51 | no specific reason
Sepulangnya dari kampus, Roy mendatangi Ales di Nyx Bar. Tentu temannya itu sedang bekerja, kembali ke pengaturan default-nya. Alasan ia datang ke Nyx bukan karena ingin menjemput Ales, tentu saja tidak, untuk apa menjemput orang yang baru memulai shift. Namun, bukan juga untuk minum-minum di jam lima sore. Bukan untuk meminta kunci rumah yang terbawa Ales, atau menagih uang laundry yang baru akan diantar malam ini. Bukan itu. Bukan itu alasan Roy belakangan ini selalu datang ke Nyx sepulang dari kampus. Bukan juga karena ia perhatian dengan Ales yang dalam seminggu terakhir jelas sekali terlihat galau karena ditinggal mantan kekasih (palsu) nya. Roy berada di Nyx Bar, duduk di bar stool dan menghadap Ales yang berdiri di belakang meja bar dengan wajah datar, untuk menyetor sesuatu.
"Nah, ini paket yang datang hari ini."
Ales menerima paket itu, meski tertulis jelas bukan untuk dirinya. Alamatnya pun bukan alamat rumahnya, bukan juga alamat kampus, ataupun alamat Nyx. Paket yang jelas milik orang lain.
"Thanks."
Roy mengangguk, walau sebenarnya ia malas melakukan itu. "Lo mau sampai kapan, Les?"
"Apa?"
"Ya maksud gue, kita enggak tau kapan Bigel pulang. Lo juga udah enggak ada kontak sama dia, mau sampe kapan lo bolos kelas? Mentang-mentang cuma sisa empat matkul, jangan gitulah, jatah absen lo udah nyaris abis. Ngapain sih ke toko setiap hari?"
Telinga Ales sudah ramah mendengar ocehan Roy. Sudah hampir setiap hari Roy mengocehinya begitu. Padahal, terkait absen yang disebutkan, Ales tak terlalu khawatir. Ia yakin Roy tak akan tega membiarkan dirinya tercatat alpa, Roy pasti mengisi daftar kehadirannya. Lagipula, dosen di sana tak pernah mengabsen satu persatu mahasiswanya yang banyak itu. Ini cuma akal-akalan Roy agar Ales kembali ke kelas, berangkat dan pulang kuliah bersama, karena Roy tak punya teman lagi selain dirinya.
"Bilang aja lo sepi enggak ada gue."
"Tai. Gue serius, lo mau sampe kapan ke tokonya Bigel setiap hari? Itu bunga enggak bakal mati juga, Les, kurang kerjaan amat lo nyiremin bunga? Heran gue."
"Yang di dalam enggak mati, 'kan sama Elio dimasukin ke chiller. Yang di luar? Matilah nanti, kasian. Harus gue kasih minum."
Roy benar-benar tak habis pikir. Dibanding menghadiri kelas, Ales lebih memilih pergi menyiram bunga setiap hari. Tingkah Ales yang satu ini, sungguh tidak bisa Roy pahami.
"Mau jungkir balik juga, tindakan lo enggak bakal bikin Bigel ngelirik lo, Les. Lo sendiri yang bilang lo sama dia terlalu beda. Sekarang gue bingung, lo ini sebenarnya ngapain, dan berharap apa?"
Ales diam sejenak. "Enggak berharap apa-apa."
"Ya terus lo ngapain? Sorry nih ya, gue juga capek tiap pulang kampus mampir ke itu toko cuma buat ngecek ada paket yang dateng apa enggak. Kemarin bunga dateng, gue bawa-bawa ke sini naik Ocong, terus lo suruh gue bawa balik ke rumah dan masukin kulkas." Roy mengatur napas sejenak, "asal lo tau, Ales, kulkas kita sekarang isinya bunga!"
"Seenggaknya lumayan lo sekarang bisa bawa Ocong tiap hari, 'kan."
"Enggak ada untungnya, Alessandro Tedja. Astaga Tuhan, harus dengan bahasa apa gue jelasin maksud gue."
Ales terkekeh saja, ia tahu maksud Roy, tentu. Tapi ia hanya tak ingin meladeni Roy dengan serius di sini. Pertama, ia sedang bekerja. Kedua, ia memang tak ingin membahasnya. Namun Roy tampaknya masih gemas terhadap Ales.
