembalinya Bigel ke toko bunga ini. Roy yang mulai mengerti perasaan mereka, tapi juga Roy yang lelah menghadapi kegalauan temannya.
"Lupain Bigel sih."
"Lo kira gue enggak coba?"
"Kak Ales ...."
"Gue coba segala cara, Roy, tapi lo yang enggak ngerti-ngerti juga."
"Lo yang enggak mau beranjak, Les. Jangan salahin segala cara yang gue saranin ke lo. Semua juga enggak bakal berdampak apa-apa kalau lo-nya sendiri enggak mau bangkit.
Bigel pergi, itu keputusannya. Dan enggak ada satu klausul pun di kontrak lo, atau di hubungan-enggak-jelas lo sama Bigel, yang menyebutkan bahwa lo harus nunggu dia pulang. Enggak, Les. Enggak ada. Lo yang milih begini sendiri."
Memang benar yang dikatakan Roy secara gamblang tanpa keraguan. Ales yang memilih untuk menjadi seperti ini. Ia membiarkan perasaannya terus menjalar, untuk sebuah hubungan yang bahkan tak memiliki komunikasi sama sekali. Hubungan yang di luar nalar Roy untuk bisa dimengerti. Entah apa kurangnya gadis-gadis yang ia perkenalkan kepada Ales, tak satupun dari mereka yang bisa membuat Ales lupa akan Bigel.
"Ya udah, oke, gue coba ngertiin lo. Sekarang, berhubung semua saran dan cara dari gue gagal, jadi lo masih mau cari Bigel?"
Ales diam saja, tak menjawab Roy dan memilih untuk mengisap rokoknya.
"Kemarin katanya mau coba tanya temen lo si Haga, udah belum?"
"Udah."
"Apa katanya?"
"Jangan khawatirin Bigel, percaya sama gue, dia baik-baik aja. Gitu."
"Nah! Itu dia! Gue percaya sama si Haga, Bigel pasti baik-baik aja, Les. Lo yang justru enggak baik-baik aja. Lo mending fokus sama diri lo. Mana tau Bigel di luar sana juga lagi fokus nyembuhin diri sendiri. Enggak ada salahnya lo move on, fokus selesain kuliah yang tinggal sedikit lagi, habis itu lo bisa mulai kejar cita-cita lo buat berlayar. Belum pupus 'kan tuh harapan kerja di kapal pesiar?"
Elio mengangguk-angguk setuju, tak sedikit pun ia bertolak belakang pendapatnya dengan Roy. Karena kalau boleh jujur, ia juga lelah menemani Ales begini meskipun ia sama merasa kehilangannya seperti Ales. Tak ada gunanya menanti seseorang yang bahkan tak menjanjikan kata pulang.
"Kemarin aku lihat poster di mading CDC, kayaknya kapal Batara perdana berlayar awal tahun depan, Kak. Dan sekarang mereka lagi open recruitment internal buat anak-anak Batara. Kak Ales enggak mau fokus kuliah aja biar lulus cepat dan bisa apply buat jadi kru kapal Batara?"
"Tuh, Les, apa gue bilang. Elio aja sependapat. Lo sih selesai kelas langsung pulang aja, orang mah mampir-mampir ke CDC, lihat mading biar mata lo kebuka lebar dan lo sadar kalau lo sekarang mulai tertinggal, Les. Karena anak-anak kelas udah pada mulai gercep kejar skripsi biar lulus tahun ini dan ikut jadi kru kapal Batara. Lo enggak mau coba? 'Kan gue udah pernah bilang, enggak ada salahnya nyoba dari kapal lokal dulu."
"Setuju sama Kak Roy. Malah ya, siapa tau dengan kerja di sana Kak Ales bisa ketemu Kak Bigel lagi. 'Kan kapalnya punya Batara, Batara punya keluarga Kak Bigel. Daripada setiap hari ke sini dan cuma siramin bunga yang yah ... beberapa juga ada yang layu, mending Kak Ales ambil langkah lain enggak sih?"
"Betul. Kalau enggak bisa ketemu di sini, kenapa enggak cari di tempat lain? Iya, enggak, El?"
Elio mengangguk. "Super duper mega setujuuuu!!!"