"Gini ya, tapir, thanks banget nih gue dipinjemin Ocong setiap hari. Tapi, setiap hari juga gue pagi-pagi nganter lo ke toko sebelum ngampus, setiap hari juga gue pulang ke toko dulu sebelum ke rumah. Ah, itupun boro-boro langsung ke rumah, gue harus ke sini dulu nyamperin lo buat kasih paket apa pun itu. Monyet, capek gue."
Ales tau Roy serius dengan kata-katanya, meski nada bicaranya terdengar kesal-kesal bercanda. Namun meski begitu, meski ia tau, ia tetap menanggapi Roy dengan tertawa. Karena sungguh tak ada gunanya meladeni Roy di sini, apalagi kalau ia nanti sampai hilang kendali dan memicu pertengkaran di bar. Ales tak mau kehilangan pekerjaannya.
"Tawa aja lo."
"Hahaha, sorry-sorry. Ya udah, mau minum apa? Soju?"
"Soju, Soju! Balik! Gue mau balik! Laundry dateng hari ini."
"Hahahaha, okey. Kemarin udah gue bayar itu pas gue taro."
"Ya iyalah. Harus. Kemaren-kemaren gue yang bayar, babi."
Roy beranjak dari bar stool masih dengan emosinya yang begitu kesal kepada Ales. Ia sudah berbalik, melangkah menuju pintu, dan ingin segera pulang lalu merebahkan diri di kasur, tapi Ales tiba-tiba menahan langkahnya dengan satu panggilan.
"Oy!"
Dengan menghela napas sabar, Roy menoleh dan meladeni Ales. "Ha?"
"Nanti malam lo masak apa? Gue break nanti mau makan di rumah."
Roy berdecih mendengar pertanyaan teman yang tak tahu diri ini. "Menurut lo gue punya stok makanan di kulkas? Oh, ada, gimana kalau kita makan sup bunga mawar dengan irisan sedap malam dan ditambah bumbu melati?"
Ales bergeming, satu-satunya yang bergerak hanya matanya yang berkedip bingung.
"Cepat pulang, Sayangku, kita makan bunga malam ini. Okey?"
Ales mutlak ketakutan. Tak terbayang olehnya menyantap makanan di tengah malam dengan menu seperti itu. Boro-boro bisa makan, Ales malah terbayang Roy sedang menyiapkan makam. Segitu kesalnya kah Roy terhadap dirinya? Ales berpikir sembari terus memandang lurus ke arah Roy yang mulai kembali melangkah meninggalkan Nyx Bar. Tapi setidaknya sekarang Ales tahu, bahwa Roy serius tidak punya makanan apa-apa untuk dimasak malam nanti. Sial, ia harus beli di luar lagi. Pemborosan.
"Paket siapa, Les?"
Suara rekan kerjanya, Leon, mengalihkan pandangan Ales seketika.
"Ini? Punya orang. Bukan punya lo, punya lo belum dateng. Nanti gue kabarin kalau ada."
"Oh, kirain. Ya udah, table 21 di atas mau order. Back-up dulu, Les, waiter belum ada yang dateng."
"Siap."
Begitulah Ales setiap hari dalam waktu belakangan ini. Paginya selalu pergi ke toko bunga yang tutup, menghabiskan hari di sana hingga sore dan bertemu dengan jam kerjanya. Kalau sudah jam tiga lewat sedikit saja, Ales buru-buru meninggalkan Fleur Teapot dan pergi ke Nyx. Berhubung tak ada Ocong, karena dibawa oleh Roy ke kampus, maka Ales merelakan beberapa rupiah uangnya untuk memesan ojek online. Iya, begitulah Ales sekarang.
Motifnya masih tak jelas, bahkan dirinya sendiri tak mengerti mengapa sepasang kaki ini membawanya ke Fleur Teapot setiap pagi. Seolah ia memiliki tanggungjawab di sana, padahal sebenarnya tak ada juga yang perlu dilakukan.
Ales hanya menghabiskan waktu di toko bunga, bar, dan rumah. Dalam seminggu terakhir, sosial medianya masih tenang dan sunyi lantaran ia belum lagi membuka jasa sewa kekasih. Ales belum siap. Bigel masih terlalu membekas, rasanya begitu.
Selagi kembali mempersiapkan diri untuk disewa gadis-gadis lain, Ales mengalihkan pikiran dengan menjalani extra shift di Nyx Bar, sekaligus menebus hari-hari bolosnya karena kencan dengan Bigel. Jadi, sore-sore begini dia sudah bekerja. Masuk jam empat sore, dan seharusnya shiftnya selesai di jam 12 malam. Namun, berhubung ia menjalani extra shift, jam kerja Ales bertambah hingga dini hari. Melelahkan memang, tapi Ales sendiri yang memilih begitu.
Untungnya, dia cukup fit untuk bekerja seperti ini. Berkat banyak tidur di toko bunga saat pagi menjelang siang, Ales masih segar bugar di jam sebelas malam. Persis seperti sekarang. Ia masih dengan senyumannya menyapa para tamu yang datang dan duduk di bar stool, di hadapannya langsung. Berbincang sembari bersenang-senang dengan minuman. Ales kembali ke kehidupannya di bar.
Semuanya berjalan dengan baik-baik saja bagi Ales. Meski kadang ia harus terpikirkan tentang Bigel dan kepergiannya yang tak jelas ke mana. Nyatanya, mau disangkal bagaimanapun, Ales tak bisa mengusir Bigel dari pikiran. Tak peduli meski mereka tak lagi bertukar sapa, Ales tetap terperangkap dalam ucapan selamat tinggal dari mantan kekasih (palsu) nya.
"Hello?"
"Melamun kayaknya."
"Iya, ya? Hello? Mas? Aku mau satu order dong."
"Melamun dia, Sis."
"Ck! Mas!"
"Mas Ales!"
Ales terperanjat. "E-eh, iya, kenapa?"
"Ih, aku yang harusnya nanya. Mas Ales ngelamun aja, kenapa?"
Saat ini, dua wanita muda duduk di hadapan Ales. Di atas bar stool, tepat di depan meja bar. Ales tak mengenal keduanya, atau mungkin pernah berkenalan, tapi jujur saja ia lupa dan tak mengenali sama sekali dua wajah di hadapannya saat ini. Atau kemungkinan lainnya sesimpel Ales itu terkenal di Nyx Bar, jadi tak jarang orang mengetahui namanya. Ales terkenal karena tampan, dan dia tau akan hal itu. Lantas, menanggapi si gadis-gadis, Ales menarik senyum paling memesona nan mampu menggoda siapapun yang melihatnya.
"I'm fine, My Lady. Thank you for—"
Ales kali ini terperangah, bukan terperanjat. Di belakang dua gadis itu, muncul siluet seorang gadis yang semakin lama semakin jelas seiring ia berjalan mendekat. Rasa takut pun menggerayangi tubuh Ales, rasa takut yang sudah lama tak bangkit dan hanya ada satu orang yang mampu membuatnya mendadak gugup begini.
Abigail Ananta.
"B-BOS BI?!"
Dalam sepersekian detik, Ales lupa dengan dua gadis di hadapannya. Matanya hanya tertuju lurus kepada Bigel yang berdiri tegas dengan sorot mata menyeramkan, tapi Ales rindukan. Bos Bi-nya kembali. Datang dan berdiri di hadapannya lagi. Memberikan raut amarah dan kekesalan yang sama seperti yang Ales dulu lihat sehari-hari. Ales lantas tersenyum bahagia melihat kembalinya seorang Abigail Ananta.
"Bos Bi ...."
"Kita perlu bicara, Les." Sayangnya, Bigel tak berbasa-basi. "Mau apa lo setiap hari ke Fleur Teapot? Hm?"
Untuk seketika, Ales kesulitan membuka kata. Sekadar menelan ludah pun rasanya susah, Ales sudah cukup terperangah dengan kehadiran Bigel di sini, dan sekarang, pertanyaannya jelas membuat ia tertegun. Alih-alih memikirkan jawaban untuk pertanyaan Bigel, ia malah menerka-nerka dari mana Bigel mengetahui kebiasaannya belakangan ini.
"Les, gue serius."
"B-Bos Bi, uh ... d-duduk dulu, Bos, mau minum apa?"