"Gue dukung kalau lo emang mau berlayar, Les."
"Aku juga! Aku dukung! Dan kalau bisa, aku mau jadi orang pertama yang dilayani Kak Ales di tengah laut!"
"Nah kalau itu, gue enggak ikut-ikutan deh, ya. Bukannya apa, lo 'kan tau gue mabok laut, Les. Tapi tenang, gue tetep dan pasti dukung lo berlayar. Khawatir soal Ocong? Ah, santai aja, gue rawat sepenuh hati seperti anak sendiri, Les."
"Eh? Kayak pernah dengar ya kata-kata itu?"
Roy terkikik, memanglah benar ia mengikuti iklan kecap yang melegenda di televisi. Elio saja yang lamban memikirkan dari mana Roy dapat kata-kata itu. Ah, tapi itu tidak penting sekarang. Yang terpenting, Ales sudah mulai menarik senyum kecil, melihat bagaimana dua temannya berusaha mengeluarkan ia dari toko mati yang berusaha ia hidupkan kembali.
"Ah, enggak taulah! Aku kayak pernah dengar tapi aku lupa!" oceh Elio.
"Lagian ngapain dipikirin sih, El? Udah sana, tuh cabutin bunga yang layu, kita buang habis itu kita pulang. Udah sore, nih. Laper. Kita mau makan malam apa?"
"Ah, aku melulu! Kak Roy lah gantian! Aku udah siramin mereka!"
"Dih? Enggak ada urusan. Sorry ya, gue bukan pegawai di sini."
"Ih, astaga! Kak Ales, lihat dia, Kak! Lihat! Itu temannya malas-malasan di sini sementara kita capek kerja melulu tanpa digaji!"
Roy berdecih setelah membakar sebatang rokoknya dan menyelonjorkan kaki ke kursi kosong di hadapannya. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, dan menoleh ke arah Ales di sebelahnya. "See? Junior lo udah mulai menggerutu soal 'capek' dan 'gaji'. Les ... Les ... mau sampai kapan lo begini? Gue tau lo juga sama capeknya kayak Elio, tapi lo-nya aja rada-rada ... bego."
"Eh! Aku tulus ya! Enak aja bilang aku menggerutu!" Elio menyela obrolan mereka, seketika menghentikan Ales yang hendak protes tak terima karena dirinya disebut bodoh oleh Roy.
"Itu apa?"
"Apa?"
"Menggerutu."
"Enggak, Kak Roy!"
"Menggerutu."
"Enggak!"
"Menggerutu. Itu buktinya marah-marah aja."
"Aku enggak marah!"
"Kata orang yang ngejawabnya pakai nada tinggi."
"Aku enggak marah, Kak Roy." Elio menurunkan nada bicaranya.
"Ya, ya, terserah. Ya udah sana cabutin bunga yang layu. Mau pulang enggak sih?"
"Ih! Kok aku lagi sih?!"
Dan begitulah seterusnya. Ales memijat pelipis yang sakit mendengarkan pertikaian tak berbobot dari Roy dan Elio. Namun di tengah-tengah itu, Ales memikirkan segala ucapan mereka berdua tentang meninggalkan toko ini dan memulai lembar baru lagi. Mencari Bigel dengan cara lain. Dengan mendaftar sebagai kru di kapal Batara, dalam harap laut akan mempertemukan mereka. Entah akan berhasil atau tidak, tapi Ales rasa, tak ada salahnya untuk mencoba. Ia tak akan tahu bagaimana hasilnya jika ia belum mengerahkan segala cara 'kan?
"Ah, Elio kenapa, sih?! Marah-marah aja! Sana cabutin bunga!"
"Kak Roy yang ngajak ribut aja! Udah dibilang aku enggak menggerutu! Aku itu tulus bantuin Kak Ales! Emang dikira Kak Ales doang yang sayang sama Kak Bigel?! Aku juga sayang!"
"Heeeeeh! Udah! Apaan, sih?" Ayolah, telinga Ales juga bisa merasa pengang.
"Ah, Kak Ales, itu Kak Roy-nya lho, bukan aku!"