"Gue enggak ada waktu buat ini. Jawab. Mau apa lo setiap hari ke toko gue? Jelas-jelas toko itu gue tutup, Ales."
Ales menunduk takut, ia tahu Bigel datang bukan karena tulus dari hati ingin datang ke sini, tapi karena Bigel marah kepada dirinya. Jelas sekali dari alis yang saling bertaut dan membuat dahinya mengerut. Bigel marah. Dan Ales-lah penyebabnya.
"Whoah, whoah, whoah, ada apa nih?" Leon datang bak pahlawan yang menghalau keributan. "Bisa dibicarain baik-baik? Jangan teriak-teriak di bar, enggak enak sama pelanggan lain."
Sementara itu, dua gadis yang semula ingin memesan minumannya kepada Ales, memutuskan untuk undur diri dan beralih ke bartender lain sembari saling berbisik kala meninggalkan bar stool-nya. Bigel menatap tajam dua gadis itu, ia tahu dirinya dibicarakan, tapi ia tak mau peduli. Urusannya hanya dengan seseorang bernama Alessandro Tedja di sini.
"Le, gue boleh izin bentar? Gue di samping, sebentar aja, oke?" Ales memohon kepada temannya, Leon.
Leon melirik Bigel, melirik Ales lagi, sebelum akhirnya menghela napas pasrah. "Oke, jangan lama. Atau lo mau sekalian break aja? Udah jam sebelas juga."
"Oke. Thanks, Le."
"Yup."
Lantas setelahnya, Ales buru-buru meninggalkan bar, melirik Bigel dengan isyarat mengajaknya keluar. Bigel yang mengerti pun segera mengikuti. Meski ia sedikit kesal, karena Ales merepotkannya untuk berjalan keluar padahal ia hanya butuh sepatah dua patah kata sebagai jawaban.
Langkah Ales membawanya ke pintu lain yang bukan pintu utama untuk masuk ke Nyx Bar. Ales memimpinnya melewati pintu samping, pintu yang digunakan para pegawai untuk keluar dari bar apapun keperluannya. Pintu yang biasa Ales gunakan untuk berlalu lalang membuang sampah di tong besar sebelah bar.
Brak! Bigel membanting pintu setelah mereka keluar bersama. Tak sengaja. Ia tak bermaksud membanting pintu itu, tapi agaknya Bigel sedikit dikendalikan emosi.
"Bos Bi, maaf."
"S-sorry, pintunya ...."
"Gapapa. Bukan pintu gue juga. Biarin aja."
Bigel mengangguk tipis, sebelum akal menyadarkannya kembali bahwa ia tengah marah kepada Ales. "Lo ... ngapain di Fleur, Les? Gue yakin seratus persen gue kunci toko itu. Lo enggak mungkin ngebobol masuk, 'kan?" Kali ini, suara Bigel sedikit lebih lembut daripada yang sebelumnya. Meski masih sama-sama ada nada amarah di sana.
"Bos Bi ... pertama-pertama, gue minta maaf. Kedua, gue enggak bermaksud jahat, Bos. Fleur Teapot terkunci sempurna kok, enggak gue buka apalagi gur bobol. Gue selalu di teras. Gue cuma mau ke sana aja, no specific reason."
Bigel mengernyit tak yakin. Kalau memang benar Ales begitu, maka sungguh Ales adalah orang paling aneh yang pernah Bigel temui di dunia ini.
"Jangan tatap gue kayak gitu, Bos Bi, sumpah gue enggak ngapa-ngapain kok di sana. Malah, gue terimain paket-paket Bos Bi yang dateng, mau gue ambilin di rumah?"
"Hah?"
"Ada paket bunga, ada paket kertas-kertas bunga, terus ada beberapa foam? Yang buat nancepin bunga itu. Terus, hari ini juga ada paket lagi, tapi gue enggak tau apa soalnya yang satu ini dibungkus. Ada di loker gue."
Betapa bodohnya Bigel, ia baru teringat bahwa memang ini sudah jadwal pengantaran bunga-bunga yang Bigel pesan dari supplier, dan beberapa perlengkapannya. Ia yakini ia menjadi bodoh begini karena pengaruh patah hatinya terhadap Bara dan Alin. Sekarang ia tak tahu harus marah atau berterima kasih kepada Ales.
"Bos Bi," Ales bergerak maju, mendekat, mengikis jarak di antara ia dan mantan kekasih palsunya. Kedua tangannya pun turut bergerak lembut, mereka menggenggam kedua bahu Bigel yang sontak membuat gadis itu terpaku di tempat. "Gue cuma enggak mau Bos Bi kecewa setelah pulang dari jalan-jalan-nya. Gue enggak mau lihat Bos Bi sedih kalau-kalau bunga di teras mati, atau tanaman di sana layu. Gue cuma berusaha sebisa gue untuk ...."
Bigel menunggu. Siapa sangka ia benar-benar menunggu Ales melanjutkan kalimatnya. Namun entah apa yang terjadi, Ales malah berhenti. Hanya mata yang berbicara, menatap dalam ke iris kecoklatan Bigel yang tampak begitu jernih di bawah cahaya lampu jalan, di tengah gelapnya malam. Bigel memang masih dengan sisa-sisa raut amarahnya, tapi dengan itu justru ia tampak lebih cantik lagi di mata Ales. Kadang pun Ales tak mengerti, bagaimana bisa orang marah terlihat seatraktif ini? Kalau saja ia gila, mungkin bibir merah muda itu sudah ia ci—
"Untuk apa, Les?"
"H-huh?"
"Untuk apa? Gue cuma berusaha sebisa gue untuk ... apa?"
Tak bisa menjawab. Ales tak memiliki kemampuan untuk menjawabnya. Dan ia malah secara tiba-tiba melepas Bigel, melepas genggamannya pada bahu Bigel. Seolah ia sadar, ia lagi-lagi sudah kelewatan.
"Les?"
"S-sorry, Bos Bi. Gue enggak maksud apa-apa."
"Les—"
"Sorry, sorry, sorry. Sorry gue ke toko Bos Bi setiap hari buat nunggu siapa tau Bos Bi pulang. Sorry gue siramin bunga-bunga Bos Bi tanpa izin, karena nunggu Bos Bi enggak datang-datang. Sorry juga gue lancang terimain paket-paket Bos Bi dan gue simpan di rumah karena enggak tau harus gue kemanain paket itu."
Ales menggila secara tiba-tiba, sontak membuat Bigel semakin tak bergerak di tempat.
"Gue ... gue cuma mau ketemu Bos Bi lagi."
Dan Ales terus-terusan membuat Bigel tak tahu harus berbuat apa sekarang.
"Maaf, Bos. Tapi ... gue rasa gue suka sama Bos Bi. M-maaf."
Hening seketika. Bigel hanya bergeming dan memandang Ales dengan tatap tak percaya. Menangkap tatapan Bigel, Ales mutlak menyesali pengakuannya. Ia tahu ia seharusnya tak mengatakan itu. Tapi mulutnya terasa sulit sekali untuk dikontrol.
"A-Ales—"
"No. Enggak. Enggak usah dipikirin, Bos. Tenang aja, ya, gue enggak berharap apa-apa kok dari Bos Bi. Bos Bi enggak boleh merasa terbebani, okey? Anggap aja ucapan gue tadi cuma sampah yang harus dibuang di—"
Ales membeku. Ucapannya pun mustahil rampung. Bigel tiba-tiba bergerak, mendekat, menarik Ales ke dalam sebuah dekap.
Malam itu dingin, tapi tiba-tiba ia merasa hangat. Bigel memeluknya, dengan begitu lekat. Menempel, hingga Ales bisa merasakan detak jantung Bigel. Berdebar kencang, namun sedikit lebih tenang dibandingkan degup jantung Ales sendiri.
Dan untuk sementara waktu, Ales membiarkan tubuhnya dipeluk. Ia tak keberatan, barangkali Bigel memang sedang membutuhkan sebuah pelukan, Ales dengan senang hati memberikan tubuhnya untuk bersandar. Walaupun, ia harus menahan gejolak yang berdesir hebat. Sayang oh sayang, agaknya pelukan ini membuat Ales menaruh harap.
Harap akan sebuah akhir yang indah.
•
to be continue ....
- Xadara Goe -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top