"Bukan gue, Les, lo sendiri punya kuping ya, tapir. Lo denger 'kan siapa yang marah-marah duluan?"
"Ya udah, gue. Udah, stop. Bukan lo, bukan Elio, tapi gue. Oke? Oke. Sekarang, buruan Elio cabutin bunga, habis itu kita pulang. Gue capek, laper juga."
"HEUH?! KAK ALES, KOK AKU SIH?!"
"Sama Roy. Dibantuin Roy." Lantas Ales beralih melirik temannya yang sedang santai merokok. "Bangun, pemalas. Bantuin Elio, habis itu kita makan gultik, gue yang bayar."
Mendengar makanan, gratis pula, mata Roy langsung berbinar terang, "ASLI LO, LES?"
"Iya, bajingan. Habis itu sekalian ...."
"Sekalian ... apa?"
"Lewatin Grha Batara."
Roy dan Elio lantas saling bertukar tatap. Mereka sama-sama bingung, tak ada yang tahu apa maksud Ales melakukan hal itu. Padahal kalau dari titik mereka sekarang yang mana adalah Fleur Teapot, pergi ke Gultik Blok M tak mesti lewat Grha Batara.
Namun Ales dengan inisiatifnya menjawab pertanyaan di kepala mereka.
"Mau lewat aja, siapa tau ada Bos Bi lewat juga. Hehe."
"Najis." Roy lantas bangkit dari kursi, mulai mendekati pot dan mencabuti bunga yang layu. "Gayanya kayak lagi ngerjar mantan buat balikan. Padahal mah bukan siapa-siapa juga, El."
"Setuju sih." Elio yang semula berkoar-koar tentang move-on kepada Ales, dan memberikan semangat untuk memulai kehidupan baru dalam harap bisa bertemu Bigel lagi di kemudian hari, kini mulai meragukan sarannya sendiri. Melihat Ales kembali menjadi seorang budak cinta, selalu berhasil membuat Elio merinding.
Sementara itu, Ales sendiri malah tertawa melihat dua temannya bergerak menjauh dan langsung bekerja mencabuti bunga yang layu. Tenang, ia masih bisa tertawa. Dalam enam bulan terakhir pun Ales tidak hidup dalam keterpurukan, hidupnya berjalan dengan biasa hanya saja cenderung datar. Namun, bukan berarti Ales kehilangan senyumannya secara total. Ia masih bisa tertawa, ia masih bisa becanda, meski tak jarang di setiap kebahagiaan kecilnya ia selalu terbayang-bayang wajah Bigel yang juga tertawa ceria. Sesungguhnya hal itulah yang kerap mengganggu keseharian Ales. Ia berada dalam bayang-bayang senyum dan tawa mantan kliennya, Abigail Ananta. Ales tak dapat memastikan apakah ia benar jatuh cinta atau tidak, tapi satu yang pasti, ia merindukan gadis yang kerap ia panggil Bos Bi.
Jika ada kesempatan bahkan di kehidupan yang lain, Ales selalu berharap semoga ia dapat dipertemukan kembali. Kapanpun itu, di manapun itu, tak peduli meski nanti ia sudah tak lagi muda atau Bigel mungkin sudah bersama yang lain, ia hanya ingin bertemu dan saling menyapa lagi. Atau setidaknya, ia bisa sekadar melihat wajahnya. Walau mungkin hanya akan ada raut amarah dari wajah kecilnya, Ales tak masalah. Toh, begitupun Bigel tetap cantik seperti biasanya. Ia hanya ingin bertemu lagi, itu saja. Tapi sepertinya, permintaan Ales yang satu ini begitu sulit untuk dikabulkan. Entah karena Ales yang tak tahu diri, atau memang benar permintaan itu terlalu mewah untuk diberikan.
Ales tak tahu. Tapi, jika ada cara lain untuk mengusahakan pertemuannya lagi dengan Bigel, ia akan melakukannya tanpa keraguan. Seperti saran yang baru hari ini ia dengar, fokus menyelesaikan kuliah dan melamar ke Batara, Ales akan melakukannya. Ia akan melakukan apapun yang membawanya pada kesempatan untuk bertemu lagi dengan seorang Abigail Ananta.
to be continue ....
- Xadara Goe -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top